Dia penasaran apakah akan melihat gadis itu hari ini.
Khalid Mirza duduk di meja sarapan di dapurnya yang minimalis, kaki panjangnya nyaris menyapu lantai. Saat itu pukul tujuh pagi dan matanya mengembara ke jendela, yang memperlihatkan pemandangan terbaik kompleks townhouse di seberang jalan.
Kesabarannya berbalas.
Seorang gadis yang mengenakan hijab ungu, kemeja biru, blazer, dan celana hitam berlari menuruni undakan townhouse yang terletak di tengah, sembari mencoba menyeimbangkan travel mug keramik merah dan tas kanvas di tangannya. Dia sedikit tersandung, tetapi berhasil menahan diri dan berhenti tepat di depan sebuah sedan tua. Dia lalu meletakkan moknya di kap mobil dan membuka pintu.
Sejak pindah ke kompleks ini dua bulan lalu, Khalid telah melihat gadis itu beberapa kali; selalu membawa mok keramik merahnya, selalu terburu-buru. Gadis itu bertubuh mungil, dengan muka bulat dan senyum menenangkan, serta kulit keemasan mengilap sewarna tembaga yang tampak berkilau di bawah langit pagi bulan Maret yang muram.
Tidak sopan menatap perempuan, tidak peduli betapa menariknya hijab ungu yang mereka kenakan, Khalid mengingatkan diri sendiri. Namun, matanya terarah kembali kepada gadis itu dengan tatapan sayu. Gadis tersebut begitu cantik.
Suara musik Bollywood yang meraung dari pelantang sebuah mobil membuat gadis itu membeku. Dia mengamati sekeliling Toyota Corolla-nya dan mendapati sebuah Mercedes SLK konvertibel merah mendekat. Khalid melihat bagaimana gadis itu kemudian meringkuk di belakang mobilnya. Dari siapa gadis itu ingin bersembunyi? Khalid mencondongkan tubuh agar bisa melihat lebih jelas.
“Apa yang sedang kau lihat, Khalid?” tanya ibunya, Farzana.
“Tidak ada, Ammi1,” sahut Khalid, menyuapkan telur orak-arik lembek yang disiapkan Farzana untuk sarapan ke mulutnya. Ketika dia kembali mendongak, si gadis dan tas kanvasnya telah berada di dalam mobil.
Tidak dengan mok merahnya.