Namaku adalah Rendy. Terdengar keren memang. Biasanya nama itu akan memberikan sebuah kesesuaian dengan pemilik namanya. Terlepas dengan pernyataan yang disampaikan oleh William Shakespeare dalam karyanya Romeo and Juliet, yakni what’s in a name? Apalah arti sebuah nama? Tapi, di satu sisi pernyataan itu bisa disetujui dan di satu sisi pernyataan itu kurang bisa disetujui. Baiklah, nama lengkapku adalah Rendy Sutrisno Nugroho. Nama yang lebih condong pada aksen Jawa. Memang, orangtuaku berasal dari Klaten, namun tinggal di Rajeg.
Aku mulai menyadari kalau namaku itu memang bagus pada saat aku duduk di bangku SMA kelas satu. Pada saat itu adalah tahun ajaran baru, aku sedang diabsen oleh wali kelasku.
” Rendy Sutrisno Nugroho,” kata guruku dengan suara lantang. Lalu, aku angkat tangan. Memberikan sebuah isyarat kalau aku hadir. Kemudian, terdengar suara tawa di dalam kelas. Aku merasa heran.
” Namanya keren. Campuran Jawa sama bule!” salah satu anak berambut kribo dan berkulit gelap menyeletuk. Yap, pria itu adalah Lukman. Lengkapnya Lukmanul Hakim. Dia pernah mengatakan padaku kalau namaku itu unik dan keren. Bahkan, dia seringkali memanggilku dengan panggilan : Mas Rendy. Aku sebenarnya kurang setuju karena wajahku ini awet muda, sedang wajah Lukman itu awet tua. Aku melarangnya supaya tidak memanggilku dengan tambahan Mas. Awalnya dia menurut, tapi hanya sebentar. Efeknya pun sampai sekarang. Lukman selalu memanggilku Mas Rendy. Jika kami sedang pergi bersama dan Lukman memanggilku dengan panggilan Mas Rendy, orang-orang bingung. Kok yang dipanggil Mas malah muda??? Sedangkan yang memanggil Mas malah tua.
Di sekolah, Lukman menjadi seorang panglima perang yang gagah perkasa saat bertarung melawan SMA lain. Pria kribo dengan kulit gelap. Dulu kribonya belum terlihat seperti saat kuliah, karena masih harus berambut pendek saat sekolah SMA.
Mungkin dia saat SMA memang berkulit gelap, namun sekarang dia termasuk mahasiswa yang paling gaya di kampus. Meski kulit gelapnya masih belum berubah jadi putih, tapi dia agak lebih bersih dan terawat. Gayanya lebih condong mirip dengan vokalis Earth, Wind, and Fire. Kalau dia jadi pejabat, dia mirip dengan Barrack Obama versi Indonesia. Lukman adalah sahabatku yang paling baik, meski terkadang menyebalkan setengah hidup.
Sedangkan aku, aku tentu tidak kalah keren dengan Lukman. Aku adalah mahasiswa bertubuh tinggi, berbadan ideal walau tidak terbilang atletis. Aku tampan, keren, dan berambut gondrong seperti Mick Jagger. Lebih spesifiknya lagi, aku adalah seorang pujangga cinta, dokter cinta, magnet cinta, dan pemain cinta (untuk yang satu ini, aku sudah berencana untuk pensiun meski berat).
Mungkin semua itu adalah efek dari namaku. Bagiku, nama Rendy merupakan sebuah singkatan dari keren dan trendy, sehingga memberikan pengaruh bagiku. Sedangkan nama Sutrisno, nama itu merupakan nama dengan berbahasa Jawa. Gabungan antara Su dan Trisno. Su artinya banyak dan Trisno artinya cinta. Pantaslah semenjak aku SMA hingga saat ini, saat kuliah, banyak wanita yang jatuh cinta padaku bahkan mereka sampai tergila-gila padaku. Jangan salah, wanita-wanita yang jatuh cinta dan tergila-gila padaku bukan sembarang wanita. Mereka adalah wanita yang cantik! Selain itu, mereka juga cerdas dan berkantong tebal. Wow!!! Luar biasa!!! Tidak menutup kemungkinan juga kalau ada beberapa pria dan wanita yang kurang suka padaku, sehingga aku bisa dikatakan playboy, pria brengsek, dan sejenisnya. Tapi, so what??? Bagiku, semua itu adalah resiko. Ya, resiko karena terlahir sebagai orang tampan, keren, charming, dan satu lagi : berbakat!
