Ayat yang Tak Terucap

DMRamdhan
Chapter #2

Dia yang Gelisah

“Buk!”

Dia yang bersemayam di celah kaki beduk mendadak merasa gelisah. Dia melangkah keluar dan membentuk figur yang berpuluh-puluh kali tingginya dari tinggi beduk. Dia memindai sekitarnya. Matahari telah cukup lama melewati waktu Asar dan dia bisa melihat banyak para santri yang berkeliaran di luar ruangan. Pemandangan yang biasa.

“Buk!”

Gelisahnya seperti mencengkram dadanya, memberinya semacam visi kalau sesuatu yang buruk sedang terjadi. Dia merasa dorongan kuat untuk menemukan sumber perasaan gelisah itu. Dia memutar arah pandangnya ke sepenjuru pondok pesantren.

Pondok pesantren itu terbilang luas. Dengan monumen beduk dan masjid di bagian depan, berjarak 100 meter dari gerbang depan yang merapat jalan provinsi. Jarak 100 meter berlapis aspal itu diapit oleh kebun asuhan para santri—dia sempat melihat beberapa santri sedang menyiangi gulma di kebun itu, tapi gelisah itu tidak berasal dari sana.

Jalur beraspal itu melingkar di halaman masjid, terhubung pada dua bangunan modern bertingkat di kiri-kanan masjid. Di belakang masjid terdapat lapangan luas dengan empat sudut yang ditumbuhi batang pohon besar. Dia yang menjulang di depan beduk tua itu beralih ke salah satu pohon di sudut lapangan, bertengger di puncaknya.

Dia melihat barisan santri putra di tengah lapangan sedang latihan baris berbaris, ada juga yang sedang lari pemanasan sebelum memasuki gedung olah raga di seberang lapangan, berlawanan dengan letak masjid.

“Buk!”

Dia menerawang ke seberang lapangan.

Di seberang lapangan dari masjid, terdapat tiga bangunan bertingkat dengan dua bangunan berukuran lebih kecil mengapit bangunan yang lebih besar di tengahnya yang merupakan aula merangkap gedung olah raga. Dia yang bertengger di puncak pohon memutuskan untuk mengitari samping bangunan kanan. Lalu dia temukan sumber gelisahnya. Di sudut tersembunyi bangunan kecil yang berfungsi sebagai gudang. Dia melihat bocah bernama Ahmad itu menelungkup di lantai beton, meringis saat menerima tendangan seorang santri.

“Buk!”

“Jadi kamu suka sama cewek tuli itu, ya?”

Ada tiga santri putra di sana, berdiri mengitari Ahmad. Ada pendar noda nista yang besar mengitari tiga santri putra itu.

Dia melihat Ahmad terdiam. Tidak menjawab. Entah karena sakit atau karena takut.

“Jadi? Apa maksud kertas ini?” tanya santri yang lain, terdengar datar dan dingin. Santri putra itu mengacungkan secarik kertas berisi tulisan Sofi.

Dia yang menjadi saksi aksi perundungan itu tidak terima. Tidak terima hasratnya terganggu oleh siapapun. Dia mendekat dan hendak menjulurkan tangannya. Namun, ia mendadak urung karena mendengar seseorang mendekat.

“Hey! Ada apa ini?!”

Dia yang urung beraksi melihat sosok gempal berkulit gelap di sudut bangunan kecil gudang. Sosok itu berkacak pinggang dan tampak galak.

Tiga santri bernoda nista itu kocar-kacir, namun dia yang menjadi saksi tidak bisa membiarkannya. Dengan sedikit usaha yang tak terlihat, dia membuat tersandung santri yang memegang secarik kertas tadi. Dua yang lain dibiarkannya kabur. Sengaja. Memecah noda nista dari tiga santri putra itu merupakan langkah taktis untuk menghilangkan ancaman yang mengganggu hasratnya. Memberi perasaan terisolasi pada santri putra yang memegang kertas itu, memberi perasaan tidak percaya pada kedua temannya, memberi santri putra itu perasaan sepi dan sendiri.

“U-Ustaz Usep,” gumam Ahmad saat mengangkat wajahnya dan melihat sosok gempal itu. Tampak ada memar dan noda darah di sudut kanan bibir Ahmad.

Ustaz Usep mendekati santri putra yang meringis akibat tersungkur tadi. Diraihnya secarik kertas yang masih dipegang santri putra itu.

“Apa ini, Zal?” tanya sang ustaz.

“I-itu punya Ahmad, Ustaz! Dia-dia sepertinya mau berbuat yang tak pantas dengan Sofi!”

“Yang tidak pantas itu kamu yang memukuli Ahmad,” tanggap Ustaz Usep dingin, yang kemudian dilanjutkan dengan membentak, “Berdiri! Ikut! Kamu juga Ahmad!”

Enggan dan berat hati, kedua santri putra itu berdiri dan mengikuti sosok gempal yang sepertinya cukup ditakuti.

Dia yang menyaksikan memutuskan mengikuti mereka. Ada ketidakpastian dari apa yang disaksikannya. Dia merasa harus mengikuti mereka.

Langkah mereka cukup jauh untuk ukuran langkah manusia, beralih dari beranda gedung ke beranda gedung lain hingga sampai pada ruangan yang cukup luas dengan banyak meja berderet. Beberapa sosok ustaz dan ustazah hadir di sana dengan urusan masing-masing, tidak terlalu memperhatikan mereka yang diikuti sosok tak kasatmata. Kemudian langkah mereka memasuki sebuah ruangan lain yang lebih kecil dengan empat meja berderet di seberang pintu. Ustaz bertubuh gempal itu menuju salah satu meja dan duduk, membiarkan dua santri putra yang mengikutinya berdiri di depan meja. Sementara dia yang cemas mengambang di pintu yang terbuka, memperhatikan.

“Yang saya lihat, Rizal, kamu dan dua teman kamu menendangi Ahmad. Saya tidak melihat sedikitpun alasan yang bisa membenarkan perbuatan kalian,” ucap Ustaz Usep datar.

Dua santri putra itu terdiam dan menunduk dalam.

Ustaz itu beralih ke Ahamd. “Kertas ini jelas dari Sofi, tapi ada nama saya juga. Bisa kamu jelaskan, Ahmad.”

Ahmad mengangkat wajahnya. “Saya melihat Sofi tilawah memakai bahasa isyarat, Ustaz. Saya ingin belajar dan katanya saya bisa hubungi Ustaz.”

“Ah, alasan!” dengkus Rizal sinis. “Saya lihat sendiri! Dia senyam-senyum sendiri sambil lihat kertas itu. Makanya saya bisa merebutnya, Ustaz! Dia jelas naksir Sofi!”

Lihat selengkapnya