Suasana ruang tamu kala itu terasa sangat menegangkan, terlebih lagi untuk Toni. Aku pun sangat gugup dan juga takut. Bagaimana tidak? Setelah ini aku akan menjalani hidup baru lagi. Banyak bayangan dari masa lampau, yang terus menggangguku. Tapi, aku tidak ingin setiap ketakutan itu terus bersarang di dalam diriku. Aku rasa, ini adalah saat yang tepat, untuk aku melangkah lebih jauh lagi, dan meninggalkan setiap kesedihan yang kurasakan di masa yang telah berlalu.
Aku mengelap-ngelap tanganku ke rokku, karena tanganku tengah berkeringat dingin. Aku sungguh gugup, selama mendengarkan percakapan Bapak dengan Toni.
Kini degup jantungku, berpacu begitu cepat. Apalagi ketika menunggu jawaban dari Bapak.
"Saya tanya kamu sekali lagi, apa kamu benar-benar siap untuk menjadi imam untuk anak saya?" tanya Bapak serius.
"Isyaallah saya siap Pak" tegas Toni.
"Kapan, kamu akan menikahi anak saya?"
"Secepatnya Pak" jawab Toni.
Bapak malah menggebrakan meja, sehingga bunyi gebrakan meja itu terdengar ke penjuru rumah.
"Yang tegas dong jadi laki-laki itu" ujar Bapak dengan nada tinggi.
"Iya Pak maaf" ujar Toni sambil menunduk.
"Hei kamu, tatap mata saya. Jadi pastikan, tepatnya pada tanggal berapa, kamu akan menikahi anak saya?" tanya Bapak.
Toni diam sesaat, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Bapak.
"Pada tanggal 15 saya akan menikahi anak Bapak" jawab Toni.
"A.. A.. pa.. waktu yang diajukan Toni, adalah 1 bulan dari sekarang" ujarku dalam hati.
Aku berharap, semoga Bapak akan menolaknya. Aku benar-benar tidak siap, jika secepatnya itu. Maksudku, aku masih perlu waktu untuk menyiapkan diri terlebih dahulu, terutama mentalku.
"Nah gitu dong, kan lebih cepat, lebih bagus" ujar Bapak sambil tertawa.
Bapak mengusap-usap punggung Toni, dari samping.
"Ga usah tegang begitulah sama calon mertua" canda Bapak.
"Iya Pak" jawab Toni.
Bapak dan Toni pun akhirnya tertawa bersama.
***