AYUNDA

Permadi Adi Bakhtiar
Chapter #2

ACT II THING THAT STARTED EVERYTHING.


Kehidupan sekolah mulai memasuki fase normal dimana pelajaran dimulai dan di saat ini pula para siswa mulai menemukan tempatnya di strata sosial kelas. Yang pintar bersosialisasi namun kurang dalam akademik berkumpul dengan temannya yang sama dan menciptakan kelompok populer. Yang kurang bisa bersosialisasi namun bagus dalam akademik biasanya mereka enggan untuk berkelompok karena bagi mereka semua adalah saingan namun dalam beberapa kesempatan mereka mau bersosial apalagi ketika pelajaran dimana mereka harus menampilkan sesuatu yang non akademik. Yang paling beruntung adalah mereka yang sudah bagus saat bersosialisasi ditambah bagus juga akademiknya ,mereka sering menempati posisi-posisi penting di kelas. Namun yang sedih adalah mereka yang susah bersosialisasi ditambah pula mereka agak kurang dalam akademik. Biasanya mereka akan menjadi target utama di kelas atau malah diacuhkan, kita tidak tahu mana yang lebih buruk.

Kini Ayunda secara tidak langsung masuk dalam ke kubu pendiam namun pintar. Hal ini bukan karena Ayunda yang pemalu karena pada dasarnya setiap keluarga yang punya nama mereka selalu dilatih untuk bisa public relations. Di kasus Ayunda lebih ke arah Ayunda yang cuek/tidak peka jadi seharusnya percakapan itu dua arah namun malah menjadi seperti wawancara. Di sisi lain Rey yang Ayunda pikir sangat misterius ternyata orangnya sangat friendly dan enak untuk diajak ngobrol. Hal ini tidak berlaku untuk laki-laki saja tapi banyak sekali wanita di kelas yang merasa nyaman untuk berbincang dengannya baik dari kalangan atau biasa.

“Hei Ayu kamu udah ngerjain PR Matematika dari bu Friska belum?” ucap seorang wanita.

“Oh Sani tentu saja sudah ada apa emangnya?” balas Ayunda singkat.

“Enggak sih cuma nanya soalnya aku juga sudah selesai tapi aku sedikit ragu sama jawabnku,” balas Sani.

“Kalau aku belum boleh lihat gak?” ucap seorang laki-laki yang tiba-tiba ikut nimbrung dalam pembicaraan.

“Hei Rusman jangan main nylonong aja, lagipula harusnya PR itu dikerjakan sendiri bukan nyontek orang lain,” balas Sani.

“Ayolah gak semua orang punya waktu di rumah apalagai kayak aku yang broken home gini, boleh ya,”pinta Rusman.

“Gapapa kok nih, lagipula seberapa keras kamu berusaha untu menyontek, nilaiku pasti jauh lebih tinggi darimu,” balas Ayunda sembari mengeluarkan buku dari tasnya dan memberikannya ke Rusman.

“DinginnyA, ntar gak punya temen susah loh apalagi kamu kan punya nama keluarga,’ balas Rusman yang memulai menyalin PR Ayunda.

Tak beberapa lama kemudian Rey masuk ke kelas dengan tenang.

“Hei Rey dah ngerjain PR belum?” ucap Rusman.

“Loh ada PR? Hmm canda tentu saja aku sudah selesai,” balas Rey.

“Pede sekali kau, emang yakin dah bener tuh kerjaan?” ucap Rusman.

“Tentu tidak, kan yang penting kita sudah berusaha untuk mengerjakan untuk perkara nilai itu lain lagi,” balas Rey dengan percaya diri.

Rey yang ternyata juga penasaran dengan apa yang Rusman lakukan sehingga membuat ia menengok ke bangku Rusman. Rey pun bertanya PR siapa yang Rusman contek itu, Rusman pun menjawab kalau itu adalah buatannya Ayunda. Mendengar hal itu Rey terdiam sebentar dan kemudian ia menengok ke arah Ayunda yang sedang duduk sembari mendengarkan music dari headphone yang ia colokkan ke hanphonenya. Iya di kala orang lain lebih suka menggunakan headset karena lebih efisien, Ayunda lebih suka menggunakan headphone yang besar alasannya sih karena adanya fitur noise cancelling di headphone yang sangat berguna baginya untuk menghilangkan suara di sekitarnya. Meskipun semester baru sudah berjalan hamper sebulan Rey baru menyadari bahwa ia jarang sekali berbincang dengan Ayunda. Di tengah lamunannya itu bel tanda masuk berbunyi dan semua siswa duduk di bangku mereka masing-masing.

