Hai, namaku Azalea. Orang–orang biasa memanggilku Aza. Aku merupakan anak terakhir dari dua bersaudara. Kakakku perempuan, dia sudah menikah. Dibanding kakakku, aku terbilang cukup cupu. Kakakku dulu adalah anggota chiliders dan drumband di sekolahnya. Bahkan jika dilihat dari foto-foto masa sekolahnya, kakakku adalah salah satu cewek yang popular pada masanya. Menurut cerita ibuku, kakakku dulu banyak yang naksir dan dia cukup bandel. Seringkali ibuku mendapat laporan dari tetangga yang secara tidak sengaja bertemu kakakku di Telaga Sarangan padahal masih jam sekolah. Ya begitulah dia, suka bolos kalau merasa kurang cocok dengan mata pelajarannya. Sedikit berbeda dengan kakakku, aku tidak suka main ke luar rumah, bahkan aku selalu mempunyai 1001 alasan untuk menolak ajakan teman-temanku untuk pergi main di hari weekend. Terkadang aku berpura-pura tidak membaca pesan sms yang dikirimkan padaku padahal sebenarnya aku baca namun malas untuk membalas atau terkadang aku pura-pura tidak mendengar telepon padahal jelas-jelas HPnya ada di depanku. Aku memang sangat malas untuk main ke luar rumah. Aku lebih senang menghabiskan waktu di rumah dengan menonton tv, belajar atau bergulat dengan tanaman-tanaman di depan rumah. Menurut cerita ibuku, keluargaku dulu adalah salah satu orang yang cukup terpandang di lingkunganku. Saat orang-orang belum memiliki TV, hanya rumahku dan rumah pak Carik yang sudah punya TV. Setiap malam tetanggaku ramai-ramai datang ke rumah hanya untuk menonton TV padahal waktu itu hanya tersedia satu channel yang bisa terhubung yaitu TVRI. Bahkan layar TV-nya pun masih hitam putih. Orang tuaku menaruh mika warna biru di depan layar untuk memberikan sedikit efek warna pada layar TV. Setidaknya TV kami memiliki 3 warna hitam, putih dan biru. Akan tetapi semua itu tidak berlangsung cukup lama. Waktu itu aku masih berumur sekitar 3 tahun, saat ayahku kena tipu oleh rekan kerjanya yang membuat keluargaku harus menanggung hutang bank yang cukup banyak. Belum lagi ditambah hutang ke teman-teman ayahku yang lain.
Ayahku pergi merantau ke Jakarta untuk melunasi hutang-hutangnya. Setiap hari ada orang bank yang menagih uangnya ke rumah dan ibuku harus mengajak ku lari ke rumah tetangga untuk sembunyi. Melihat keadaan keluargaku yang seperti itu, kakekku meminta kami pindah ke rumahnya untuk menghindari tagihan dari bank. Pada akhirnya hutang-hutang ayahku dilunasi menggunakan uang kakekku jadi nanti ayah tinggal membayar utangnya ke kakek. Biaya sekolah kakakku juga ditanggung oleh kakekku. Kakekku adalah pensiunan guru. Meski hanya PNS golongan 2A tapi kakekku punya tabungan yang cukup dan aset tanah yang cukup banyak karena kehidupan sederhana beliau. Bahkan sekedar untuk membeli sandal jepit baru saja, kakekku sangat enggan sekali. Aku masih sangat ingat, sering kali aku melihat kakek memakai sandal jepit yang talinya disambung dengan tali rafia, bukannya tidak mampu membeli tapi kakek selalu beralasan sayang kalau dibuang padahal masih bisa diperbaiki. Itulah kakekku, orang yang sangat sederhana. Selain sederhana, beliau orang yang sangat disiplin bahkan terkadang cenderung keras namun pada dasarnya beliau orang yang penyayang. Beliau memilih untuk makan belakangan untuk memastikan cucunya sudah makan terlebih dahulu. Kakekku memainkan peran dari ayahku untuk sementara waktu dengan menjaga kami sekeluarga. Begitulah kami sekeluarga menjalani kehidupan kami selanjutnya. Aku, ibu dan kakakku menumpang hidup di rumah kakek dan ayahku terpisah jauh merantau di Jakarta yang pulang setiap 2 bulan sekali. Bisa dibilang aku tumbuh dengan baik dengan segala keterbatasan yang ada. Aku tetap tumbuh dengan penuh kasih sayang dari keluarga dan saudaraku meskipun tidak ada sosok ayah yang berada disampingku setiap hari. Di bawah asuhan kakekku, aku menjadi anak yang cukup bertanggung jawab dan lebih toleran terhadap keadaan. Setiap hari aku diajari menulis, membaca, mengaji dan banyak hal lainnya. Kakekku menaruh harapan yang besar padaku, karena dari sekian banyak cucu-cucunya, akulah yang paling dekat dengan kakekku jadi aku seakan-akan menjadi duplikat boneka yang dipoles sejak awal oleh kakekku. Bahkan kakekku sudah mewariskan tanah untuk biaya sekolahku kelak. Sejak saat itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk kelak bisa membawakan toga untuk kakek dan kita akan berfoto bersama saat waktu itu tiba.
