“Jadi, Mas. Ini rumah orangtua Mas Yudha?” Arini masih melihat takjub dengan isi kamar yang merupakan rumah mungil yang lengkap dengan segalanya.
Penampakan bagian luar dari rumah ini, masih terlihat seperti rumah Jawa kuno. Namun, berbeda dengan kamar yang sekarang sedang mereka tempati. Kamar yang bernuansa modern dengan segala fasilitas terkinian, membuat Arini merasa sangat nyaman di tempat ini.
Berbeda halnya dengan Arini. Yudha yang memang sudah besar di tempat ini, dia langsung pergi ke tempat tidurnya. Bahkan, dia tidak menyempatkan diri untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu. Perjalanan kami yang memang cukup panjang, sangat wajar membuatnya sangat lelah. Hanya saja, Arini yang sudah terlanjur kehilangan rasa kantuknya, ditambah dengan rasa kagumnya. Itu membuatnya sangat sulit untuk memejamkan matanya kembali.
“Mas. Mas Yudha. Ayolah, Mas. Masak mas enggak mau cerita apa-apa sama Adek, Mas?” Arini mencoba membangunkan suaminya yang sudah menemukan posisi nyamannya itu.
“Besok kan masih ada waktu buat cerita,” jawabnya tanpa membuka mata.
“Tapi, Mas....” Arini yang tidak sabar, tetap memaksa untuk Yudha menceritakan segalanya sekarang juga.
Dengan terpaksa, lelaki itu pun membuka matanya dengan sangat lebar. Terlihat beberapa urat merah di mata bagian putihnya itu. Sesaat, Arini pun menjadi takut kembali. Dia sempat lupa dengan sikap kasar suaminya itu. Dan, itu pula yang membuatnya menjadi terdiam tidak berkutik.
Yudha yang mencoba mengontrol amarahnya pun menarik napas panjang. “Begini ya, Dek. Besok jam empat kurang, kita harus sudah bangun dan berkumpul di saung depan. Jadi, sekarang lebih baik kita tidur ya.” Yudha mengatakannya dengan lembut.
“Iya, Mas.”
Arini memilih untuk menurutinya. Kemudian, dia pun pergi ke kamar mandi untuk sekedar membersihkan beberapa bagian tubuhnya yang dirasanya kotor. Lalu, dia masuk ke selimut yang sama dengan suaminya itu.
***
Pagi harinya, kejadian yang Yudha jelaskan itu pun terjadi. Jam yang ada di nakas belum menunjukan jam empat. Bahkan, azan subuh pun belum terdengar berkumandang. Namun, tiba-tiba saja pintu kamar ada yang mengetuk.
“Assalamualaikum, Den.” Suara perempuan yang diselingi dengan ketukan.
Yudha yang mendengarnya, hanya menutup wajahnya dengan selimut. Arini yang tidak ingin membuat suaminya kesal, tentu langsung berjalan ke sumber suara. Ketika membukanya, wajah perempuan muda yang semalam juga menyambut mereka mulai terlihat.
“Maaf, Den Ayu. Ini air hangat untuk Den Mas Yudha,” katanya sambil menyerahkan baskom berisikan air.
“Mmmm... maksudnya apa ya?” tentu Arini bingung.
“Ini buat mencuci kaki Den Mas Yudha.” Seorang perempuan tiba-tiba muncul di sampingnya. Namun, semalam Arini tidak melihat wajah cantik nan ayu sang perempuan itu.
“Ini juga air jahe hangat buat kalian.” Arini pun mengambil nampan dengan dua cangkir di atasnya. Ada juga teko bulat bening yang masih mengeluarkan kepulan asap lembut di tutupnya.
“Mmmm... terimakasih....” Arini bingung harus memanggilnya apa.
“Panggil aja saya Mbak Elin.” Perempuan dengan balutan baju nan indah namun sederhana itu memperkenalkan dirinya. “Saya ini, kakak ipar kedua dari masmu.”
“Mmmm... salam kenal, Mbak. Saya....”
“Arini kan?”
Sambil tersenyum, Arini mengiyakan dengan gerakan kepala.
“Nanti, kita bakal banyak cerita lagi. Sekarang, kita siap-siap untuk shalat subuh terlebih dahulu. Takut yang lain nunggu. Habis shalat, Mbak jemput kamu lagi,” lanjutnya.