Aku adalah seorang pria yang berbakat di bidang seni, terutama lukis dan musik. Serta aku juga kerap mewujudkan bakatku itu pada sebuah karya nyata dan ditunjukkan sebagai kebolehan yang cukup kompetitif dan bernilai jual. Misalnya saja aku suka sekali menghasilkan karya-karya lukis hebat dan berdaya jual cukup tinggi. Bahkan aku pernah mendapatkan juara pertama tingkat nasional. Selain itu, pada bidang musik, ketika aku mulai semester pertama di kampus, aku membentuk sebuah band yang kuberi nama The Lover Women, yang memiliki lima personil. Di mana aku sebagai gitaris. Band itu dapat mengantarkan aku beserta personil lainnya menjadi pangeran kampus. Ya, kuakui walau prestasi dari musik belum meraih prestasi hingga tingkat nasional dan masih pada tingkat kecamatan hingga kotamadya saja. Namun, aku sangat yakin bahwa para wanita bisa tergila-gila padaku karena bakatku, bukan karena fisik dan status sosial. Secara logika, masih banyak pria yang lebih tampan dan lebih mapan dariku. Berbeda dengan Lukman yang memang lebih unggul pada prestasi akademik dan di bidang otak kiri, sedangkan aku lebih berprestasi non- akademik dan pada bidang otak kanan. Tak masalah. Hidup butuh keseimbangan.
Tapi, kami berdua memang sama-sama bersaing secara sehat meski sesama bajak laut kampus. Kami tidak seperti di film Pirates of Sillicon Valley, di mana melakukan sebuah persaingan sebagaimana yang dilakukan oleh Steve Jobs dan Bill Gates sebagai para inovator dunia.
Jika dikatakan hampir sama dengan dua tokoh itu, memang bisa sama. Kami berdua sama-sama berasal dari Rajeg dan sama-sama sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis, jurusan Manajemen, semester lima pada sebuah perguruan tinggi negeri yang berada di Tangerang Selatan. Sebenarnya dulu termasuk wilayah Jakarta Selatan, tapi karena ada pemekaran wilayah, maka berubah menjadi Tangerang Selatan. Nama perguruan tinggi itu adalah Universitas Negeri Tangerang, atau biasa disingkat menjadi UNTA. Mendengar singkatan itu saja rasanya aku ingin tertawa. Nama perguruan tinggi yang mirip nama hewan berpunuk. Tak apalah. Tidak perlu menyalahkan pemerintah provinsi. Lagipula, wilayah kampusku ini adalah wilayah Tangerang yang letaknya berdekatan wilayah Jakarta. Bisa dikatakan kalau secara de facto, kampusku itu di Tangerang selatan. Namun secara de jure, kampusku itu Jakarta Selatan.
☼
Biasanya, sebelum aku berangkat menuju kampus, aku selalu menatap cermin di dinding dan aku mengucapkan sebuah kalimat: ” Rendy, lo hebat!” Sebuah kalimat pendek nan sederhana, namun penuh makna. Ternyata ada benarnya juga kata ibuku. Jika kita berbicara pada bayangan sendiri di hadapan cermin, maka itu dapat membangkitkan kepercayaan diri. Buktinya, tidak usah aku ragukan lagi, sebab sudah aku rasakan selama ini.
Aku mulai menata rambutku yang gondrong ini dengan sisir berwarna biru tua. Kembali bercermin dan terpantul bayanganku di sana. Hmm…sempurna! Sepertinya aku tidak melihat diriku lagi di cermin, melainkan aku melihat sosok Mick Jagger muda versi Indonesia. Aku siap untuk bertarung dalam medan pengetahuan. Selesai kuliah hari ini, aku akan mencari kembali wanita cantik itu. Aku akan kembali menunggu di lorong kampus yang sepi itu. Tempat pertama kali aku dan si Manis bertemu. Tidak masalah jikalau aku harus menunggu. Inilah yang disebut pengorbanan untuk cinta. Ooooh…manis sekali ya.
Selesai berdandan, aku keluar dari kamar kos. Berdiri dengan tegak, membusungkan dada, dan melangkahkan kaki dengan penuh gagah berani. Walaupun aku membawa beberapa buku yang terbilang cukup membuat berat, namun aku merasakan ringan. Energi tambahan hari ini menyebar dalam tubuhku. Hari ini cerah sekali. Secerah hati dan pikiranku.
” Berangkat kuliah, Ren?” tanya Ibu Ningsih, sang pemilik warung makan. Warung itu sudah dipenuhi oleh pelanggan. Sekali lagi kukatakan bahwa perkataan ibuku memang benar. Yang namanya rezeki itu bertebaran di pagi hari. Maka dari itu, rajinlah bangun pagi supaya rezekinya tidak dipatok ayam.
” Ren, besok tanggal 30 tuh! Kamu inget,’kan? Apa kamu nggak sarapan dulu di sini?” Bu Ningsih memasang ekspresi sok-sok manis, padahal ada maunya.