Ketika mulai masuk Sekolah Dasar, aku dan ibuku kembali ke rumah kami sendiri karena jarak sekolah lebih dekat dari rumah kami dibanding dari rumah kakek. Keadaan ekonomi keluarga kami sudah mulai membaik meski belum sepenuhnya. Ayahku masih tetap harus pergi merantau untuk melunasi hutang-hutangnya kepada beberapa temannya. Waktu terus berjalan tanpa terasa. Sekarang aku sudah kelas tepat kelas 2 SMP. Sejak awal ajaran baru, aku sudah sibuk untuk memberi tahu ibu dan kakekku tentang rencana liburan kelas yang akan diadakan saat liburan kenaikan kelas nanti yaitu sekitar bulan Juni. Setiap berkunjung ke rumah kakek aku selalu mengingatkannya karena beliau berjanji akan memberikan uang saku lebih untuk study tourku. Waktu itu bulan April 2008, kakekku setiap minggu datang ke rumah karena aku tak datang untuk menggunjunginya padahal beliau selalu menungguku di rumah setiap hari Minggu. Setiap kali kakek datang ke rumahku, beliau selalu menasehatiku untuk rajin belajar, bertanya nilai mata pelajaranku, bertanya apa kesusahanku dan tak lupa bertanya kapan jadwal study tour ku. Waktu itu kakekku terlihat sangat sehat, tidak ada tanda-tanda sakit apapun, kakekku memang punya penyakit darah tinggi tapi masih dalam batas yang normal. Pada awal Mei 2008, kakekku senang sekali mengundang anak cucunya untuk berkumpul bersama di rumah. Pada pertengah bulan Mei 2008, kakekku terpeleset di depan rumah dan harus di bawa ke rumah sakit. Awalnya aku pikir karena butuh istirahat lebih maka dari itu kakekku harus menjalani rawat inap. Tidak pernah terbesit sedikitpun akan ada kejadian luar biasa lainnya yang akan menyertai. Hari itu hari Kamis, aku diajak oleh kakakku untuk menengok kakek di rumah sakit. Sesampainya di rumah skait aku melihat kakek yang sedang duduk bersandar dengan diganjal bantal yang terlihat sedang mengupas buah jeruk. Wajahnya langsung sumringah begitu melihatku mengetuk pintu kamarnya. “Kakung”, sapaku dengan wajah sumringah saat membuka pintu kamar rumah sakit. Aku berjalan menuju tempat tidur Kakung lalu mencium tangan beliau. Kakung langsung memperbaiki posisi duduknya dan menyapaku. “Nduk cah ayu, kenapa kok ke sini? Besok Kakung juga pulang. Bukannya kamu ada jadwal ngajar di masjid ya”, sapa Kakung kepadaku. “Kangen Kakung. Nggak masuk Kung, kan kalo Kamis di masjid libur”, jawabku sambil menarik kursi di sebelah kamar tidur Kakung. Aku memijat kaki Kakung sebentar, kakinya terasa agak dingin. Aku menawari untuk menggosokkan balsam tapi Kakung menolaknya, katanya nanti saja Kakung lakukan sendiri. Kakung langsung sibuk menyuruhku untuk makan jeruk sama roti yang ada di atas almari. Ada suara kaki berjalan menuju kamar Kakung, ibuku datang membuka pintu. “Kok udah sampai. Tadi pulang jam berapa mbak?”, tanya ibuku sesampainya di dalam ruangan. Aku masih mencoba menghabiskan jeruk yang ada di mulutku sebelum menjawab pertanyaan ibukku. “Seperti biasa, jam 1 tadi pulang tapi mas masih ada perlu jadi baru sempat ke sini jam segini. Gimana keadaan Kakung buk kata dokter?”, tanyaku penasaran. Ibukku meletakkan obat yang baru saja ditebusnya dari apotik di atas meja. “Baik kok, doakan aja besok atau lusa sudah diizinkan pulang. Katanya Kakung sudah gak betah di rumah sakit lama-lama”, jawabnya padaku. Kakung ikut nimbrung dalam percakapan kami, “Iya, Nduk. Kakung bosen, pengen pulang, sudah gak betah. Nduk kapan kamu berangkat liburan ke Jogja?”, tanyanya padaku. Dalam keadaan seperti ini Kakung masih ingat saja tentang rencana study tour-ku. “Oh, study tour? Bulan depan sih Kung harusnya. Pas liburan kenaikan kelas. Kenapa Kung? Gak sabar pengen ngasih uang saku mbak Aza ya?”, jawabku dengan penuh semangat sambil merajuk manja di pangkuan Kakungku. “Hahahaha, kan Kakung sudah janji mau kasih ke mbak