SEPERTI BIASA, usai shalat Maghrib berjamaah di masjid kami berkumpul di ruang tengah untuk makan bersama. Kali ini kami hanya berempat. Masih kurang satu, yaitu Si Mishbah. Ia belum pulang. Ia masih di Wisma Nusantara yang menjadi sentral keg- iatan mahasiswa Indonesia. Gedung yang diwakafkan oleh Yayasan Abdi Bangsa itu terletak di Rab’ah El-Adawea, Nasr City.
Hamdi baru pulang dari Masjid Indonesia. Ia banyak bercerita tentang anak-anak para pejabat KBRI yang lucu-lucu dan manja-manja. Dibandingkan yang ada di negara lain, KBRI di Cairo bisa dibilang termasuk yang beruntung. Komunitas yang mereka urusi adalah mahasiswa Al Azhar. Kegiatan keislaman dan pengajian antaribu-ibu KBRI juga berjalan lancar. Tiap Ramadhan ada tarawih bersama. Juga ada pesantren kilat untuk putra-putri mereka. Semuanya dipandu oleh mahasiswa dan mahasiswi Al Azhar.
Masalah yang dihadapi KBRI Cairo tidak serumit yang dihadapi oleh KBRI di Saudi Arabia misalnya, yang setiap hari berurusan dengan TKI atau TKW dengan setumpuk masalahnya yang sangat memusingkan. Misalnya, tidak dibayar majikan, disiksa majikan, diperkosa majikan, diperlakukan seperti budak oleh majikan, dihamili oleh sesama tenaga kerja dari Indonesia, ditangkap polisi karena tidak punya izin tinggal resmi, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.
Masjid Indonesia yang dibangun oleh para pejabat KBRI bahkan telah memiliki perpustakaan yang cukup mengasyikkan bagi putra-putri mereka. Manajemen masjidnya lumayan baik.
Teks khutbah Jum’atnya dibukukan tiap tahun. Masjid Indonesia bahkan biasa menjadi tempat rekreasi bagi para mahasiswa yang ingin melepas penat pikiran. Mereka yang kebanyakan tinggal di Nasr City, jika merasa bosan bisa main ke Dokki. Silaturrahmi ke rumah pejabat KBRI yang dikenal. Atau ke Masjid Indonesia yang terletak di Mousadda Street. Pergi ke Dokki pada hari Jum’at sangat tepat. Selain shalat Jum’at bersama dan bersilaturrahim dengan sesama orang Indonesia, usai shalat Jum’at biasanya ada makan bersama di belakang masjid. Makanan disediakan oleh para pejabat KBRI muslim secara bergiliran. Jika keadaan ini terus bertahan niscaya sangat indah untuk dikisahkan dan dikenang.
Usai makan, aku melakukan rutinitasku di depan komputer.
Mengalihbahasakan kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Kali ini yang aku garap adalah kitab klasik karya Ibnu Qayyim, yaitu kitab Miftah Daris Sa’adah. Dua jilid besar. Kitab berat. Menggarap kitab ini benar-benar menguras pikiran dan tenaga. Aku harus ekstra serius dan hati-hati pada saat Ibnu Qa- yyim membahas masalah ilmu perbintangan, horoskop, pengaruh planet-planet, ramalan nasib, dan lain sebagainya.
Bahasa ilmu falak dan astronomi adalah bahasa yang tidak mudah. Aku terpaksa membuka kamus klasik berkali-kali, karena bahasa yang dipakai Ibnu Qayyim adalah bahasa Arab klasik.
Itu saja tidak cukup, harus juga didampingi dengan kamus dan buku astronomi modern. Dan tatkala yang ditulis Ibnu Qayyim telah terang maksudnya, aku bagaikan menemukan mutiara tidak ternilai harganya. Ibnu Qayyim ternyata juga seorang astronom yang luar biasa.
Menerjemahkan sebuah kitab klasik terkadang terasa sangat menjemukan. Namun ketika rasa jemu bisa teratasi kegiatan itu akan berubah menjadi sebuah rekreasi yang sangat mengasyikkan.