Jam Istirahat.

“Well well siapa sangka kita berempat malah sekelompok dalam tugas Bahasa Inggris kali ini,” ucap Rusman.

“Yah namanya juga dibuatin kelompok sama pak Hasan bukan berdasarkan keinginan kita,” balas Sani.

“Tapi aku setuju kalau kelompoknya ditentukan sama guru, soalnya kalau kita milih sendiri pasti terdapat jurang besar yang kalian tahu sendiri kayak gimana,” lanjut Rey.

“Oh jadi itu alasanmu tadi menyarankan kepada pak Hasan untuk menentukan kelompok meski kayaknya mayoritas siswa gak setuju,” lanjut Ayunda.

“I.. iya BTW kita harus mulai ngerjain nih tugas kelompok. Sepengetahuanku tadi kita disuruh bikin naskah drama pakai Bahasa Inggris kan,” ucap Rey sembari membuka buku catatannya.

“Iya, temanya terserah kita dan nanti yang terbaik bakal dipakai sebagai perwakilan kelas ketika bulan bahasa, hmm ada-ada saja,” balas Sani.

“Wih berarti kalau naskah kita juara, kita bisa tampil di panggung bulan bahasa?” balas Rusman dengan antusias.

“Gak Cuma itu aja kita sebagai pemenang bisa dikatakan jadi produser untuk penampilan kelas kita, jadi kita bisa nunjuk siapapun di kelas kita untuk berperan sesuai kemauan kita,” balas Rey.

“Wah keren dong,” balas Rusman masih antusias.

“Man kamu nih dari tadi gak merhatiin ucapan pak Hasan ya?” balas Sani dengan sedikit kecewa.

“Kalau begitu ayo kawan mari kita berusaha untuk membuat naskah terbaik…. Tapi bagaimana caranya ya?” ucap Rusman.

“Sudahlah kita pikirkan nanti saja toh deadlinenya masih satu bulan lagi, sekarang lebih baik kita makan bekal makan siang soalnya jam istirahat tinggal bentar lagi tuh,” ucap Rey.

“Oh iya aku punya ide bagaimana kalau nanti habis pulang sekolah kita kerja kelompok di rumahku saja soalnya lagi gak ada orang juga,” ucap Rusman menyarankan ide.

“Aku sih gakpapa tapi apakah kalian gak ada ekskul nanti?” balas Rey.

Semua menggeleng tanda bahwa mereka tidak memiliki kegiatan setelah pulang sekolah.

“Yosh.. berarti sudah diputuskan nanti kita kerja kelompok di rumahku sehabis pulang sekolah,” ucap Rusman dengan semangat.

“Anuu kalau boleh ngomong,” ucap Ayunda yang kini keberadaannya mulai terasa kembali.

“Oh iya Ayu aku lupa kamu juga anggota kelompok, iya ada apa?” tanya Rusman.

“Kita kan baru temenan selama sebulan jadi mana aku tahu rumahmu?” tanya Ayunda.

“Benar juga, jadi rumahku itu dari Jalan Srikana lurus sampai ketemu patung polisi yang biasanya ada tilang manual terus belok kiri ke arah Jalan Tan Malaka kemudian lurus meskipun jalannya bergelombang dan banyak polisi tidur nah pas sampai di depan rumah politisi yang baru ketangkep korupsi kemarin kamu belok ke utara ke arah perumahan Bougenvile. Nah disana ntar tanya aja sama satpam rumah pak Ali soalnya aku sendiri juga bingung nih perumahan dah kayak labirin aja,” jawab Rusman dengan penuh semangat.

“Oh… okay aku sama sekali gak paham dengan apa yang barusan kamu katakan,” jawab Ayunda dengan datar.

“Kalau kamu gimana Rey tahu rumahnya Rusman gak? Kalau aku sih tahu karena kita dulu satu SMP,” ucap Sani.

“Tahulah aku kemarin pas ospek kan kumpulnya juga di rumah si Rusman, tapi emang kalau mau ke rumahnya Rusman dah kayak berpertualang saja,” balas Rey.

“Hehehe jadi malu,” ucap Rusman tersipu malu.

“Itu bukan pujian tahu,” balas Sani dengan singkat, padat dan jelas.

