Toyota itu meluncur di jalanan, menciut dan mendecit. Tangan Ayesha terulur untuk meraih moknya, tetapi hanya mendapati udara kosong. Melalui kaca spion, dia melihat kepingan merah berserakan di aspal. Hancur sudah.
Dia begitu terburu-buru menghindari Hafsa tadi. Kini, dia harus menghadapi hari pertamanya sebagai guru pengganti tanpa perlindungan menenangkan mok berisi chai-nya.
Bukan masalah, itu sepadan. Pada detik dia melihat kehadiran Mercedes konvertibel merah tersebut di jalanan rumahnya, Ayesha bisa menebak alasan sang sepupu berkunjung pagi-pagi dan dia sedang tidak ingin mendengarkan.
Di samping itu, ada satu aturan yang terus dicamkan berulang-ulang kepadanya di sekolah keguruan: seorang guru dilarang, untuk alasan apa pun, datang terlambat.
Ayesha telah lulus dari sekolah keguruan Juni lalu. Butuh hampir tujuh bulan baginya untuk mengamankan posisi sebagai guru pengganti setelah mengirimkan resume ke berbagai sekolah lokal. Sekarang isi perutnya terasa jungkir balik selagi dia memarkirkan mobil di lapangan khusus staf Brookridge High School, sebuah bangunan bata cokelat yang terdiri dari dua lantai dan dibangun pada 1970-an; jelek tetapi fungsional.
Bangunan itu tampak mirip dari segi rancangan dan atmosfer dengan sekolah lamanya. Lusuh, seperti halnya kebanyakan gedung publik, dengan penerangan berpendar kebiruan dan lantai linoleum berlapis lilin yang penuh bercak. Staf berkulit putih yang berpakaian sama, kebanyakan mengenakan celana bahan atau rok bisnis yang tampak formal. Juga para murid—didominasi kulit cokelat dan hitam—yang berjalan malas-malasan dalam balutan jins, celana olahraga, dan terusan yang terlalu pendek. Ayesha melirik cepat pakaian yang telah dipilihnya dengan hati-hati untuk hari ini: kemeja biru dan celana hitam longgar. Tangannya dengan gugup merapikan bagian atas hijab ungunya.
Bagian dari kedua dunia sekaligus bukan keduanya, dia membatin.
Pikiran semacam itu sama sekali tidak membantu meredakan ratusan kupu-kupu yang mengepak dalam perutnya.
Dia memasuki foyer luas dan terbuka, yang dinding betonnya dicat dalam nuansa hijau pudar dan samar menguarkan bau seperti cairan pembersih industri. Aroma yang familier itu membuatnya tenang dan dia tersenyum tipis ke arah seorang siswi yang mengenakan legging hitam dan jaket bertudung biru, dengan ransel yang terisi penuh membebani punggungnya. Gadis itu menatapnya ragu sebelum memperbaiki posisi tasnya dan dengan sengaja berjalan menjauh menyusuri aula, mengingatkan Ayesha bahwa dirinya harus bergegas. Seorang guru tidak boleh terlambat.
Sang sekretaris, Mary, telah menunggunya di kantor utama dengan formulir yang harus ditandatangani. Mr. Evorem, kepala sekolah, berhalangan hadir hari ini, Mary menjelaskan. “Dia ingin bertemu denganmu besok untuk memberikan penyambutan yang pantas.”
Seorang pria berkulit putih, berusia awal tiga puluhan dan berjanggut hitam pendek, berjalan memasuki kantor saat Ayesha baru saja selesai mengisi data, dan Mary memintanya untuk mengantarkan Ayesha ke kelas. Pria itu melongok dari balik bahu Ayesha untuk mengintip jadwalnya.
“Sains, kelas sepuluh?” Matanya melebar. “Kau menggantikan Rudy?”
“Siapa Rudy?” Ayesha bertanya selagi mereka berjalan menuruni tangga.
“Guru terakhir yang kabur setelah ditakut-takuti anak-anak kurang ajar itu. Kurasa dia memilih untuk pensiun lebih awal dari kelas itu.”
Ayesha menatap pria tersebut, menunggu isyarat bahwa yang barusan itu hanyalah sebuah candaan. Tidak ada tanda-tanda apa pun. “Tidak seorang pun memberitahuku tentang itu.”
“Kuharap kau cukup cekatan. Anak-anak kurang ajar itu suka melempar barang.”
Empat puluh menit kemudian, Ayesha meringkuk di toilet kamar mandi staf, terjepit antara rasa bersalah dan mengasihani diri sendiri. Alih-alih mengajar, dia malah bersembunyi dari murid-murid di kelasnya. Lebih buruk lagi, dia bahkan menulis sebuah puisi di notes ungunya yang berjilid spiral.
Aku tidak bisa melakukan ini.
Hal yang seharusnya kulakukan.
Aku bisa melakukan ini.
Hal yang tidak ingin kulakukan.
Aku ingin pergi jauh, menguntai kata-kata yang meraungkan kebenaran.