Andaikan Ibnu Rusyd masih hidup, aku ingin bertanya, rasanya seperti apa ketika dia sedang menerjemahkan karya-karya Aristoteles. Dan seperti apa rasanya ketika telah selesai semuanya? Malam ini jadwalku sampai jam dua belas. Berhenti ketika shalat Isya. Akhir bulan naskah harus sudah aku kirim ke Jakarta.
Setelah itu ada dua buku yang siap diterjemah. Buku kontemporer, bahasanya lebih mudah. Seorang teman pernah mencibir diriku, bahwa menjadi penerjemah sama saja menjadi mesin pengalih bahasa. Aku tak peduli dengan segala cibiran mereka. Aku merasa nikmat dengan apa yang aku kerjakan. Aku bisa belajar menambah ilmu, mentransfer ilmu pengetahuan dan berarti ikut serta mencerdaskan bangsa. Aku bisa berkarya, sekecil apa pun bentuknya. Berdakwah, dengan kemampuan seadanya. Dan yang terpenting aku bisa hidup mandiri dengan royalti yang aku terima.
Tidak seperti mereka yang bisanya mencibir saja. Menuruti kata orang tidak akan pernah ada habisnya. Memenuhi segala kecocokan dengan hati semua manusia adalah hal yang tidak mungkin kamu capai! Kata-kata Imam Syafii mengingatkan diriku.
* * *
Pukul 22.00 waktu Cairo. Handphone-ku berdering. Ada sms masuk. Dari Musthafa, teman Mesir satu kelas di pasca. Ia memberikan kabar gembira,
Mabruk. Kamu lulus. Kamu bisa nulis tesis. Tadi sore pengumumannya keluar.
Aku merasa seperti ada hawa dingin turun dari langit. Menetes deras ke dalam ubun-ubun kepalaku lalu menyebar ke seluruh tubuh. Seketika itu aku sujud syukur dengan berlinang airmata.
Aku merasa seperti dibelai-belai tangan Tuhan. Setelah puas sujud syukurku aku mengungkapkan rasa gembiraku pada teman-teman satu rumah. Mereka semua menyambut dengan riang gembira.
Dengan tasbih, tahmid dan istighfar. Dengan mata yang berbinar-binar. Kukatakan pada mereka, “Malam ini juga kita syukuran. Kita beli firoh masywi (ayam bakar) dua. Lengkap dengan ashir mangga. Kita makan nanti tengah malam, bersama-sama di suthuh (atap apartemen yang terbuka ke langit) sana. Bagaimana. Eh ra’yukum?”
“Kalau ini sih usul yang susah ditolak!” sahut Saiful senang.
Siapa yang tidak senang diajak makan ayam bakar gratis. Kukeluarkan uang lima puluh pound.
“Biar aku sama Saiful saja yang beli. Mas Fahri sama Hamdi di rumah saja. Kalian masih capek ‘kan karena perjalanan tadi siang. Okey?” Rudi menawarkan diri.
“Okey. Oh ya selain ashir mangga, beli juga tamar hindi ya? Jangan lupa!” sahut Hamdi. Ia memang paling suka sama tamar hindi. Waktu musim dingin saja ia mencari tamar hindi, apa tidak aneh.
“Beres bos,” seru Saiful.
Keduanya membuka pintu dan keluar.
“Mas aku buat sambal sama menanak sedikit nasi ya?” kata Hamdi.
“Sip. Kita buat bareng,” sambutku sambil mengacungkan kedua jempolku. Memang, tanpa membuat sambal ala Indonesia kurang mantap. Ayam bakar Mesir tidak pakai sambal. Padahal kami berempat adalah orang yang doyan sambal, terutama Hamdi.
Dia jebolan pesantren Lirboyo, harus pakai sambal.
Saat melangkah ke dapur aku teringat Mishbah. Tidak adil rasanya kami berempat berpesta tanpa mengikutsertakan dia.
Namanya keluarga, ketika senang harus dirasakan bersama. Aku tersenyum. Masalah yang mudah. Kutelpon Wisma. Aku minta disambungkan pada Mishbah. Kuberitahukan padanya orang satu rumah akan syukuran atas kelulusanku. Ia berteriak gembira, “Mas apa aku pulang saja sekarang? Pakai taksi ‘kan cepat!”
“Kerjamu sudah selesai?” tanyaku.
“Belum sih sekarang aku lagi membuat estimasi dana sama Mas Khalid.”