“Gini aja Ayu gimana kalau ntar kamu aku jemput aja biar kita bareng berangkatnya ke rumah si Rusman,”

“Boleh saja, tapi emangnya kamu tahu rumahku?” balas Ayunda.

“Gampang ntar share loc saja ke nomorku yang ada di grup kelas,” balas Rey.

“Nah akhirnya masalah bisa terselesaikan, oke nanti jangan lupa sehabis pulang sekolah di rumahku,” ucap Rusman dengan penuh semangat.

“Meskpun entah mengapa aku merasa ada yang aneh,” ucap Sani terlihat bingung.

“Akhirnya aku bisa makan bekal ku hari, dah lapar banget nih,” ucap Rey sembari mengeluarkan bekal dari dalam tasnya.

Tak bebebrapa lama kemudian bel tanda waktu istirahat berkahir berbunyi sehingga membuat Rey gagal menikmati bekal makan siangnya.

Sepulang Sekolah.

Ayunda yang baru saja pulang dari sekolah dengan menaiki bus sekolah dikagetkan dengan adanya mobil ayahnya di depan rumahnya. Hal ini aneh karena biasanya ayahnya pulang sore sekitar jam 6 sementara sekarang masih jam 2 siang. Ketika Ayunda masuk ia melihat ayahnya yang masih memakai seragam dinas sedang makan sembari memainkan handphonenya.

“Gak ngantor yah?” tanya Ayunda.

“Oh Ayu, ini ayah tadi lagi sidak di dekat sini dan karena sekarang waktunya istirahat ayah sekaligus makan di rumah saja,” balas ayahnya Ayunda.

“Oh gitu yaudah… oh iya ntar setengah jam lagi kali temen Ayu mau datang buat kerja kelompok,” balas Ayunda.

“Iya terus apa hubungannya denganku,” balas Ayahnya Ayunda dengan sedikit bingung.

“Dia laki-laki,” balas Ayunda dengan singkat.

“Siapa dia? Dia dari keluarga bernama gak? Kalau iya dari keluraga mana? Kalian beneran Cuma temen? Apa jangan-jangan ia hanyalah orang biasa yang berusaha naik kasta dengan mendekati anakku?” ucap ayahnya Ayunda dengan panic dan tanpa henti.

“Kan… Ayunda sudah tahu bagaimana respon ayah. Gini Ayunda gak tahu dia dari keluarga mana tapi kami cuma teman, heck bahkan kami jarang bicara satu sama lain karena memang dia bukan teman dekat Ayunda,” balas Ayunda menjelaskan situasi.

“Beneran kamu yakin?” tanya ayahnya Ayunda memastikan.

“Iya aman kok, nah mending ayah focus istirahat atau siap-siap balik kerja tuh, Ayunda ke kamar dulu mau ganti baju,” ucap Ayunda sembari berjalan menaiki tangga.

30 Menit Kemudian.

“Ayunda ayah berangkat dulu yah,” ucap ayahnya Ayunda dengan berteriak.

“Iya hati-hati di jalan,” balas Ayunda.

Ketika ayahnya Ayunda membuka pintu depan untuk keluar ia secara tidak sengaja bertemu dengan seorang pria yang sepertinya ingin mengetuk pintu.

“Iya dengan siapa?” ucap ayahnya Ayunda kepada pria itu.

“Ah saya Rey om temannya Ayu, kami mau kerja kelompok di salah satu rumah teman kami makanya saya mau jemput Ayu om,” balas Rey dengan nampak sedikit gugup.

“Oh begitu… Ayunda temenmu dah datang nih,” ucap ayahnya Ayunda dengan keras kea rah kamar Ayunda di lantai dua.

Nampak terdengar langkah kaki Ayunda dari lantai dua menuju ke bawah. Di sisi lain nampak ayahnya Ayunda seperti sedang menganalisis Rey dari kepala sampai kaki.

“Apakah kita pernah ketemu sebelumnya? Entah mengapa aku merasa aku pernah berbicara denganmu sebelumnya,” ucap ayahnya Ayunda.

“Maaf om sepertinya tidak, saya sendiri baru pertama kali ke sini,” balas Rey.

“Oh begitu… kamu dari keluarga mana?” ucap ayahnya Ayunda dengan sinis.

“Maaf, gimana?” balas Rey.

