TENGAH HARI INI, Kota Cairo seakan membara. Matahari berpijar di tengah petala langit. Seumpama lidah api yang menjulur dan menjilat-jilat bumi. Tanah dan pasir seakan menguapkan bau neraka. Hembusan angin sahara disertai debu yang bergulung-gulung menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik.
Penduduknya, banyak yang berlindung dalam flat, yang ada dalam apartemen-apartemen berbentuk kubus dengan pintu, jendela, dan tirai tertutup rapat.
Memang, istirahat di dalam flat sambil menghidupkan pendingin ruangan jauh lebih nyaman daripada berjalan ke luar rumah, meski sekadar untuk shalat berjamaah di masjid. Panggilan azan Zuhur dari ribuan menara yang bertebaran di seantero kota hanya mampu menggugah dan menggerakkan hati mereka yang benar-benar tebal imannya. Mereka yang memiliki tekad beriba- dah sesempurna mungkin dalam segala musim dan cuaca, seperti karang yang tegak berdiri dalam terjangan ombak, terpaan badai, dan sengatan matahari. Ia tiada kenal kesah, tetap teguh berdiri seperti yang dititahkan Tuhan sambil bertasbih siang malam. Atau, seperti matahari yang telah jutaan tahun membakar tubuhnya untuk memberikan penerangan ke bumi dan seantero mayapada.
Ia tiada pernah mengeluh, tiada pernah mengerang sedetik pun menjalankan titah Tuhan.
Awal-awal Agustus memang puncak musim panas.
Dalam kondisi sangat tidak nyaman seperti ini, aku sendiri sebenarnya sangat malas keluar. Ramalan cuaca mengumumkan: empat puluh satu derajat celcius! Apa tidak gila!? Mahasiswa Asia Tenggara yang tidak tahan panas, biasanya sudah mimisan, hidung- nya mengeluarkan darah. Teman satu flat yang langganan mimisan di puncak musim panas adalah Saiful. Tiga hari ini, memasuki pukul sebelas siang sampai pukul tujuh petang, darah selalu mer- embes dari hidungnya. Padahal ia tidak keluar flat sama sekali. Ia hanya diam di dalam kamarnya sambil terus menyalakan kipas angin. Sesekali ia kungkum, mendinginkan badan di kamar mandi.
Dengan tekad bulat, setelah mengusir segala rasa aras-arasen1 aku bersiap untuk keluar. Tepat pukul dua siang aku harus sudah berada di Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq yang terletak di Shubra El-Khaima, ujung utara Cairo, untuk talaqqi2 pada Syaikh Utsman Abdul Fattah. Pada ulama besar ini aku belajar qiraah sab’ah3 dan ushul tafsir.4 Beliau adalah murid Syaikh Mahmoud Khushari, ulama legendaris yang mendapat julukan Syaikhul Maqari’ Wal Huffadh Fi Mashr atau Guru Besarnya Para Pembaca dan Penghafal Al-Quran di Mesir.
Jadwalku mengaji pada Syaikh yang terkenal sangat disiplin itu seminggu dua kali. Setiap Ahad dan Rabu. Beliau selalu datang tepat waktu. Tak kenal kata absen. Tak kenal cuaca dan musim.
Selama tidak sakit dan tidak ada uzur yang teramat penting, beliau pasti datang. Sangat tidak enak jika aku absen hanya karena alasan panasnya suhu udara. Sebab beliau tidak sembarang menerima murid untuk talaqqi qiraah sab’ah. Beliau akan menguji siapa saja yang ingin belajar qiraah sab’ah pada beliau terlebih dahulu. Yang diuji adalah hafalan Al-Quran tiga puluh juz dengan qiraah bebas. Boleh Imam Warasy. Boleh Imam Hafsh, atau lainnya.
Tahun ini, setelah melalui ujian ketat beliau hanya menerima sepuluh orang murid. Aku termasuk sepuluh orang yang beruntung itu. Lebih beruntung lagi, beliau sangat mengenalku. Itu karena sejak tahun pertama kuliah aku sudah menyetorkan hafalan Al-Quran pada beliau di serambi Masjid Al Azhar. Juga karena di antara sepuluh orang yang terpilih itu ternyata hanya diriku seorang yang bukan orang Mesir. Aku satu-satunya orang asing, sekaligus satu-satunya yang dari Indonesia. Tak heran jika beliau menganakemaskan diriku. Dan teman-teman dari Mesir tidak ada yang merasa iri dalam masalah ini. Mereka semua simpati padaku.
Itulah sebabnya, jika aku absen pasti akan langsung ditelepon oleh Syaikh Utsman dan teman-teman. Mereka akan bertanya kenapa tidak datang? Apa sakit? Apa ada halangan dan lain sebagainya. Maka aku harus tetap berusaha datang selama masih mampu menempuh perjalanan sampai ke Shubra, meskipun panas membara dan badai debu bergulung-gulung di luar sana. Meskipun jarak yang ditempuh sekitar lima puluh kilometer lebih jauhnya.
Kuambil mushaf tercinta.
Kucium penuh takzim. Lalu kumasukkan ke dalam saku depan tas cangklong hijau tua. Meskipun butut, ini adalah tas bersejarah yang setia menemani diriku menuntut ilmu sejak di Madrasah Aliyah sampai saat ini, saat menempuh S2. di universitas tertua di dunia, di delta Nil ini. Aku mengambil satu botol kecil berisi air putih di kulkas. Kumasukkan dalam plastik hitam lalu kumasukkan dalam tas. Aku selalu membiasakan diri membawa air putih jika bepergian, selain sangat berguna juga merupakan salah satu bentuk penghematan yang penting. Apalagi selama menempuh perjalanan jauh dari Hadayek Helwan sampai Shubra El-Khaima dengan metro, tidak akan ada yang menjual minuman.
