Ayat-ayat Cinta

Republika Penerbit
Chapter #4

Mein Name Ist Aisha

METRO terus melaju. Tak terasa sudah sampai Mahattah Mar Gir-gis. Ashraf mendekatkan diri ke pintu. Ia bersiap-siap. Mahattah depan adalah El-Malik El-Saleh, setelah itu Sayyeda Zeinab dan ia akan turun di sana. Aku menghitung masih ada tujuh mahattah baru sampai di Ramsis. Setelah itu aku akan pindah metro jurusan Shubra El-Khaima. Perjalanan masih jauh.

Metro kembali berjalan. Pelan-pelan lalu semakin kencang.

Tak lama kemudian sampai di El-Malik El-Saleh. Metro berhenti. Pintu dibuka. Beberapa orang turun. Lelaki setengah baya hendak turun. Sebelum turun ia menyalami diriku dan mengucapkan terima kasih sambil mulutnya tiada henti mendoakan diriku. Aku mengucapkan amin berkali-kali. Topi dan kaca mata hitamku kembali aku pakai.

Tak jauh dariku, perempuan bercadar nampak asyik berbincang dengan perempuan bule. Sedikit-sedikit telingaku menangkap isi perbincangan mereka. Rupanya perempuan bercadar sedang menjelaskan semua yang tadi terjadi. Kejengkelan orang-orang Mesir pada Amerika, kekeliruan mereka serta pembetulan-pembetulan yang aku lakukan. Dengan bahasa Inggris yang fasih perempuan bercadar juga menjelaskan maksud dari hadis-hadis Nabi yang tadi aku ucapkan. Perempuan bule itu mengangguk-anggukkan kepala.

Sampai di Sayyeda Zeinab, Ashraf turun setelah terlebih dahulu melambaikan tangan padaku. Seorang ibu yang duduk di samping nenek bule turun. Kursinya kosong. Aku bisa duduk di sana kalau mau. Tapi kulihat seorang gadis kecil membawa tas belanja masuk. Langsung kupersilakan dia duduk.

Metro kembali melaju. Perempuan bercadar dan perempuan bule masih berbincang-bincang dengan akrabnya. Tapi kali ini aku tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka perbincangkan. Angin panas masuk melalui jendela. Aku memandang ke luar. Rumah-rumah penduduk tampak kotak-kotak tak teratur seperti kardus berjejer tak teratur. Metro masuk ke lorong bawah tanah. Suasana gelap sesaat. Lalu lampu-lampu metro menyala.

Tak lama kemudian metro sampai Mahattah Saad Zaghloul dan berhenti. Beberapa orang turun dan naik. Tiga bule itu bersiap hendak turun, juga perempuan bercadar. Berarti mereka mau turun di Tahrir.

Perempuan bercadar masih bercakap dengan perempuan bule. Keduanya sangat dekat denganku. Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Tentang asal mereka masing.

Perempuan bercadar itu ternyata lahir di Jerman, dan besar juga di Jerman. Namun ia berdarah Jerman, Turki, dan Palestina. Sedangkan perempuan bule lahir dan besar di Amerika. Ia berdarah Inggris dan Spanyol. Keduanya bertukar kartu nama.

Perempuan bule tepat berada di depanku. Wajahnya masih menghadap perempuan bercadar. Metro bercericit mengerem.

Gerbong sedikit goyang. Tubuh perempuan bule bergoyang.

Lihat selengkapnya