“Tidak, itu tidak penting dengan dirimu yang datang tidak bawa mobil saja aku sudah tahu seperti apa latar belakangmu,” balas Ayahnya Ayunda sembari melihat halaman sekitar.

“Hei yah bukannya ayah harus buru-buru balik?” ucap Ayunda yang kini sudah turun dari lantai atas.

“Oh iya sayang ayah berangkat ya,” ucap Ayahnya Ayunda.

“Jangan berpikir aneh-aneh dan jangan malam-malam pulangnya, aku mengawasimu,” bisik Ayahnya Ayunda kepada Rey.

Setelah berbisik yang lebih ke arah ancaman itu ayahnya Ayunda berjalan ke arah mobilnya dan kembali ke tempat kerjanya.

“Kenapa?” tanya Ayunda kepada Rey.

“Gak kok tapi ternyata ayahmu itu unik juga,” balas Rey.

“Hmm… eh tunggu sebentar aku ambil helm dulu berarti,” ucap Ayunda.

“Oh iya maaf kebiasaan,” balas Rey.

“Kebiasaan?” tanya Ayunda.

“Lupakan,” balas Rey singkat.

Setelah Ayunda mengambil helm mereka langsung berangkat ke rumah Rusman

Beberapa saat kemudian Rey dan Ayunda telah tiba di rumah Rusman yang terlihat cukup besar. Hal ini wajar karena Rusman berasal dari keluarga Pratama salah satu keluarga yang berpengaruh di pemerintahan Jakarta baru.

Ketika Rey memencet bel tak beberapa lama kemudian pagar rumah Rusman terbuka dan ternyata yang membukanya adalah Sani yang nampak sedikit bosan.

“Loh San dah duluan aja?” tanya Rey basa-basi.

“Jelaslah dah lama aku nunggu kalian,” balas Sani.

“Maaf kita tadi lama gara-gara si Rey tadi lupa jalannya,” balas Ayunda yang ada di belakang Rey.

“Bukan lupa tapi aku tadi Cuma gak lihat patokan buat belok mangkanya keterusan,” balas Rey.

“BTW si Rusman mana?” lanjut Rey.

“Tuh di dalam,” balas Sani singkat.

Mereka bertiga akhirnya masuk ke dalam rumah menuju ruang tamu yang mana Rusman sudah menunggu di atas sofa sembari terus memandangi laptopnya.

“Aha aku punya ide, oh kalian sudah datang,” ucap Rusman.

“Yo, jadi ide apa yang kamu bicarakan tadi?” tanya Rey.

“Karena kalian berdua lama datangnya jadi aku dan Sani sudah mulai duluan buat cari ide,” balas Rusman.

“Ketika aku suruh Sani jemput kalian di depan aku akhirnya dapat ide, jadi premis drama kita nanti tentang bagaimana orang-orang di tahun 45 berhasil mempertahankan kemerdekaan negara kita yang masih muda dari ancaman penjajah,” jelas Rusman dengan penuh semangat.

“Jadi latar tempatnya di tahun 45, itu lama sekali bahkan banyak orang generasi sekarang yang tidak tahu,” balas Sani.

“Nah itu poin utamanya,” balas Rusman semakin antusias.

“Jadi moral yang ingin kamu tampilkan di drama ini adalah untuk generasi muda zaman sekarang agar tahu tentang sejarah mereka gitu?” ucap Rey.

“Gak cuma itu aja aku ingin membuat karya yang berhasil mengingatkan banyak orang bahwa nasionalisme itu penting apalagi di era sekarang yang mana banyak sekali korporat-korporat asing masuk berpura-pura layaknya malaikat dan memanfaatkan kita sebagai Warga Negara Indonesia,” balas Rusman yang semakin antusias.

“Rusman Pratama kau punya masalah dengan keluargamu ya?” ucap Ayunda yang tiba-tiba nyletuk.

“Loh kok kamu berpikiran seperti itu si Yu,” tanya Sani penuh heran.

“Karena seorang Pratama tidak akan berbicara buruk tentang pemerintah secara keseluruhan apalagi tentang investor asing karena di sanalah sumber cuan bagi orang pemerintah, sama seperti keluargaku,” balas Ayunda.

“Seperti yang diharapkan dari seorang Riyanto kau cukup cermat juga, iya aku memang tidak suka dengan cara otoritas sekarang bekerja. Mereka tidak punya integritas sama sekali mereka hanyalah sekumpulan keluarga yang dengan sukarela dijadikan boneka oleh para korporat-korporat itu,” Balas Rusman yang sekarang berubah jadi serius.

