Ayesha

Noura Publishing
Chapter #3

BAB 3

Khalid terus menunduk selagi berjalan melewati lorong be­la­kang Livetech yang sempit, kantornya selama lima tahun ter­akhir. Dia mengenakan pakaian kerjanya yang biasa—jubah putih lengan panjang setumit, celana hitam, dan penutup kepala hitam yang menyembunyikan rambut cokelat gelapnya yang mengikal di telinga. Jenggotnya panjang dan sangat tebal, begitu kontras de­ngan kulitnya yang sewarna zaitun pucat.

Dia pria bertubuh besar, tinggi dan lebar, dan koridor itu sem­pit. Dia mendongak dan mendapati rekan kerjanya, Clara, berdiri di tengah lorong, berbisik ke ponselnya. Khalid tidak ingin mengganggu percakapan yang terdengar intens itu; dia juga tidak ingin berjalan melewati gadis itu. Dia dibesarkan dengan kepercayaan bahwa pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan kekerabatan tidak diizin­kan untuk berdekatan—secara sosial, emosional, dan khusus­nya se­cara fisik.

“Ketika pria dan wanita yang belum menikah berduaan, akan ada pihak ketiga yang hadir di antaranya: Setan,” seperti itulah Far­zana biasa memberitahunya. Khalid mendapati bahwa peringatan ini sangatlah membantu, terutama jika disandingkan dengan mandi air dingin. Mengingat tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pria berusia 26 tahun yang memilih untuk tetap menjadi perjaka.

Dia tidak bermaksud menguping, tetapi Clara meninggikan suaranya. “Kapan kau sendiri akan berbahagia?” ucap gadis itu dengan nada menuntut ke ponselnya.

Khalid mengerjap mendengar pertanyaan itu, yang sepenuh­nya mencerminkan pikirannya sendiri.

Ponselnya berbunyi, menandakan masuknya surel baru, dan dia mem­bukanya, bersyukur mendapat pengalih perhatian. Jantung­nya men­celus saat membaca subjek surel itu dan menyadari identitas si pengi­rim: saudarinya, Zareena. Dia belum memberi tahu Zareena ten­tang kepindahan mereka. Dia tidak yakin bagaimana reaksi ka­kaknya itu saat mengetahui rumah masa kecil mereka telah dijual. Sepertinya, ada orang lain yang ikut campur dan menginformasikan hal ini kepadanya. Khalid mulai membaca.

Re: orang terakhir yang tahu?

Khalid,

Aku tidak percaya bahwa aku harus mendengar berita ini dari ayah mertuaku. Kalian menjual rumah kita dan pindah? Aku mencintai rumah itu. Dulu sangat mudah untuk menyelinap keluar dari kamarku. Tapi kurasa akan terlalu berat untuk te­tap tinggal di sana setelah kematian Abba7.

Tebak! Aku merasa bosan dan mulai meluangkan waktuku dengan sukarela untuk suatu Tujuan. Kau akan sangat bangga kepa­daku. Aku sekarang mengajar bahasa Inggris untuk para gadis mu­da di sekolah lokal. Murid-muridku sangat manis. Orang­tua me­reka nyaris tidak mampu membiayai mereka untuk meng­hadiri kelas. Seringnya anak-anak ini muncul tanpa bekal makan siang, tapi pakaian mereka begitu bersih, rambut mereka dijalin rapi, dan mereka begitu ingin menimba ilmu. Tidak seperti masa aku ber­se­kolah dulu! Mereka selalu membawakanku bunga atau buah yang mereka curi dari kebun seseorang. Aku kadang menyelun­dupkan beras dan dal8 untuk mereka.

—Zareena

P.S. Donat maple dan cokelat panas Tim Hortons.

P.P.S. Terima kasih hadiahnya. Bisakah kau menggunakan Wes­tern Union saja untuk pengiriman berikutnya, kumohon? Lo­ka­sinya lebih dekat dan kau tahu sendiri aku benci jalan kaki.

Surel dan pesan dari Zareena datang setiap beberapa hari se­kali, berisi laporan tentang kesehariannya. Terkadang, kakaknya itu mengeluh tentang hari-harinya yang menjemukan, atau tentang para iparnya yang menyebalkan. Terkadang, dia akan bertanya tentang pekerjaan Khalid atau apakah Khalid sudah berbicara kepada seorang gadis … atau bahkan membuat kontak mata dengan mereka.

Satu hal yang tidak pernah Zareena tanyakan adalah ibu me­reka. Hal kedua yang tidak pernah dia bahas adalah suaminya.

Catatan tambahan di bawah surelnya adalah sesuatu yang selalu Zareena rindukan dari Kanada. Kata-kata yang dituliskan sang kakak membuat Khalid bisa mencecap rasa donat berlumur sirup maple dan cokelat panas yang supermanis di bibirnya. Ayah mereka, Faheem, dulu sering mentraktir mereka dalam perjalanan pulang setelah menghadiri sekolah Islam pada Minggu pagi ketika mereka masih kanak-kanak. Sebelum Zareena pergi.

Setelah kepergiannya, setiap kali Khalid menyebutkan nama sang kakak, ayahnya akan membeku dan Farzana menjadi sangat kesal. Dalam waktu singkat, nama Zareena menjadi kata terlarang di rumah mereka.

Clara telah selesai menelepon dan Khalid mendapati gadis itu tengah mengamati dirinya selagi dia membaca surel. Mereka mengenal satu sama lain, tetapi tidak pernah mengobrol. Khalid penasaran apakah gadis itu merasa tidak nyaman dengan cara berpakaiannya. Beberapa orang merasa jubah dan penutup ke­pa­la yang dia kenakan sulit diterima di lingkungan kerja. Namun, sudah sejak lama Khalid memutuskan untuk bersikap jujur akan identitas dirinya: seorang pria Muslim taat yang berani menun­jukkan keyakinannya luar dalam, sama seperti para saudari mus­limnya yang dengan percaya diri mengenakan hijab.

Namun, terkadang hal ini juga membuat orang lain merasa gugup. Meski Clara sendiri tampaknya tidak mempermasalahkan itu. Gadis itu bahkan terlihat seolah … menilai. Yang membuat Khalid merasa grogi.

Dia memberi isyarat ke arah depan. “Silakan duluan,” ucap­nya sopan.

Clara tidak bergerak. “Temanku sedang mengalami krisis. Ini hari pertamanya bekerja.”

“Hal itu memang bisa menyulitkan,” ujar Khalid, menatap langsung ke arah Clara.

Kini, gadis itu tampak penasaran. Terhadap Khalid? Para wa­nita tidak pernah merasa penasaran terhadapnya.

Lihat selengkapnya