Ayat Cinta sang Mawar Putih

Icha Azzahra
Chapter #1

0.1 | Bangsal Seruni

Sebuah mobil Yaris berwarna hitam mengilap tampak berhenti dengan anggun di depan pelataran parkir sebuah bangunan besar yang bertuliskan R.S Medica Kencana. Seorang pria yang tidak lain adalah pengendara mobil itu keluar dari sana setelah berhasil memarkirkan mobilnya dengan sempurna. Pria berusia dua puluh enam tahun bertubuh tinggi tegap dengan wajah yang rupawan khas asia tenggara dengan kulit bersih yang kecoklatan.

Arga Mahendra, pria itu tampak begitu santai dengan pakaiannya yang sangat kasual; kemeja putih dan jeans biru dongker. Ia juga membawa ransel yang sengaja dicangklongkan di sebelah pundaknya. Sambil sesekali merapikan rambutnya yang tampak sedikit berantakan, ia berjalan memasuki bangunan besar bercat putih itu. Tampak beberapa perawat menyapa sambil menyungging senyum padanya. Tak ayal membuatnya membalaskan senyum juga anggukkan kecil yang sarat keramahan.

"Pagi, dr. Arga!"

Arga tersenyum begitu melihat sosok wanita bermata gelap yang tampak cantik dengan balutan pakaian sopan dengan hijab di atas kepala sedang berjalan menghampirinya. "Pagi, Dokter... Filza."

Filza tertawa kecil, lalu begitu jarak mereka sudah dekat ia langsung menepuk lengan Arga cukup keras hingga membuat pria itu meringis. "Selalu saja pura-pura lupa," sungutnya dengan nada mengejek.

Arga tertawa. "Mau jalan ke ruangan bersama?"

"Boleh."

Mereka pun berjalan bersama menyusuri koridor demi koridor rumah sakit hanya untuk menuju ke ruangan mereka yang memang sengaja disediakan di tiap sudut rumah sakit tergantung spesialis yang mereka bidangi. Kebetulan mereka memiliki bidang spesialis yang sama, jantung. Dan hal itu membuat ruangan mereka berdekatan, hanya berjarak tiga ruang saja.

"Dr. Arga tumben sekali, pagi-pagi begini sudah datang? Ada angin apa?" Filza menoleh sedikit ke arah Arga yang tampak sedang sibuk mengambil jas putih dari dalam ranselnya. Hal itu memang sudah menjadi kebiasaan Arga yang selalu saja tidak mempersiapkan peralatannya terlebih dulu termasuk jas kebesarannya sebagai seorang Dokter yang seharusnya sudah ia kenakan sejak ia masuk ke dalam rumah sakit ini. Filza hanya bisa menggelengkan kepala, ia sudah biasa mendapati hal seperti ini dari Arga.

"Ah, itu... ada pasien yang harus dicek pagi-pagi. Jadi saya harus datang lebih pagi. Bukankah kalau saya datang pagi itu malah lebih baik, dr. Filza?" tanya Arga balik dengan alis terangkat. Filza hanya tersenyum tipis sambil mengangkat bahu, lalu segera berjalan mendului Arga.

Arga segera menyamai langkah Filza yang bergerak cepat namun tetap saja langkah kecil Filza itu bisa dengan cepat disusul Arga hanya dengan beberapa langkah panjang. Arga merunduk sedikit, lalu berbisik di telinga Filza, "Gue masih susah bicara formal sama lo."

Bisikan Arga ditelinganya membuat Filza menoleh menatap pria itu sambil terkekeh pelan. "Sama. Tapi mau gimana? Kita harus menaati peraturan tentang tidak ada bahasa informal antar sesama Dokter, kan?"

Arga memutar bola mata. Ia sudah hapal betul tentang peraturan itu apalagi sudah hampir setahun ini dia berkerja di tempat ini, membuat peraturan itu sudah berada di luar kepalanya. Ia mendesah melihat ruangannya sudah berada di depan mata, lalu mengangkat bahu sebagai jawabannya pada Filza.

"Kalau begitu, selamat berkerja dr. Filza..."

Filza mengangguk sambil tersenyum. "Selamat berkerja juga, dr. Arga!" balasnya, lalu keduanya segera berlalu masuk ke dalam ruangannya masing-masing.

Di dalam ruangannya, Arga langsung mengecek data nama pasien yang ia tangani. Beberapa di antaranya adalah pria dan wanita berumur yang usianya telah melebihi batas setengah abad, beberapa lagi adalah pria yang sebaya dengannya, dan tak sedikit di antara mereka adalah anak-anak kecil.

Arga tersenyum kecil saat matanya membaca laporan pasien yang ia tangani beberapa minggu ini telah mendapat kemajuan. Pasien terkecil dari semua pasien yang ia tangani. Lalu, ia lantas mengambil stetoskop dari atas meja kerjanya dan tak lupa mengantongi buku catatan kecil berserta sebuah pulpen hitam. Itu adalah kebiasaannya jika melakukan kunjungan pasien seperti yang akan dilakukannya saat ini.

Arga keluar dari ruangannya, dan berjalan lurus menuju bangsal Seruni yang letaknya lumayan jauh dari ruangannya berada. Selama di perjalanan menuju ke sana Arga selalu mendapat sapaan dari para perawat atau sesama dokter yang berpapasan dengannya, beberapa pasien atau keluarga pasien yang pernah ditanganinya pun terkadang ikut menyapa. Arga memang dikenal dengan sebutan "Friendly Doctor" karena senyum dan sikapnya yang ramah. Maka tak heran jika pasien yang ia tangani cukup banyak di rumah sakit ini.

"Halo jagoan! Gimana kabarmu hari ini?" sapa Arga begitu masuk ke dalam sebuah ruang mungil dengan seorang pasien kecil yang sedang berbaring di sana bersama seorang ibu yang sedang duduk setia menunggui. Senyum lebar atau tawa selalu disunggingkan Arga seakan-akan itu bisa menghantarkan energi pada siapa pun yang melihat terlebih untuk pasiennya.

Tampak seorang anak laki-laki bertubuh kecil segera bangun dari tidurnya ketika mendengar sapaan itu. Ia langsung tersenyum lebar saat Arga semakin mendekatinya.

"Sudah lebih baik, hmm?" lanjutnya lagi.

Anak laki-laki itu langsung mengangguk antusias, tak lupa dengan senyuman lebar tercetak di bibirnya yang kecil. "Sudah Dokter!"

"Pintar..." sahut Arga sambil mengelus puncak kepala anak lelaki itu dengan lembut. "Kalau begitu sekarang Dokter mau cek keadaan Adrian nih, abis Dokter kurang yakin sih, kalau Adrian sudah lebih baik.."

"Boleh ya, Dokter Arga cek ulang?" tanya Arga yang langsung diangguki oleh Adrian tanpa ragu sedikit pun. Sang ibu pun hanya tersenyum melihat tingkah putranya.

Arga mengenakan stetoskop di kedua telinganya dan mulai mengecek detak jantung Adrian. Mengeceknya beberapa kali, lalu melepaskan stetoskop itu dari telinganya. Tatapannya kini beralih pada wanita paruh baya yang sejak tadi berdiri di sisi ranjang rumah sakit.

"Semalaman ini, apa Adrian mengeluhkan sesuatu, Bu?"

Lihat selengkapnya