Aza, takut lupa kalo gak diingetin. Kakung agak ngantuk Nduk, mau tiduran bentar ya, mbak Aza maem-maem dulu aja. Liburkan ke masjidnya? Jadi di sini dulu aja nemenin Kakung”, jawab Kakung sambil mencoba memposisikan tubuhnya untuk berbaring. Aku mau bantu tetapi takut tidak kuat menahan tubuh beliau jadi kakungku berbaring di kasur dibantu oleh ibukku. Tidak lama kemudian kakekku sudah tidur terlelap, sepertinya memang sudah mengantuk. Aku makan semua makanan yang ada karena kebetulan memang lapar karena sejak pulang sekolah belum makan. Sekitar pukul 5 sore aku pamitan mau pulang karena ada PR yang belum aku kerjakan. Aku pamit kepada ibukku. Awalnya aku mau pamit juga kepada kakek tapi melihat kakek tertidur lelap aku mengurungkan niatku untuk membangunkannya, toh sebentar lagi kakek juga mau pulang. Aku titip salam buat kakek kepada ibu. Sebelum pulang ku lihat lagi wajah kakek yang tertidur pulas, kakekku ganteng sekali. Keesokan harinya seluruh saudaraku diminta untuk datang ke rumah sakit, entah mengapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak tapi aku mencoba berpikir positif karena tidak mungkin kakekku kenapa-napa karena kemarin masih mengobrol dan bercanda denganku. Malam itu kakak iparku pulang dan memberi tahu kalau tiba-tiba saja sejak tadi siang kondisi kakek semakin drop. Tentu hal tersebut sangat mengangetkanku bahkan tetanggaku yang kemarin menjenguk kakek juga seakan tidak percaya karena kemarin malam pun kakekku juga masih bercanda menyambut tetangga yang datang menjenguk. Malam itu hatiku tiba-tiba merasa gelisah dan aku tidak bisa tidur dengan tenang. Keesokkannya, hari Sabtu, sehabis Maghrib semua keluargaku berkumpul di rumah sakit tapi aku tidak diizinkan untuk ikut, aku diminta untuk menemani nenekku di rumah karena kebetulan nenekku tidak bisa berjalan jadi harus ada yang menemani.
Pukul 19.00 salah seorang pamanku mendapatkan telepon dari rumah sakit dan mendapatkan kabar kalau kakekku sudah pergi ke surga. Kakiku lemas mendadak, jantungku berdegup sangat cepat hingga tiba-tiba aku merasa mual, jari-jari tanganku gemetar hebat, rasanya aku ingin menjerit tapi coba untuk ku tahan. Seketika rumah menjadi ramai dengan tetangga yang membantu membereskan rumah dan mempersiapkan segala keperluan untuk pemakaman. Keadaan semakin memilukan, ketika kakekku sampai di rumah. Kakekku yang kemarin masih mengobrol denganku kini sudah terbujur kaku dengan diselimuti selimut warna orange yang kemarin kulihat di rumah sakit. Sekuat tenaga aku mencoba untuk menahan air mataku tapi dadaku rasanya semakin sesak, kerongkonganku seakan tercekik. Namun pada akhirnya aku kalah dengan keadaan, aku sudah tidak bisa menahan rasa sakit yang sedari tadi ku tahan, air mataku jatuh bercucuran tanpa kuasa aku bending lagi. Saudara dan tetangga mencoba menenangkanku, mereka memelukku sambil ikut menangis dan membisikkan kata-kata untuk menguatkanku tapi semua tidak ada gunanya sama sekali. Rasa sakitnya semakin menguasai seluruh tubuhku, rasa sakit yang sebelumnya belum pernah aku rasakan, rasa sakit yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata apapun. Tidak ada kata yang tepat untuk menjabarkan rasa sakitku malam itu. Seketika semua penyesalan muncul di kepalaku, jika tahu akan begini ceritanya aku akan mengunjungi kakekku setiap minggu dan bukan sebaliknya, aku akan terus berada di sisi kakekku selama di rumah sakit, aku akan memijat kakinya dan menggosokkan balsam, mengupaskan jeruk untuknya. Jika tahu begini aku akan membangunkan kakekku ketika aku mau pamit pulang ke rumah. Tapi semua sudah terlambat, kakekku sudah pergi ke surga tanpa berpamitan padaku. Kakekku memang tidak pernah berbohong, bahkan saat obrolan terakhir kami beliau tidak pernah berbohong. Beliau menepati janjinya