Ayat Suci di Dewaruci

Oleh: Uri Djuli

Blurb

Bapak tak pernah meminta apa pun dengan begitu keras padaku, kecuali membacakannya ayat suci di hari kematiannya nanti. Dan aku tak pernah merasakan kesulitan yang berarti dalam hidup, kecuali membaca kitab suci.

Aku bukanlah seorang anak yang pandai di sekolah. Aku selalu merasa tak bisa. Meski telah berganti celana seragam dari merah menjadi biru, aku justru sangsi akan mengenakan celana panjang abu-abu. Mei 98 adalah saat paling menyenangkan untukku. Sekolah di seluruh Jakarta mendadak diliburkan. Aku bahkan berputar-putar di ruang tv sambil mengingat arah kiblat, lalu melakukan sujud syukur atas hal itu.

Meski begitu, Ibu selalu bilang kalau kelak aku akan menjadi seorang profesor dan bekerja di luar negeri seperti Pak Habibie. Aku kian sangsi. Jangankan bekerja di luar negeri, setiap usai pelajaran Bahasa Inggris, aku selalu mencari obat pereda nyeri. Ada sesuatu seperti tusuk sate yang menancap di dalam kepalaku.

Meski Bapak adalah seorang tentara, ia tak pernah mengarahkan aku untuk menjadi sepertinya. Tubuhku kurus dan mataku minus. Aku tak banyak makan, apa lagi olah raga. Olah raga terberatku adalah salat tahajud pukul dua tigapuluh dini hari.

Lalu apa yang istimewa dariku?

Tentu saja tak ada. Aku bukan siapa-siapa. Tak ada yang istimewa. Ini hanya kisah tentang aku yang melukis masa depan sekaligus memenuhi permintaan Bapak dengan caraku yang tak biasa.

Lihat selengkapnya