AKU SAMPAI di flat jam lima lebih seperempat. Siang yang melelahkan. Ubun-ubun kepalaku rasanya mendidih. Cuaca benar-benar panas. Yang berangkat talaqqi pada Syaikh Utsman hanya tiga orang. Aku, Mahmoud, dan Hisyam. Syaikh Utsman jangan ditanya. Disiplin beliau luar biasa. Meskipun cuma tiga yang hadir, waktu talaqqi tetap seperti biasa. Jadi, kami bertiga membaca tiga kali lipat dari biasanya. Jatah membaca Al-Quran sepuluh orang kami bagi bertiga. Untungnya Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq ber-AC. Jika tidak, aku tak tahu seperti apa menderitanya kami. Mungkin konsentrasi kami akan berantakan, dan kami tidak bisa membaca seperti yang diharapkan.
Seperti mengerti keinginan kami, begitu selesai talaqqi, Amu Farhat, takmir masjid yang baik hati itu membawakan empat gelas tamar hindi (air buah asam) dingin. Bukan main segarnya ketika minuman segar itu menyentuh lidah dan tenggorokan. Selesai minum aku pulang.
Mahmoud, Hisyam, Amu Farhat dan Syaikh Utsman meneruskan perbincangan menunggu Ashar. Perjalanan pulang ternyata lebih panas dari berangkat. Antara pukul setengah empat hingga pukul lima adalah puncak panas siang itu. Berada di dalam metro rasanya seperti berada dalam oven.
Kondisi itu nyaris membuatku lupa akan titipan Maria. Aku baru teringat ketika keluar dari Mahattah Hadayek Helwan. Ada dua toko alat tulis. Kucari di sana. Dua-duanya kosong.
Aku melangkah ke Pyramid Com, sebuah rental komputer yang biasanya juga menjual disket. Malang! Rental itu tutup.
Terpaksa aku kembali ke Mahattah dan naik metro ke Helwan.
Di Kota Helwan ada pasar dan toko-toko cukup besar. Di sana, akhirnya kudapatkan juga disket itu. Aku beli empat. Dua untuk Maria. Dan dua untuk diriku sendiri. Kusempatkan mampir ke masjid yang berada tepat di sebelah barat Mahattah Helwan untuk shalat Ashar.
Terik matahari masih menyengat ketika aku keluar masjid untuk pulang. Di tengah perjalanan aku melewati Universitas Helwan yang lengang. Hanya seorang polisi berpakaian lusuh yang menjaga gerbangnya. Tampangnya mengenaskan. Masih muda, tapi kurus kering. Seperti pohon pisang kering. Atau seperti dendeng di Saudi kala musim haji. Mukanya tampak kering.
Panas sahara seperti menghisap habis darahnya.
Ia pasti polisi wajib militer yang biasa disebut duf ’ah. Polisi paling menderita karena bertugas dengan sangat terpaksa. Tanpa gaji memadai. Hanya beberapa pound saja. Wajar jika tampangnya mengenaskan. Bisa jadi ia masih berstatus mahasiswa. Karena memang seluruh laki-laki Mesir terkena wajib militer. Seorang kumsari (kondektur) mendekat. Ia gemuk, kepalanya bulat penuh keringat.
Perutnya buncit seperti balon mau meletus. Beda sekali dengan polisi penjaga gerbang universitas itu. Dunia ini memang penuh perbedaan-perbedaan dan hal-hal kontras yang terkadang tidak mudah dimengerti.
Metro terus melaju.
Sampai di flat, tenagaku nyaris habis. Kulepas sepatu dan kaos kaki lalu masuk kamar. Sampai di kamar langsung kunyalakan kipas angin, kulepas tas, topi, kacamata hitam, dan kemeja putihku.
Kuusap mukaku dengan tisu. Hitam. Banyak debu menempel.
Aku lalu beranjak ke ruang tengah, membuka lemari es, mencari yang dingin-dingin untuk menyegarkan badan. Begitu membuka pintu lemari es mataku membelalak berbinar. Ada sebotol ashir ashab. Dingin. Kutuangkan untuk satu gelas. Sambil membawa gelas berisi ashir ashab aku berteriak, “Siapa nih yang beli ashir ashab? Pengertian sekali. Syukran ya. Semoga umurnya diberkahi Allah.” Rudi keluar dari kamarnya dengan wajah ceria.
“Mas. Ashir ashab itu bukan kami yang beli.”
“Terus dapat dari mana?”
“Tadi diberi oleh Maria.”
“Apa? Diberi oleh Maria?”
“Iya. Katanya untuk Mas. Makanya masih utuh satu botol. Kami tidak menyentuhnya sebelum dapat izin dari Mas. Sekarang kami boleh ikut mencicipi ‘kan Mas?”
“Ah kamu ini ada-ada saja. Kalau mau ambil ya ambil saja. Yang penting aku disisain. Pakai menunggu izin segala.”
“Masalahnya ini dari Maria, Mas. Sepertinya putri Tuan Boutros itu perhatian sekali sama Mas. Jangan-jangan dia jatuh hati sama Mas.”
“Hus jangan ngomong sembarangan! Mereka itu memang tetangga yang baik. Sejak awal kita tinggal di sini mereka sudah baik sama kita. Bukan sekali ini mereka memberi sesuatu pada kita.”