"Harusnya kamu mbok yaa.. nggak boleh berkata begitu sama dokter itu...."
Mawar semakin merapatkan matanya, mengabaikan suara wanita yang terus menerus berbicara atau lebih bisa dikatakan mengomelinya dibandingkan berbicara dengannya. Sejak masuk ke ruang kamar inapnya, wanita itu terus saja menggerutui sikap Mawar pada dokter pengganti yang baru dikenalnya dengan nama dr. Arga. Bisa dipastikan Mawar, kalau kakaknya itu telah menguping pembicaraan mereka sebelum ia masuk.
Puspa Az Zahwa, sebut saja Puspa. Ia adalah kakak kandung Mawar yang hampir setiap harinya datang ke rumah sakit ini untuk menjaga adik satu-satunya itu, ia juga lah yang menjadi wali Mawar di rumah sakit ini. Mawar sangat menyayangi kakak semata wayangnya itu, seperti Puspa menyayanginya. Sebagai saudara yang dilahirkan melalui rahim yang sama, pastilah ikatan kasih sayang mereka lebih kuat dibandingkan apa pun. Tapi kalau masalah kecerewetan Puspa yang tiada tara itu, Mawar lebih memilih tutup kuping daripada kupingnya ini harus panas terbakar karena gerutuan-gerutuan itu.
Mawar mendesah panjang seraya terus berusaha menebalkan cuping indera pendengarannya agar suara yang melengking nyaring itu tidak langsung masuk dan menyakitinya. Bukannya bersikap tidak sopan, tapi Mawar sudah lelah apalagi setelah meminum obatnya barusan ia langsung merasakan kantuk yang luar biasa hingga ia lebih memilih diam dan memejamkan matanya rapat-rapat. Biarkanlah kakaknya itu mengomel terus untuk saat ini, mungkin setelah beberapa saat ia akan diam sendiri karena letih. Ya, tunggu saja waktu yang terus berputar itu.
Satu menit.
Dua menit.
Mawar mendesah gusar mendengar kakaknya tiada henti mengomeli dirinya, malah sekarang ini lebih parah, ia membawa-bawa ajaran agama yang dipelajari Mawar selama ini. Membanding-bandingkan sikap Mawar dengan sikap muslimah taat pada umumnya. Yang harusnya begini lah, harus begitu lah, tidak boleh begini lah, tidak boleh begitu lah. Ia jadi jengah sendiri mendengar gerutuan Puspa yang makin ke sini makin menjadi saja.
Padahal menurut Mawar, sikap dan perkataannya yang ia tunjukkan kepada dokter tadi sudah betul dan memenuhi sopan santun. Ia sudah bersuara lembut, berkata maaf sebelum memulai ucapan-ucapan yang ia akui memang sedikit menyinggung. Tapi, ia kan hanya menyuarakan suara kebenaran. Karena selama ini yang ia tahu, seorang laki-laki dan wanita yang bukan mahram haram hukumnya untuk bersentuhan.
Mendengar perbandingan yang dikatakan kakaknya tentu saja Mawar merasa gerah. Apalagi ia sedang butuh waktu untuk istirahat saat ini. Ia membutuhkan ketenangan!
"Mbak Puspa tolong diam sebentar aja.... Aku mau istirahat dulu!" Seru Mawar dengan suara lirihnya dan mata yang masih terkatup rapat.
"Gimana Mbak bisa diam, wong kamunya aja begitu. Kamu nggak tahu gimana perasaan Mbak yang ngelihat Dokter itu keluar dengan wajah suntuknya. Dia kelihatan kesel banget tadi pas habis periksa kamu! Sampai-sampai Mbak nggak disenyumi sama dia!"
"Memang dia Putri Indonesia yang harus tebar senyum di depan semua orang, termasuk Mbak?" sahut Mawar santai dengan matanya yang masih terpejam.
"Ish, kamu itu yaa..." Puspa mencubit lengan adiknya, gemas.
Kontan, kedua mata Mawar terbuka lebar-lebar. Mendelik kepada Puspa yang sedang menatapnya tajam. "Mbak ih, suka banget nyakitin adik sendiri!"
"Mbak nggak merasa." Puspa mengangkat bahunya. Mawar mendengus kesal.
"Mawar. Pokoknya Mbak nggak mau tau, kamu harus minta maaf sama dokter itu! Mbak nggak enak sama dia." Puspa menghela napasnya sejenak. "Asal kamu tahu yaa.... Dokter itu adalah dokter spesialis jantung paling ramah di rumah sakit ini."
Mawar mengernyit heran. Tahu-tahunya kakaknya ini tentang dokter itu. "Mbak tahu dari mana kalau dokter itu ramah?"
Puspa melirik Mawar sebal. Adiknya ini sudah cukup lama menjadi pasien di rumah sakit ini tapi tetap saja tidak pernah tahu sekitarnya. Tidak peka, itulah salah satu sifat Mawar yang sering membuat Puspa berdecak jengah.
"Selama nganter kamu check up di RS ini, Mbak disenyumi dokter itu. Maka itu Mbak tahu kalau dia ramah dan murah senyum. Padahal Mbak ini nggak kenal sama dokter itu, tapi dia malah senyumi Mbak." Ingatan Puspa menerawang pada beberapa waktu lalu saat ia sedang mengantar Mawar ke ruangan dokter yang menanganinya, dan ketika ia menunggu Mawar di depan ruangan itu ia melihat Arga sedang berjalan di lorong, dan tiba-tiba tersenyum padanya saat hendak melewatinya.
Puspa buru-buru kembali pada alam sadarnya. Ia langsung mengarahkan tatapannya pada Mawar. Tatapan yang begitu tajam hingga membuat Mawar mengernyitkan dahi dengan segenap rasa heran.
"Mawar. Pokoknya kamu harus minta maaf sama dokter itu!" titah Puspa tidak terbantahkan.
Mau tidak mau Mawar langsung mengangguk mengiyakan. Kepalanya terasa sudah sangat berat. Terlebih, rasa kantuk di matanya sudah tidak bisa ia tahan lagi. Ia ingin tidur dan istirahat segera!
"Ya sudah, Mbak Puspa nggak perlu khawatir. Nanti, kalau dokter itu kunjungan lagi... aku akan minta maaf."
"Kasih penjelasan untuk sikapmu juga! Kalau perlu, pakai dalil-dalil yang kamu hapal, supaya dokter itu yakin." Tukas Puspa.
"Hmm, nanti yaa Mbak diomongin lagi..." Mawar menghela napas panjang. Ia segera menutup matanya kembali. "Sekarang aku tidur dulu. Jangan lupa bangunkan aku saat adzan Ashar yaa, Mbak!" serunya lagi dengan mata terkatup rapat.
"Iya," Puspa merapikan selimut yang menutupi sebagian tubuh Mawar sebelum ia beranjak dan mengempaskan tubuhnya di sofa.