untuk segera pulang ke rumah meskipun dalam keadaan yang tidak pernah diharapkan dan dibayangkan oleh keluarganya. Aku terus menerus menangis meratapi kebodohanku selama ini. Aku takut kakekku akan sangat terluka melihat keluarganya bersedih, aku sudah mencoba menahannya, aku sudah mencoba, tapi ternyata aku kalah dengan rasa sakit kehilangan itu dan aku tetap tidak bisa memberikan ketenangan untuk kakekku bahkan untuk yang terakhir kalinya. Ibukku menemuiku dan memelukku, membisikkan padaku untuk berhenti menangis dan mengikhlaskan kepergian kakek. Aku mengangguk meskipun tetap saja air mataku terus mengalir. Ibu mengajakku untuk ikut dalam proses persiapan pemakaman untuk bisa melihat kakek terakhir kalinya tapi aku menolaknya. Aku tidak ikut selama proses persiapan pemakaman sama sekali, aku memilih untuk menangis di ruang belakang. Aku tahu mungkin suatu saat aku akan menyesalinya karena aku kembali menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan untuk menunjukkan baktiku kepada kakekku, kesempatan untuk melihat kakekku untuk terkahir kalinya. Iya, suatu saat nanti pasti aku akan menyesalinya tapi aku hanya ingin menyimpan kenangan tawa kakekku dimemoriku. Aku hanya ingin mengabadikan potret kakekku yang sedang tertawa sebagai kenangan terakhirku dengannya. Aku tidak ingin menyimpan potret dimana kakekku yang sudah tidak berdaya lagi sebagai kenangan yang tertanam di memoriku.
Aku berusaha untuk menerima kenyataan bahwa kakekku sudah bahagia bertemu dengan Tuhan sekarang meskipun setiap malam aku masih sering sembunyi-sembunyi menangis di teras rumah. Hampir setiap malam aku duduk di pojokan teras rumah sambil menatap bintang-bintang di langit dengan harapan mereka akan menyampaikan salam rinduku kepada kakekku. Tanpa terasa 1 bulan sudah berjalan, besok adalah hari aku study tour ke Jogja. Pada malam harinya saat aku sedang sibuk berkemas untuk perlengkapan yang akan dibawa, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah, ternyata Paklek ku datang berkunjung. Tumben sekali Paklek berkunjung malam-malam. “Loh Paklek, tumben main ke sini?”, tanyaku kepada Paklek sambil melipat baju hasil setrikaanku. Paklek duduk di kursi kayu, tepat di sebelah timur dari tempatku menyetrika saat ini. “Iya, Nduk. Kamu berangkat liburan ke Jogjanya besok Nduk?”, tanya Paklek padaku. “Iya, Paklek. Besok berangkatnya habis Subuh”, jawabku sambil berjalan ke arah dapur untuk membuatkan kopi untuk Paklek. 3 menit kemudian akau membawa segelas kopi hitam dan pisang goreng dari dapur, aku menaruhnya di meja kayu dekat kursi Paklek. “ Monggo, diicip dulu Paklek. Ayah sama ibuk masih belum pulang dari mushola”, kataku pelan sambil mempersilahkan Paklek mencicipi makanan yang kusajikan. “Gak usah repot-repot Nduk. Oh ya, Paklek ada titipan”, kata Paklek sambil menyerahkan amplop putih kepadaku. Aku tahu kalau di dalam amplop itu pasti uang untuk uang sakuku, aku berusaha untuk menolaknya. “Apa ini Paklek? Gak usah repot-repot”, tolakku pelan. Paklek tetap berusaha memberikan amplopnya untukku dan memaksaku untuk mengenggam amplop putih itu. “Gak repot kok, Nduk. Paklek cuma menyampaikan saja. Itu titipan dari alm. Kakung. Kata Kakung, nitip ini untuk mbak Aza takutnya Kakung lupa nanti”, jawab Paklek mencoba menjelaskan padaku agar berhenti menolak amplop putih itu. Aku hanya bisa terdiam dengan mata berkaca-kaca. Aku mencoba mengatur nafasku namun tetap saja tenggorokannya terasa seperti tercekik. Begitulah Kakungku, tidak pernah mengingkari janjinya sekalipun. Meskipun beliau terlihat keras di luar tapi sangat lembut dan penyanyang. Aku selalu bersyukur karena terlahir sebagai cucunya bahkan jika aku terlahir kembali di kehidupan selanjutnya, aku akan meminta kepada Tuhan untuk tetap terlahir sebagai cucunya.