METRO sampai di Maadi, sebuah kawasan elite di Cairo setelah Heliopolis, Dokki, El-Zamalek dan Mohandesen. Sebagian orang malah mengatakan Maadi adalah kawasan paling elite. Lebih elite dari Heliopolis. Tidak terlalu penting membandingkan satu sama lain. Nama-nama itu semuanya adalah kawasan elite. Masing- masing punya kelebihan. Dokki terkenal sebagai tempatnya para diplomat tinggal. Mohandesen tempatnya para pengusaha dan selebritis. Sedangkan Maadi mungkin adalah kawasan yang paling teratur tata kotanya. Dirancang oleh kolonial Inggris. Jalan- jalannya lebar. Setiap rumah ada tamannya. Dan dekat sungai Nil. Tinggal di Maadi memiliki prestise sangat tinggi. Prestise-nya seumpama tinggal di Paris dibandingkan dengan tinggal di kota- kota besar lainnya di Eropa. Begitu keterangan yang aku dapat dari Tuan Boutros, ayahnya Maria yang bekerja di sebuah bank swasta di Maadi.
Masalah prestise memang sangat subjektif. Orang yang tinggal di kawasan agak kumuh Sayyeda Zaenab merasa lebih prestise dibandingkan dengan tinggal di kawasan lain di Cairo. Alasan mereka karena dekat dengan makam Sayyeda Zaenab, cucu Baginda Nabi Muhammad Saw. Demikian juga yang tinggal di dekat Masjid Amru bin Ash. Mereka merasa lebih beruntung dan selalu bangga bisa tinggal di dekat masjid pertama yang didirikan di benua Afrika itu.
Begitu pintu metro terbuka, beberapa penumpang turun. Lalu beberapa orang naik-masuk. Mataku menangkap ada tiga orang bule masuk. Yang seorang nenek-nenek. Ia memakai kaos dan celana pendek sampai lutut. Pemandangan yang belum pernah ada di desaku. Aku membayangkan jika di desaku ada nenek-nenek memakai pakaian seperti itu mungkin sudah dianggap orang gila.
Wajahnya tampak pucat. Mungkin karena kepanasan. Ia diiringi seorang pemuda dan seorang perempuan muda. Mungkin anaknya atau cucunya. Keduanya membawa ransel.
Pemuda bule itu memakai topi berbendera Amerika dan berkaca mata hitam. Ia juga hanya berkaos sport putih dan celana pendek sampai lutut. Yang perempuan memakai kaos ketat tanpa lengan, you can see. Dan bercelana pendek ketat. Semua bagian tubuhnya menonjol. Lekak-lekuknya jelas. Bagian pusarnya kelihatan. Ia seperti tidak berpakaian. Mereka berdua mengitarkan pandangan. Mencari tempat duduk. Sayang, tak ada yang kosong.
Aku tersenyum pada Ashraf sambil bergurau, “Hei Ashraf, mau titip pesan pada Presiden Amerika nggak?”
“Apa maksudmu?”
“Itu, mumpung ada orang Amerika. Minggu depan mereka mungkin sudah balik ke negaranya. Kau bisa titip pesan pada mereka agar presiden mereka tidak bertindak bodoh seperti yang kaukatakan tadi.”
Ashraf menoleh ke kanan dan memandang tiga bule itu dengan raut tidak senang. Tiba-tiba ia berteriak emosi, “Ya Amrikaniyyun, la’natullah ‘alaikum!” Hai orang-orang Amerika, laknat Allah untuk kalian! Kontan para penumpang yang mendengar perkataan Ashraf itu melongok ke arah tiga bule yang baru masuk itu. Gerakan mereka persis anak-anak ayam yang kaget atas kedatangan musang di kandangnya. Kusisir wajah orang-orang Mesir. Raut-raut kurang simpati dan tidak senang. Apalagi pakaian perempuan muda Amerika itu bisa dikatakan tidak sopan. Orang-orang Mesir memang menganggap Amerika sebagai biang kerusakan di Timur Tengah. Orang-orang Mesir sangat marah pada Amerika yang mencoba mengadu domba umat Islam dengan umat Kristen Koptik.
