"Hati-hati ya Nak, jangan jajan yang sembarangan ya, nanti kalau ada apa-apa telepon Mama ya" ujarku khawatir.
"Iya Ma"
"Mama ikut aja ya" ujarku khawatir.
"Ih Mama" kesal Langit.
Teh Ani menepuk punggungku.
"Udah teh biarin aja, ga bakal apa-apa, da kan guru-guru juga banyak yang ikut. Lagian kan Angga juga ikut Teh. Tenang aja Teh, semuanya pasti bakal baik-baik aja kok. Teteh jangan terlalu khawatir" ujar Teh Ani menenangkan.
Perkataan Teh Ani memang ada benarnya, aku tidak boleh terlalu posesif kepada Langit.
"Hati-hati ya sayang" ujarku sambil memeluk Langit.
Langit melepaskan pelukanku, mungkin ia malu dipeluk olehku.
Ya walaupun, aku masih menganggap Langit sebagai bayiku, tapi kini Langit sudah cukup besar. Ia pasti sudah malu, jika aku peluk ataupun aku cium.
"Asalamualaikum" ujar Langit sambil mencium tanganku dan Teh Ani.
"Walaikumsalam" jawabku, dan Teh Ani.
Setelah berpamitan, Langit pun segera melangkahkan kakinya ke dalam bus. Sebelum berangkat, ia melambaikan tangannya kepadaku.
Teh Ani kembali mengusap punggungku.
"Udah Teh jangan sedih gitu, kan Langit cuma pergi bentar, cuma jalan-jalan aja" ujar Teh Ani.
"Iya sih Teh, cuma saya ngerasa khawatir aja. Kan biasanya kalau kemana-mana, Langit selalu bareng saya"
"Iya Teh, saya ngerti kok, tapi da anak laki-laki mah harus belajar buat mandiri, jangan terlalu dikekang Teh. Takutnya kalau Teteh kaya gini, nanti Langit malah jadi ngerasa ga nyaman. Kasih aja kepercayaan Teteh ke Langit. Da saya mah yakin, Langit mah *bageur pisan anaknya teh, ga bakal macem-macem, atau yang gimana-gimana"
(*bageur pisan = baik sekali atau sangat baik).
"Iya Teh"
"Ya udah yuk pulang, mumpung itu udah ada angkotnya" ajak Teh Ani.
Langit tidak berkumpul di sekolahnya terlebih dahulu, karena letak sekolahnya, berada di gang yang kecil, jadi tidak akan bisa jika bus masuk ke dalamnya. Jadi Langit berkumpul di tempat lain, yang lahannya cukup luas, dan jaraknya dari sekolah, perlu ditempuh dengan menggunakan angkutan umum terlebih dahulu.
Selama di perjalanan, aku banyak melamun.
Apa yang dikatakan oleh Teh Ani memang ada benarnya. Mungkin selama ini aku terlalu khawatir kepada Langit, hingga aku tidak sadar, jika aku sudah cukup mengekangnya. Seharusnya aku bisa memberinya kepercayaanku.
Kalau saja, aku memiliki pasangan. Aku pasti akan mendiskusikan, bagaimana cara yang baik untuk merawat dan mendidik Langit.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Sudah waktunya, aku menjemput Langit.
Aku segera bersiap-siap, dan berangkat.
Cukup lama aku menunggu angkot.
Namun, tidak ada satu pun angkot yang melintas. Bahkan, ojek yang biasanya mangkal di depan gang pun tidak ada.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam. Sudah setengah jam, aku menunggu angkot, namun tidak ada satupun yang kunjung melintas. Perasaanku sudah gelisah, akhirnya aku memutuskan untuk berjalan kaki, sambil menunggu angkot yang melintas.
Kalau saja aku memiliki pasangan, pasti ia sudah mengantarkanku.
Aku jadi sedikit menyesal, karena tidak menerima tawaran Teh Ani. Tadi sore, Teh Ani menawarkan untuk Langit ikut pulang dengannya.
Aku tidak enak jika merepotkan Teh Ani, makanya aku menolak tawarannya itu.
Aku sudah berjalan sampai di ujung jalan, namun masih belum ada angkot yang melintas.
Saat aku menunggu angkot di tepi jalan. Ada beberapa pria yang mendekat ke arahku. Sepertinya mereka sedang mabuk.
"Neng mau kemana nih?" goda seorang pria.
Aku sangat ketakutan, jalanan saat ini begitu sepi. Toko-toko yang ada di jalan itu pun sudah tutup, dan di sekitar jalan itu tidak ada rumah warga, jadi kondisi jalanan sangat sepi.
Tanpa pikir panjang, aku pun langsung berlari, ke arah pabrik. Setidaknya di sana, aku bisa meminta bantuan kepada seorang satpam.
"Hei cantik, kok lari sih" ujar salah seorang, dari ketiga pria itu.
Aku benar-benar takut, aku berlari dengan sekuat tenaga, sampai sandalku terputus, dan terjatuh.
Aku terjatuh sambil tersungkur ke tanah. Energiku seolah hilang begitu saja. Rasanya sulit sekali, untuk bangkit.