Ayat Ayat Benci

Sarjana Goblok
Chapter #3

Bab 3 : Sensitif Berat

    Hari ini aku masuk kuliah siang. Sebelum masuk kuliah, aku sempatkan diri untuk makan di kantin fakultasku. Tapi, kali ini beda. Di kantin fakultas, aku tidak akan mengutang. Di ujung sana, aku melihat Rahmi yang sedang duduk sendiri. Tangannya menggenggam botol air mineral yang masih terdapat airnya. Sebagaimana biasa, aku menghampirinya dan mengajak bicara

   ” Mi, gue perhatiin, dari kemarin lo sendirian aja. Pacar lo mana? Si Wedus,” aku membuka pembicaraan dengan Rahmi.

   ” Nandus, bukan Wedus! Sembarangan lo, Ren!” jawab Rahmi dengan nada ketus.

   ” Oh Tandus. Gue kira Wedus. Nama pacar lo lucu juga ya,” aku mengajaknya bercanda.

   ” Nandus! Gue tau elo itu emang fans-nya Beethoven, tapi lo jangan ikut-ikut budeg!” sekali lagi Rahmi menjawab dengan nada ketus. 

   ” Iya…iya. Jangan marah, Mi. Gue,’kan cuma bercanda supaya lo nggak kesepian,” aku berargumen.

   ” Lo aneh, Ren!” untuk ketiga kalinya Rahmi mengeluarkan nada suara yang ketus. Wajahnya yang sudah dilipat, semakin bertambah dilipat.

   ” Kenapa gue yang aneh? Terus, lo kenapa sih tiba-tiba jadi sensitif begini? Lo marah sama gue?” kataku dengan ekspresi penuh salah. Aduuh, kenapa aku jadi aneh ya? Ah, aku tidak boleh diperbudak wanita!

   ” Iya, gue emang lagi marah. Tapi, gue nggak marah sama lo. Gue marah sama diri gue sendiri,” ungkap Rahmi. 

   ” Oh begitu toh. Ya udah deh, gue pindah ya. Kayaknya lo lagi mau sendiri. Padahal gue mau nanya, kenapa semalem WA gue nggak dibales. Gue,’kan udah cerita kemaren. Gue mau ngehubungin lo. Gue,’kan mau curhat,” aku berterus terang. Setelah bicara demikian, aku segera bangkit untuk pindah ke tempat lain.

  ” Rendy, lo jangan pergi dulu! Justru gue yang mau curhat sama lo,” Rahmi menahanku dengan cara memegangi salah satu tanganku saat aku sudah beranjak dan hendak mencari tempat lain demi menjauh dari Rahmi. Aku kembali duduk ke tempat semula. Aku mulai mempersiapkan indera kedua telinga. Dari gelagatnya, sepertinya Rahmi akan berkoar panjang-lebar, bahkan non-stop.

   ” Jadi, ceritanya tiga hari yang lalu gue nyoba ikut casting,” Rahmi memulai untuk menyampaikan curahan hatinya kepadaku.

   ” Hah! Lo ikut casting! Rumah produksinya nggak salah pilih,’kan? Terus kacamata tebel yang biasa lo pake itu gimana?” tanyaku yang heran.

   ” Emangnya gue salah milih bidang itu? Apa orang yang berkacamata tebel nggak boleh ikut casting? Lagian itu,’kan cita-cita gue!” ekspresi Rahmi berubah menjadi tatapan mata pembunuh berdarah dingin,” 

  ” Iya, gue tau. Tapi, lo juga harus realistis, Mi. Apakah lo nggak khawatir waktu casting, lo harus ngelepas kacamata tebel yang segede alaihim itu, terus lo disuruh jalan lurus? Kemungkinan besar, lo bakalan jalan belok-belok, lantaran mata lo buyar dong kalo nggak pake kacamata,” aku mencoba untuk menyadarkan Rahmi.

   ” Lo itu aneh ya, Ren. Nanti gue bisa pake contact lens!” ujar Rahmi. Dia mulai sewot.

   ” Emangnya lo punya???” aku balik bertanya.

   ” Nanti gue beli! Lagian tanpa kacamata, gue masih bisa jalan lurus. Biar kata mata gue ditutup, gue masih bisa jalan lurus!” kata Rahmi sengit.

   ” Ya udah. Jangan marah-marah gitu, Mi. Aku,’kan cuma nanya,” aku mencoba untuk mengendur.

   ” Terserah deh! Jangan dibahas lagi yang tadi! Lo bukannya ngasih motivasi, malah ngeledek. Nyebelin lo!” semakin bertambah sengit perkataan Rahmi. 

   ” Tapi, si Nandus tau,’kan lo ikut casting? Pasti dia bangga banget ngeliat pacarnya bakal jadi seleb,” aku mencoba mendinginkan panasnya suasana.

  Rahmi pun terdiam.

  ” Mi, lo udah curhatnya? Tadi lo sempet bilang lo marah sama diri lo sendiri. kenapa, Mi? cerita dong sama gue ,” aku memancing supaya Rahmi bicara.

   Rahmi tetap diam seperti patung.

   ” Oh, gue tau. Lo marah sama diri lo sendiri karena lo bolos kuliah, demi casting? Kalo menurut gue sih nggak masalah. Selama lo bolosnya untuk melakukan sesuatu yang berguna. Gue,’kan juga begitu. Kuliah sambil nyari duit. Ya walaupun hasilnya nggak banyak-banyak banget, tapi seenggaknya gue nggak bergantung sama orangtua. Gue bisa bayar kuliah, ngekos, makan, beli laptop, dan lain-lain dari hasil keringet gue” kataku.

   Rahmi belum berucap. Aku pun bicara lagi. 

   ” Nggak usah disesalin, Mi. Tadi,’kan udah gue kasih tau. Lagian lo,’kan bolos buat ngelakuin sesuatu yang berguna, misalnya nyari duit, ya nggak masalah. Masih bisa dimaklumin. Daripada lo bolos, tapi malah jalan-jalan ke mall, jalan-jalan ke kafe, pacaran, tidur di kos, main playstation, dan ngelakuin kegiatan nggak berguna. Mi, Mark Zuckerberg aja rela di DO dari Harvard demi ngembangin Facebook sampe kayak sekarang. Jadi, lo jangan takut buat ngejar passion lo. Ya kalo bisa, lo harus menyeimbangkan antara kuliah sama kegiatan lo,” aku berusaha untuk memberikan wejangan.

Lihat selengkapnya