Ayat yang Tak Terucap

DMRamdhan
Chapter #1

Dia yang Bersemayam

Dia menjelma seakan berasal dari asap, melangkah pada gelap malam di halaman depan masjid. Ia hendak bersemayam di celah kaki beduk tua. Beduk tua yang tak lagi berfungsi, kecuali menjadi monumen khas pondok pesantren yang berdiri persis di halaman depan masjid. Dia sudah lama bersemayam di sana, bahkan sejak mesjid itu berupa surau berbahan bilik bambu.

Ya, dia ingat. Sangat ingat.

Kala itu, dia mendengar suara bocah di bawah beduk. Pada suatu senja dan surau itu tampak sepi. Dia melihat bocah itu duduk bersandar di salah satu kaki beduk, sambil memegang mushaf Quran. Bocah itu sedang membacanya. Suaranya sangat pelan, karenanya dia mendekat. Sangat dekat hingga dia hampir bisa menyentuh bahu bocah itu, hingga dia bisa merekam aroma tubuh bocah itu, hingga ia bisa rasakan pendar khas aura bocah itu. Lalu dia mendengarkan dan memperhatikan.

"Qul uhiya ilayya annahustama'a nafarum minal-jinni fa qalu. . . ."

Ya. Dia mengerti apa yang dibacakan bocah itu.

 "Katakanlah, telah diwahyukan kepadaku bahawa ada sekumpulan jin telah mendengarkan bacaan Al Quran dan berkata . . . ."

Ada perasaan bangga, mendengar apa yang dibaca bocah itu. Dia merasa disebut dalam ayat itu. Hanya saja, tiba-tiba bocah itu berhenti membaca karena dipanggil seseorang.

"Ayo, mobilnya sudah ada!" panggil seseorang itu, agak jauh di pinggir jalan.

Bocah itu gesit beranjak dan berlari.

Dia yang masih ingin mendengarkan sempat hendak meraih bocah itu, tapi ia tidak sanggup. Bagai ada tabir gaib menahannya menyentuh bocah itu. Ada pendar aura yang membesar yang tak sudi tersentuh olehnya. Dia pun diam tidak berdaya. Dia masih ingin mendengarkan, tapi hanya bisa melihat bocah itu pergi. Dia putuskan untuk menunggu di bawah beduk itu, dengan harapan besok bocah itu akan kembali dan membaca lagi.

Tapi dia tidak pernah kembali . . . .

Sampai beduk pun menua, beralih menjadi monumen khas sebuah pondok pesantren. Dia masih menunggu.

Tapi tidak ada yang dia sesali. Selama menunggu, dia menyaksikan peralihan surau itu menjadi masjid, lalu hadirnya majelis ta’lim yang memberinya bacaan-bacan Al Quran, lalu menjadi balai pendidikan agama Islam untuk anak-anak desa. Berkembang dan berkembang hingga menjadi pondok pesantren yang besar. Sampailah dia pada malam dia merasakan samar aura dan aroma dari bocah itu.

Dia yang seolah menjelma dari asap, alih-alih hendak bersemayam di bawah beduk, ia kini menyusuri sisi samping masjid dan menemukan bocah itu di teras masjid. Bocah yang telah remaja, tapi … bukan bocah yang sama. Ya, dia sadar, hanya aura dan aroma bocah itu yang mirip. Sepertinya bocah laki-laki di teras masjid itu adalah keturunan dari bocah yang dia maksud. Ya, mungkin begitu. Dia perhatikan bocah laki-laki itu sedang mengintip ke dalam masjid.

Malam masih beberapa jam lagi menuju fajar, namun bagian dalam masjid telah terang. Dia tahu, sebentar lagi para santri akan memenuhi masjid untuk salat Tahajud, tapi sekarang di dalam masjid hanya tampak seorang santri putri di bagian belakang masjid. Dia tahu santri putri itu sedang membaca Al Quran. Tahu meski tidak mendengarnya, karena santri itu membaca dengan cara yang tidak biasa.

Tidak ada lembaran Al Quran di hadapan santri putri itu. Sepertinya sedang murojaah hapalan, mengulang bacaan Quran dari memorinya. Namun, bibir santri putri itu tampak terkatup. Bacaannya “terdengar” dari gerak kedua tangannya. Gerakan yang tidak lambat, namun tidak juga cepat; tampak mengalir seperti permukaan sungai, mengalun seperti semilir angin.

Tidak hanya itu, dia yang memperhatikan, merasakan semacam pendar suci dari aliran gerak tangan dan jemari santri putri itu. Dia yang ikut memperhatikan seketika terkesima.

Dia melihat santri putri itu mendekatkan telunjuknya ke dagu lalu mengangkatnya ke samping kanan, menunjuk ke atas. Kemudian santri putri itu menangkupkan telapak tangan kanan ke dada kiri, membentuk lingkaran seolah hendak memungut sesuatu, namun segera tangkupan tangan kanan itu beralih ke atas. Itu yang dia lihat, namun dia juga bisa melihat pendar yang terpancar dari gerak tangan santri putri itu seolah menjadi sesuatu yang bisa didengar.

Bismillahirrahmannirrahiim ….

Ya, santri putri itu "membaca" lafaz basmalah.

Kemudian tangan kanan santri putri itu kembali menangkup ke dada kirinya, membangun kata yang sama yang terdapat pada lafaz basmalah. Dia melihat ada rasa peduli pada isyarat tangkupan melingkar dari jemari sang santri putri di dada kirinya itu.

Arrahman ….

Lihat selengkapnya