Amerika pernah menuduh pemerintah Mesir dan kaum muslimin berlaku semena-mena pada umat Koptik. Tentu saja tuduhan itu membuat gerah seluruh penduduk Mesir. Pope Shenouda, pemimpin tertinggi umat Kristen Koptik sertamerta memberikan keterangan pers bahwa tuduhan Amerika dusta belaka. Sebuah tuduhan yang bertujuan hendak menghancurkan sendi-sendi persaudaraan umat Islam dan umat Koptik yang telah kuat mengakar berabad-abad lamanya di bumi Kinanah (salah satu julukan untuk bumi Mesir). Untung ketiga orang Amerika itu tidak bisa bahasa Arab. Mereka kelihatannya tidak terpengaruh sama sekali dengan kata-kata yang diucapkan Ashraf. Kalau paham entah apa yang akan terjadi.
Memang, kalau sedang jengkel orang Mesir bisa mengatakan apa saja. Di Pasar Sayyeda Zainab aku pernah melihat seorang penjual ikan marah-marah pada istrinya. Entah karena apa. Ia menghujani istrinya dengan sumpah serapah yang sangat kasar dan tidak nyaman di dengar telinga. Di antara kata-kata kasar yang kudengar adalah: Ya bintal haram (Hai anak haram/anak hasil perzinaan), ya syarmuthah (Hai pelacur), ya bintal khinzir (Hai anak babi). Bulu romaku sampai berdiri. Ngeri mendengarnya. Sang istri juga tak mau kalah. Ia membalas dengan caci maki dan serapah yang tak kalah keras dan kotornya. Dan sumpah serapah yang mengandung laknat adalah termasuk paling kasar.
Telingaku paling alergi mendengar caci mencaci, kata-kata kotor apalagi umpatan melaknat. Tak ada yang berhak melaknat manusia kecuali Tuhan. Manusia jelas-jelas telah dimuliakan oleh Tuhan. Tanpa membedakan siapa pun dia. Semua manusia telah dimuliakan Tuhan sebagaimana tertera dalam Al-Quran,
Wa laqad karramna banii Adam. Dan telah Kami muliakan anak keturunan Adam!
Jika Tuhan telah memuliakan manusia, kenapa masih ada manusia yang mencaci dan melaknat sesama manusia? Apakah ia merasa lebih tinggi martabatnya daripada Tuhan? Tindakan Ashraf melaknat tiga turis Amerika itu sangat aku sesalkan. Tindakannya kurasa jauh dari etika Al-Quran, padahal dia tiap hari membaca Al-Quran. Ia telah menamatkan qiraah riwayat Imam Hafsh. Namun ia berhenti pada cara membacanya saja, tidak sampai pada penghayatan ruh kandungannya. Semoga Allah memberikan petunjuk di hatinya.
Yang aku herankan, dalam kondisi panas seperti ini, kenapa bule-bule itu ada di dalam metro. Seandainya mau bepergian kenapa tidak memakai Limousin atau taksi ber-AC yang jauh lebih nyaman. Dalam hati aku merasa kasihan pada mereka. Mereka seperti tersiksa. Basah oleh keringat. Wajah dan kulit mereka kemerahan. Yang paling kasihan adalah yang nenek-nenek. Beberapa kali ia menenggak air mineral. Mukanya tetap saja pucat. Mereka tidak biasa kepanasan seperti ini.
Aku jadi teringat Majidov, teman dari Rusia. Ia sangat tidak tahan dengan panasnya Mesir. Ia tinggal di Madinatul Bu’uts, atau biasa disebut Bu’uts saja. Yaitu asrama mahasiswa Al Azhar dari seluruh penjuru dunia. Di Bu’uts tidak ada AC-nya. Jika musim panas tiba dia akan hengkang dari Bu’uts dan menyewa flat bersama beberapa temannya di kawasan Rab’ah El-Adawea. Mencari yang ada AC-nya. Tapi tidak semua mahasiswa dari Rusia seperti Majidov. Banyak juga yang tahan dengan musim panas.