“Tapi seperti itulah cara orang seperti kita bisa bertahan di dunia kapitalis seperti sekarang ini,” potong Ayunda.

“Dan kau tidak apa-apa dengan itu? Ketidakadilan dimana-dimana orang-orang tanpa keluarga tidak punya masa depan, mereka hanya punya sebuah impian palsu dimana mereka percaya dengan bekerja keras mereka bisa bekerja di salah satu perusahaan besar padahal pada kenyataannya mereka hanya dimanfaatkan dan dipaksa untuk bekerja dibawah upah standar,” ucap Rusman semakin menggebu-gebu.

“Dan apa yang diakukan pemerintah? Tidak ada!! Mereka memilih diam dan berpaling terhadap kenyataan tersebut dan harusnya kau tahu mengapa mereka acuh? Iya karena mereka telah disuap oleh para korporat-korporat tersebut. Aku melihatnya sendiri bagaiman pertemuan antara ayahku dengan salah satu korporat dari Fitzgerald Group berakhir dengan pemberian uang oleh Fitzgerald Group,” lanjut Rusman.

“Ketidakadilan yang baru saja kau jelaskan panjang lebar itu tadi adalah alasannya kau bisa lahir di dunia ini, kau bisa tinggal di rumah ini dan kau bisa menikmati semua fasilitas mewah ini, jadi selama kau mendapatkan semua kemewahan ini kau masih tidak pantas untuk berbicara tentang keadilan,” balas Ayunda dengan dingin.

“Aku tahu maka dari itu setelah lulus dari SMA ini aku ingin pergi jauh dan meninggalkan nama Pratama ku,” ucap Rusman yang kini nampak kalut.

Suasana yang awalnya biasa saja kini menjadi tegang dan Sani nampak kebingungan untuk meredakan suasana. Sementara itu Rey hanya terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu, hingga akhirnya.

“Sudahlah jangan bertengkar gak ada gunanya pula toh kita masih anak SMA masih bukan ranah kita untuk membahas hal tersebut mending kita focus dulu sama tugas yang ada di depan kita,” ucap Rey berusaha menengahi.

“Benar katamu Rey, jadi itu tadi adalah ideku mungkin yang lain punya ide lain?” Balas Rusman yang kini sudah mulai tenang.

“Menurutku itu ide yang bagus tapi kita harus tetap membatasinya hanya sampai ke ranah pengingat sejarah gak lebih,” balas Rey.

“Kenapa harus gitu?” tanya Rusman.

“Karena kalau kita ingin menang maka kita juga harus tahu audiens kita dan menurutku dengan pendekatan frontal seperti yang kau jelaskan tadi sudah pasti audiens kita akan tidak suka, kau tahu sendiri kan mayoritas civitas akademika Bhakti Luhur seperti apa?” jelas Rey.

“Benar juga,” ucap Rusman.

“Akan tetapi kalau kau masih ingin untuk menyampaikan idealism mu itu kau bisa menyampaikannya melalu sarkas ataupun komedi,” lanjut Ayunda.

“Sarkasme ya? iya juga itu ide yang menarik, tapi mengapa kamu menyarankan hal ini kepadaku?” tanya Rusman kepada Ayunda.

“Aku tidak menentang idealism mu kok, yang kulakukan hanyalah menunjukan kenyataan kepadamu yang terlalu idealis itu,” lanjut Ayunda.

“Nah sudah ketemu titik tengahnya kan, yuk mulai kita kerjain takut kemaleman kita ntar kalau gak segera dimulai,” ucap Sani secara tiba-tiba.

Mereka semua mengangguk tanda setuju karena mereka tahu kalau Sani mulai jengah dengan pembahasan ini. Mereka tahu kalau Sani yang bukan berasal dari keluarga ternama sama sekali tidak relevan dengan perdebatan antara Rusman dengan Ayunda. Menyadari hal tersebut membuat Rusman mulai sedikit menahan idealismenya dan mulai menjelaskan tentang ide cerita dramanya.

Mereka serius membahas tentang ide cerita drama yang akan mereka buat. Rey sedang berfokus untuk membuat tokoh yang menarik dan sesuai dengan visi Rusman sedangkan Ayunda dan Santi berusaha untuk membuat dialog yang menarik dan tidak terkesan konyol tanpa melupakan unsur sarkas dan komedi yang Rusman inginkan. Tak terasa matahari sudah terbenam menunjukan waktu sudah malam.

