SUHU UDARA benar-benar panas. Wajar saja Maria malas keluar. Toko alat tulis yang juga menjual disket hanya berjarak lima puluh meter dari apartemen. Namun ia lebih memilih titip dan menunggu sampai aku pulang nanti. Ini memang puncak musim panas. Laporan cuaca meramalkan akan berlangsung sampai minggu depan, rata-rata 39 sampai 41 derajat celcius. Ini baru di Cairo. Di Mesir bagian selatan dan Sudan entah berapa suhunya. Tentu lebih menggila. Ubun-ubunku terasa mendidih.
Panggilan iqamat terdengar bersahut-sahutan. Panggilan mulia itu terdengar sangat menentramkan hati. Pintu-pintu meraih kebahagiaan dan kesejahteraan masih terbuka lebar-lebar.
Kupercepat langkah. Tiga puluh meter di depan adalah Masjid Al-Fath Al-Islami. Masjid kesayangan. Masjid penuh kenangan tak terlupakan. Masjid tempat aku mencurahkan suka dan deritaku selama belajar di negeri Musa ini. Tempat aku menitipkan rahasia kerinduanku yang memuncak, tujuh tahun sudah aku berpisah dengan ayah ibu. Tempat aku mengadu pada Yang Maha Pem- beri Rizki saat berada dalam keadaan kritis kehabisan uang. Saat hutang pada teman-teman menumpuk dan belum terbayarkan.
Saat uang honor terjemahan terlambat datang. Tempat aku menata hati, merancang strategi, mempertebal azam dan keteguhan jiwa dalam perjuangan panjang.
Begitu masuk masjid...
Wusss! Hembusan udara sejuk yang dipancarkan lima AC dalam masjid menyambut ramah. Alhamdulillah. Nikmat rasanya jika sudah berada di dalam masjid. Puluhan orang sudah berjajar rapi dalam shaf shalat jamaah. Kuletakkan topi dan tas cangklongku di bawah tiang dekat aku berdiri di barisan shaf kedua. Kedamaian menjalari seluruh syaraf dan gelegak jiwa begitu kuangkat takbir.
Udara sejuk yang berhembus terasa mengelus-elus leher dan mukaku. Juga mengusap keringat yang tadi mengalir deras. Aku merasa tenteram dalam elusan kasih sayang Tuhan Yang Maha Penyayang. Dia terasa begitu dekat, lebih dekat dari urat leher, lebih dekat dari jantung yang berdetak.
* * *
Usai shalat, aku menyalami Syaikh Ahmad. Nama lengkapnya Syaikh Ahmad Taqiyyuddin Abdul Majid. Imam muda yang selama ini sangat dekat denganku. Beliau tidak pernah meny- embunyikan senyumnya setiap kali berjumpa denganku. Beliau masih muda, umurnya baru tiga puluh satu, dan baru setengah tahun yang lalu ia meraih Magister Sejarah Islam dari Universitas Al Azhar. Anaknya baru satu, berumur dua tahun. Kini beliau bekerja di Kementerian Urusan Wakaf sambil menempuh program doktoralnya. Beliau juga menjadi dosen Sejarah Islam di Ma’had I’dadud Du’at (Sekolah Tinggi Juru Dakwah) yang dikelola oleh Jam’iyyah Syar’iyyah bekerjasama dengan Fakultas Dakwah, Universitas Al Azhar. Di seluruh Mesir sampai sekarang ma’had milik Jam’iyyah Syar’iyyah ini baru ada dua, yaitu di Ramsis dan di Hadayek Helwan.
Meskipun masih muda, namun kedalaman ilmu agama dan kefashihannya membaca serta menafsirkan Al-Quran membuat masyarakat memanggilnya “Syaikh”. Kerendahan hati, dan komitmennya yang tinggi membela kebenaran membuat sosoknya dicintai dan dihormati semua lapisan masyarakat Hadayek Helwan dan sekitarnya. Yang menarik, dia dekat dengan kawula muda.
Panggilan “Syaikh” tidak membuatnya lantas merasa canggung untuk ikut sepak bola setiap Jum’at pagi bersama anak-anak muda.
Jika Maria adalah gadis Koptik yang aneh, aku merasa Syaikh Ahmad adalah ulama muda yang unik.
“Akh Fahri, mau ke mana?” tanya Syaikh ramah dengan senyum menghiasi wajahnya yang bersih. Jenggotnya tertata rapi.
Kutatap wajah beliau sesaat. Sejatinya Syaikh Ahmad memang tampan. Tak kalah dengan Kazem Saheer, penyanyi tenar asal Irak yang digandrungi gadis-gadis remaja seantero Timur Tengah. Nada suaranya juga indah berwibawa. Tak heran jika beliau disayangi semua orang. Seandainya suara indah Kazem Saheer digunakan untuk membaca Al-Quran seperti Syaikh Ahmad mungkin akan lain cerita dunia selebritis Arab.
“Seperti biasa Syaikh, ke Shubra,” jawabku datar.
Beliau langsung paham aku mau ke mana dan mau apa. Sebab Syaikh Ahmad dulu juga belajar qiraah sab’ah pada Syaikh Utsman di Shubra. Sesekali bahkan masih datang ke sana.
“Cuacanya buruk. Sangat panas. Apa tidak sebaiknya istrirahat saja? Jarak yang akan kautempuh itu tidak dekat. Pikirkan juga kesehatanmu, Akh,” lanjut beliau sambil meletakkan tangan kanannya di pundak kiriku.
“Semestinya memang begitu, Syaikh. Tapi saya harus komitmen dengan jadwal. Jadwal adalah janji. Janji pada diri sendiri dan janji pada Syaikh Utsman untuk datang.”
“Masya Allah, semoga Allah menyertai langkahmu.”