Tak ada yang bergerak mempersilakan nenek bule itu untuk duduk. Ini yang aku sesalkan. Beberapa lelaki muda atau setengah baya yang masih kuat tetap saja tidak mau berdiri dari tempat duduk mereka. Biasanya, begitu melihat orang tua, apalagi nenek-nenek, beberapa orang langsung berdiri menyilakan duduk. Tapi kali ini tidak. Lelaki bule itu mengajak bicara seorang pemuda Mesir berbaju kotak-kotak lengan pendek yang duduk di dekatnya.
Sekilas di antara deru metro kutangkap maksud perkataan si bule. Ia minta kepada pemuda Mesir itu memberi kesempatan pada ibunya yang sudah tua untuk duduk. Mereka bertiga akan turun di Tahrir. Tapi pemuda Mesir itu sama sekali tidak menanggapinya. Entah kenapa. Apa karena dia tidak paham bahasa Inggris, atau karena ketidaksukaannya pada orang Amerika? Aku tidak tahu.
Nenek bule kelihatannya tidak kuat lagi berdiri. Ia hendak duduk menggelosor di lantai. Belum sampai nenek bule itu benar-benar menggelosor, tiba-tiba perempuan bercadar itu berteriak mencegah, “Mom, wait! Please, sit down here!” Perempuan bercadar putih bersih itu bangkit dari duduknya.
Sang nenek dituntun dua anaknya beranjak ke tempat duduk.
Setelah si nenek duduk, perempuan bule muda berdiri di samping perempuan bercadar. Aku melihat pemandangan yang sangat kontras. Sama-sama perempuan. Yang satu auratnya tertutup rapat. Tak ada bagian dari tubuhnnya yang membuat jantung lelaki berdesir. Yang satunya memakai pakaian sangat ketat, semua lekak-lekuk tubuhnya kelihatan, ditambah basah keringatnya bule itu nyaris seperti telanjang.
“Thank you. It’s very kind of you!” Perempuan bule muda mengungkapkan rasa terima kasih pada perempuan bercadar.
“You’re welcome,” lirih perempuan bercadar. Bahasa Inggrisnya bagus. Sama sekali tak kuduga. Keduanya lalu berkenalan dan berbincang-bincang. Perempuan bercadar minta maaf atas perlakuan saudara seiman yang mungkin kurang ramah. Ternyata lebih dari yang kunilai. Perempuan bercadar itu benar-benar berbicara sefasih orang Inggris. Biasanya orang Mesir sangat susah berbahasa Inggris dengan fasih. Kata ‘friend’ selalu mereka ucapan ‘bren’. Huruf ‘f ’ jadi ‘b’. Aku sering geli mendengarnya. Tapi perempuan bercadar ini sungguh fasih. Lebih fasih dari pembaca berita Nile TV. Perempuan bule tersenyum dan berkata, “Oh not at all. It’s all right.” Cuaca memang panas dan melelahkan. Semuanya lelah.
Dalam keadaan lelah terkadang susah untuk mengalah. Dan itu sangat manusiawi.
“Busyit! Hei perempuan bercadar, apa yang kaulakukan!” Pemuda berbaju kotak-kotak bangkit dengan muka merah. Ia berdiri tepat di samping perempuan bercadar dan membentak nya dengan kasar. Rupanya ia mendengar dan mengerti percakapan mereka berdua.
Perempuan bercadar kaget. Namun aku tidak bisa menangkap raut kagetnya sebab mukanya tertutup cadar. Yang bisa kutangkap adalah gerakan kepalanya yang terperangah, kedua matanya yang sedikit menciut, kulit putih antara dua matanya sedikit mengkerut, alisnya seperti mau bertemu.
“Hal a..ana khata’?” (Maksudnya, apakah saya salah? Susunannya yang tepat adalah Hal ana mukhthi’ah), ucap perempuan bercadar tergagap.