Aku hanya tersenyum pada Ibu Ningsih sambil menggelengkan kepala. Aku tahu kalau besok itu sudah tanggal 30, lalu tanggal 31, dan masuk pada awal bulan. Aku tahu maksud dari apa yang dikatakan oleh Ibu Ningsih. Dia menyuruhku sarapan hanya sebagai modus. Tujuan yang sebenarnya adalah menjurus pada utang-utangku selama aku makan di warungnya. Tenang saja, Bu Ningsih, aku pasti melunasi semua utangku.
Aku kembali tersenyum pada Ibu Ningsih, yang kemudian dia kembali sibuk dengan para pelanggannya. Berat badannya yang tidak jauh beda dengan badan gajah itu tidak menutup kemungkinan bagi dirinya untuk bergerak selincah citah. Aku kembali berjalan menuju kampus, berbelok ke arah kiri, melewati jalan basah. Maksudnya jalan basah adalah jalan itu merupakan jalan yang di samping kanan dan kirinya terdapat banyak usaha, tempat para manusia menjemput rezeki dari Yang Maha Kuasa. Dimulai dari usaha warung makan, minimarket, foto copy, warnet, rental playstation, toko pakaian, toko alas kaki, toko tas, toko penjual laptop dan segala perangkatnya, toko buku, penyewaan komik, hingga tempat seorang pria dekil dan tidak jelas sedang duduk seorang diri. Kemudian langkahku masih lurus terus, kembali belok kiri, dan masuk ke pintu kecil. Di situlah jalan yang langsung masuk ke dalam lingkungan kampusku. Sebab, bila aku harus masuk lewat gerbang depan, maka aku harus melewati jalan raya. Berjalan di pinggirnya, dekat halte kuno setengah bobrok dan siap runtuh pada waktu yang tidak terprediksikan, lalu aku melewati deretan ruko dengan segala usaha menengah, dan barulah sampai pada gerbang masuk. Kejauhan juga. Lebih baik mengambil jalan pintas yang pantas walau terbatas. Maksudnya, jika ramai, maka tempat itu sempit. Maklum, namanya juga pintu kecil.
Beberapa menit kemudian, aku sampai di kampus UNTA. Aku berjalan cepat untuk memasuki gedung FEB. Aku melalui anak tangga menuju ke lantai tiga. Sekalipun di kampusku ada lift, tapi aku pilih lewat tangga saja. Bukannya mau olahraga, tapi lift sudah penuh. Lagipula lantai tiga tidak begitu jauh. Akhirnya aku tiba di depan pintu kelasku. Aku mengetuk pintu kelas dan langsung membukanya. Dosenku yang sudah tiba lebih dulu dariku tersenyum. Entah apa makna di balik senyumannya.
” Saya boleh masuk, Pak? tanyaku pada dosen. Aku berharap semoga aku boleh masuk.
” Tapi, Anda telat hingga 15 menit. Batas telatnya,’kan sampai 10 menit saja,” kata dosen yang berbadan kurus, berkulit cokeat terlalu tua, dan berambut cepak. Orang ini kalau dilihat dari segi penampilan, sepertinya lebih cocok jadi bromocorah daripada jadi dosen.
” Jadi, saya boleh masuk atau tidak, Pak?” tanyaku untuk meminta kepastian.
” O, boleh saja. Silahkan masuk,” dosen itu mempersilahkan aku masuk.
” Terima kasih, Pak,” aku segera masuk dan segera mencari kursi yang masih kosong. Setelah dapat kursi kosong dan aku bersiap untuk duduk, tiba-tiba dosenku itu langsung bersuara, sehingga aku langsung mengerem dan tidak jadi meletakkan bokongku di atas kursi.
” Hei…hei, tunggu dulu. Jangan duduk di situ! Anda boleh masuk, tapi jangan duduk di kursi itu,” ujar sang dosen.
” Terus saya duduk di mana, Pak?” tanyaku kebingungan.
Tanpa suara, sang dosen menunjuk ke arah sebuah kursi yang ada di depan. Kursi untuk dosen. Aku heran dan membisu sejenak dalam kata-kata. Aku tahu kalau kursi itu empuk, nyaman, tapi kenapa dia menyuruhku untuk duduk di kursinya?
” Ayo duduk di kursi ini! Kalau Anda tidak mau, silahkan keluar dari kelas saya!” kata dosen itu lagi. Kali ini suaranya meninggi.
” Kalau saya duduk di kursi bapak, bagaimana saya bisa melihat materi di papan tulis?” aku berusaha untuk berargumen. Sudah menyandang status mahasiswa seharusnya aku pandai berdiplomasi dan bernegosiasi. Apalagi berkuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, yang memberikan pendidikan tentang kewirausahaan. Tentunya sudah menjadi barang wajib bagi para mahasiswa dan mahasiswi untuk bisa berdiplomasi dan bernegosiasi demi mencapai kesepakatan dengan pelanggan.