Ayesha

Noura Publishing
Chapter #2

BAB 2

Toyota itu meluncur di jalanan, menciut dan mendecit. Ta­ngan Ayesha terulur untuk meraih moknya, tetapi hanya men­dapati udara kosong. Melalui kaca spion, dia melihat kepingan merah ber­serakan di aspal. Hancur sudah.

Dia begitu terburu-buru menghindari Hafsa tadi. Kini, dia harus menghadapi hari pertamanya sebagai guru pengganti tan­pa perlindungan menenangkan mok berisi chai-nya.

Bukan masalah, itu sepadan. Pada detik dia melihat kehadiran Mercedes konvertibel merah tersebut di jalanan rumahnya, Aye­sha bisa menebak alasan sang sepupu berkunjung pagi-pagi dan dia sedang tidak ingin mendengarkan.

Di samping itu, ada satu aturan yang terus dicamkan ber­u­lang-ulang kepadanya di sekolah keguruan: seorang guru dilarang, untuk alasan apa pun, datang terlambat.

Ayesha telah lulus dari sekolah keguruan Juni lalu. Butuh hampir tujuh bulan baginya untuk mengamankan posisi sebagai guru pengganti setelah mengirimkan resume ke berbagai sekolah lokal. Sekarang isi perutnya terasa jungkir balik selagi dia memar­kir­kan mobil di lapangan khusus staf Brookridge High School, se­buah bangunan bata cokelat yang terdiri dari dua lantai dan diba­ngun pada 1970-an; jelek tetapi fungsional.

Bangunan itu tampak mirip dari segi rancangan dan atmosfer dengan sekolah lamanya. Lusuh, seperti halnya kebanyakan ge­dung publik, dengan penerangan berpendar kebiruan dan lantai lino­leum berlapis lilin yang penuh bercak. Staf berkulit putih yang berpa­kai­an sama, kebanyakan mengenakan celana bahan atau rok bisnis yang tampak formal. Juga para murid—didominasi kulit cokelat dan hi­tam—yang berjalan malas-malasan dalam balutan jins, celana olah­raga, dan terusan yang terlalu pendek. Ayesha melirik cepat pakaian yang telah dipilihnya dengan hati-hati untuk hari ini: keme­ja biru dan celana hitam longgar. Tangannya dengan gugup merapi­kan ba­gian atas hijab ungunya.

Bagian dari kedua dunia sekaligus bukan keduanya, dia mem­batin.

Pikiran semacam itu sama sekali tidak membantu meredakan ratusan kupu-kupu yang mengepak dalam perutnya.

Dia memasuki foyer luas dan terbuka, yang dinding betonnya di­cat dalam nuansa hijau pudar dan samar menguarkan bau seperti ca­iran pembersih industri. Aroma yang familier itu membuatnya te­nang dan dia tersenyum tipis ke arah seorang siswi yang mengenakan legging hitam dan jaket bertudung biru, dengan ransel yang terisi penuh membebani punggungnya. Gadis itu menatapnya ragu sebe­lum memperbaiki posisi tasnya dan dengan sengaja berjalan men­ja­uh menyusuri aula, mengingatkan Ayesha bahwa dirinya harus ber­gegas. Seorang guru tidak boleh terlambat.

Sang sekretaris, Mary, telah menunggunya di kantor utama de­ngan formulir yang harus ditandatangani. Mr. Evorem, kepala seko­lah, berhalangan hadir hari ini, Mary menjelaskan. “Dia ingin ber­temu denganmu besok untuk memberikan penyambutan yang pantas.”

Seorang pria berkulit putih, berusia awal tiga puluhan dan ber­janggut hitam pendek, berjalan memasuki kantor saat Ayesha baru saja selesai mengisi data, dan Mary memintanya untuk mengantarkan Ayesha ke kelas. Pria itu melongok dari balik bahu Ayesha untuk me­ngintip jadwalnya.

“Sains, kelas sepuluh?” Matanya melebar. “Kau mengganti­kan Rudy?”

“Siapa Rudy?” Ayesha bertanya selagi mereka berjalan me­nu­runi tangga.

“Guru terakhir yang kabur setelah ditakut-takuti anak-anak kurang ajar itu. Kurasa dia memilih untuk pensiun lebih awal dari kelas itu.”

Ayesha menatap pria tersebut, menunggu isyarat bahwa yang barusan itu hanyalah sebuah candaan. Tidak ada tanda-tanda apa pun. “Tidak seorang pun memberitahuku tentang itu.”

“Kuharap kau cukup cekatan. Anak-anak kurang ajar itu suka me­lem­par barang.”

Empat puluh menit kemudian, Ayesha meringkuk di toilet kamar mandi staf, terjepit antara rasa bersalah dan mengasihani diri sen­­diri. Alih-alih mengajar, dia malah bersembunyi dari murid-murid di kelasnya. Lebih buruk lagi, dia bahkan menulis sebuah puisi di notes ungunya yang berjilid spiral.

Aku tidak bisa melakukan ini.

Hal yang seharusnya kulakukan.

Aku bisa melakukan ini.

Hal yang tidak ingin kulakukan.

Aku ingin pergi jauh, menguntai kata-kata yang mera­ung­kan kebenaran.

Lihat selengkapnya