Aku sedikit ragu mau membuka pintu. Hatiku ketar-ketir.
Angin sahara terdengar mendesau-desau. Keras dan kacau. Tak bisa dibayangkan betapa kacaunya di luar sana. Panas disertai gu- lungan debu yang beterbangan. Suasana yang jauh dari nyaman.
Namun niat harus dibulatkan. Bismillah tawakkaltu ‘ala Allah, pelan-pelan kubuka pintu apartemen. Dan...
Wuss! Angin sahara menampar mukaku dengan kasar. Debu ber- gum pal-gumpal bercampur pasir menari-nari di mana-mana. Ku- tutup kembali pintu apartemen. Rasanya aku melupakan sesuatu.
“Mas Fahri, udaranya terlalu panas. Cuacanya buruk. Apa tidak sebaiknya istirahat saja di rumah?” saran Saiful yang baru keluar dari kamar mandi. Darah yang merembes dari hidungnya telah ia bersihkan.
“Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa. Jika tidak datang, aku sangat tidak enak pada Syaikh Utsman. Beliau yang sudah berumur tujuh puluh lima tahun saja selalu datang. Tepat waktu lagi. Tak kenal cuaca panas atau dingin. Padahal rumah beliau dari masjid tak kurang dari dua kilo,” tukasku sambil bergegas masuk kamar kembali, mengambil topi dan kaca mata hitam.
“Allah yubarik fik, Mas,” ujarnya serak, semoga Allah melimpahkan berkah padamu. Tangan kanannya mengusapkan sapu tangan pada hidungnya. Mungkin darahnya merembes lagi.
“Wa iyyakum!” Dan semoga Allah juga melimpahkan (berkah-Nya) pada kalian semua, balasku sambil memakai kacamata hitam dan memakai topi menutupi kopiah putih yang telah menempel di kepalaku.
“Sudah bawa air putih, Mas?”
Aku mengangguk.
“Saif, Rudi minta dibangunkan pukul setengah dua. Tadi malam dia lembur bikin makalah. Kelihatannya dia baru tidur jam setengah sepuluh tadi. Terus tolong nanti bilang sama dia untuk beli gula dan minyak goreng. Hari ini dia yang piket belanja. Oh ya, hampir lupa, nanti sore yang piket masak Hamdi. Dia paling suka masak oseng-oseng wortel campur kofta (daging yang telah dicincang halus dengan mesin). Kebetulan wortel dan koftanya habis. Bilang sama Rudi sekalian.” Sebagai yang dipercaya untuk jadi kepala keluarga—meskipun tanpa seorang ibu rumah tangga—aku harus jeli memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan anggota. Dalam flat ini kami hidup berlima; aku, Saiful, Rudi, Hamdi, dan Mishbah. Kebetulan aku yang paling tua, dan paling lama di Mesir. Secara akademis aku juga yang paling tinggi. Aku tinggal menunggu pengumuman untuk menulis tesis master di Al Azhar. Yang lain masih program S.1. Saiful dan Rudi baru tingkat tiga, mau masuk tingkat empat.
Sedangkan Misbah dan Hamdi sedang menunggu pengumuman kelulusan untuk memperoleh gelar Lc. atau Licence. Mereka semua telah menempuh ujian akhir tahun pada akhir Mei sampai awal Juni yang lalu. Awal-awal Agustus biasanya pengumuman keluar. Namun sampai hari ini, pengumuman belum juga ada yang ditempel.
Hari ini, kebetulan yang ada di flat hanya tiga orang, yaitu aku, Saiful, dan Rudi. Adapun Hamdi sudah dua hari ini punya kegiatan di Dokki, tepatnya di Masjid Indonesia Cairo. Ia diminta memberikan pelatihan kepemimpinan pada remaja masjid yang semuanya adalah putra-putri para pejabat KBRI. Siang ini katanya selesai, dan nanti sore dia pulang. Sedangkan Mishbah tengah be- rada di Rab’ah El-Adawea, Nasr City. Katanya ia harus menginap di Wisma Nusantara, di tempatnya Mas Khalid, untuk merancang draft pelatihan ekonomi Islam bersama Profesor Maulana Husein Shahata, pertengahan September depan.
Masing-masing penghuni flat ini punya kesibukan. Aku sendiri yang sudah tidak aktif di organisasi manapun, juga mempunyai jadwal dan kesibukan. Membaca bahan untuk tesis, talaqqi qiraah sab’ah, menerjemah, dan diskusi intern dengan teman-teman mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh S.2.dan S.3. di Cairo.
Urusan-urusan kecil seperti belanja, memasak dan membuang sampah, jika tidak diatur dengan bijak dan baik akan menjadi masalah. Dan akan mengganggu keharmonisan. Kami berlima sudah seperti saudara kandung. Saling mencintai, mengasihi dan mengerti. Semua punya hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada yang diistimewakan. Semboyan kami, baiti jannati. Rumahku adalah surgaku. Tempat yang kami tinggali ini harus benar-benar menjadi tempat yang menyenangkan. Dan sebagai yang paling tua aku bertanggung jawab untuk membawa mereka pada suasana yang mereka inginkan.
Aku melangkah ke pintu.
“Saif. Jangan lupa pesanku tadi!” kembali aku mengingatkan sebelum membuka pintu.