“Cuy mending kita akhiri saja kerja kelompok hari ini,” ucap Sani.

“Benar juga, ternyata benar apa kata orang kalau kita ngelakuin sesuatu yang kita suka waktu terasa berlalu cepat,” ucap Rusman.

“Oui berarti kita lanjutkan minggu depan, di sini lagi?” ucap Rey.

“Ya gitu ajalah gak perlu ribet-ribet pindah,” balas Sani.

“Aku sih gakpapa lagipula orang tuaku jarang ada di sini,” balas Rusman sembari menutup laptopnya.

“Oke jadi aku rekap dulu hasil pertemuan kita hari ini, jadi hari ini kita telah menentukan premis dari drama kita selain itu kita sudah menemukan tokoh utama kita yang mana merupakan warga desa yang berusaha untuk melawan penjajahan yang sudah mulai merambah kea rah desa,” jelas Rey.

“Dan kita setuju untuk juga menitikberatkan drama kita ke arah musikalisasi drama jadi kita juga harus menemukan music mana yang bakalan cocok dengan vibes yang ingin kita bawa yaitu vibes perjuangan,” lanjut Ayunda.

“Yap, yaudah yuk aku balik duluan ya?” ucap Sani.

“Wih cepat kali kau siap-siap pulangnya,” ucap Rusman.

“Dah ditunggu di depan soalnya, dah ya duluan,” balas Sani sembari bersiap berdiri.

Sanipun berjalan keluar rumah hingga sosoknya tak terlihat lagi.

“Aku penasaran Sani dijemput sama siapa?” tanya Rusman dengan heran.

“Pasti salah satu orang tuanya kan?” balas Ayunda.

“Sudahlah yang penting dia kelihatan senang saja sudah cukup kan? Yaudah kita balik juga man,” ucap Rey.

“Oh yaudah hati-hati dijalan,” balas Rusman.

Ketika Rey menghidupkan motornya nampak wajah Rey sedikit aneh.

“Kenapa?” tanya Ayunda singkat.

“Gakpapa kok,” balas Rey singkat.

Beberapa saat kemudian masih di jalan nampak wajah Rey masih sedikit tidak enak, namun kali ini gak cuma wajah Rey yang aneh namun juga terdengar suara-suara aneh dari perut Rey.

“Rey kalau kamu mau mampir, mampir dulu aja gakpapa,” ucap Ayunda sembari menepuk pundak Rey.

“Gak kok aman aku masih kuat,” balas Rey.

“Mungkin lisanmu berkata demikian tapi perutmu tuh menunjukan kenyataan,” ucap Ayunda sembari memegang perut Rey.

“Ugh oke oke dan bisakah kau berhenti menyentuh perutku,” ucap Rey.

Akhirnya mereka menepi ke arah restoran yang cukup mewah. Merekapun duduk dan memesan makanan. Wajah bingung nampak dari muka Ayunda karena ia tidak menyangka bahwa Rey akan menepi ke restoran Imperial Steaks yang mewah ini.

“Jadi saya pesan Imperial Steak pakai French fries dan minumnya Ice Lychee Tea, kamu Yu mesen apa?” ucap Rey sembari menutup buku menu yang ada di hadapannya.

“Aku gak usah aja,” balas Ayunda dengan heran.

“Ayolah jangan sungkan-sungkan lagipula aku merasa gak enak sama ayahmu kalau kamu pulang dalam keadaan lapar dan ini kutraktir kok,” balas Rey.

“Padahal yang keliatan kelaparan itu kamu tapi yaudah deh daripada ribet aku mesen Imperial Burgers sama Lemon Tea,” ucap Ayunda.

Setelah mendengar pesanan dari mereka berdua sang pelayan pun kembali untuk menyiapkan pesanan mereka meninggalkan Rey dan Ayunda sendirian.

“Untung ya restoran ini pas kita lagi deket,” ucap Rey.

“Umm yeah,” ucap Ayunda.

Meskipun Ayunda tahu bahwa Rey sedang kelaparan tidak hanya dari kelakuan aneh Rey tapi jug dari jalan pulang berputar jauh yang dipilih Rey, dan akhirnya Ayunda tahu mengapa Rey memilih jalan yang lebih jauh untuk pulang.

Lihat selengkapnya