AZALEA

Aksara
Chapter #3

DAFTAR ULANG #3

2 minggu setelah pengumuman hasil SNMPTN Tulis adalah waktunya daftar ulang. Sebenarnya aku sedikit khwatir karena ini adalah awal dimana aku akan memulai kehidupan baru yang jauh dari orangtua dan ada sedikit kekhawatiran terkait beban biaya kuliah yang harus ditanggung orangtuaku. Meskipun aku mendapatkan beasiswa tapi tetap ada biaya yang harus ditanggung oleh orangtuaku apalagi sebulan lalu ayahku harus operasi dengan biaya yang tidak sedikit. Waktu pendaftaran masuk kuliah kemarin sebenenarnya aku tidak memberi tahu orangtuaku dan aku juga belum menyampaikan jika aku mendaftar beasiswa karena niat awalku aku akan memberi tahu ketika semua sudah pasti bahwa aku lolos seleksi meski pada dasarnya aku tidak tahu pasti nanti sistem pelaksanaannya seperti apa. Malam itu, seminggu sebelum daftar ulang, tiba-tiba ayahku mengetuk pintu kamarku dan meminta izin untu sedikit mengobrol. Sejujurnya aku tidak terlalu sering mengobrol dengan ayahku karena kami memang jarang bertemu sejak kecil. “Mbak Aza, minggu depan mau daftar ualng ya? Mau diantar siapa?”, tanya ayahku setelah masuk ke dalam kamarku. Ayahku menarik kursi di samping kasurku dan melihat-lihat selebaran di atas meja belajarku. Aku menengok ke arah ayahku. “Iya, Yah. Sepertinya mau diantar mas Aris karena dulu pernah kuliah di kampus aku sekarang”, jawabku. Setelah diam untuk beberapa saat, ayahuku melanjutkan obrolan kami. “Mbak Aza, biaya untuk daftar ulangnya butuh berapa? Beneran biayanya sudah di cover dari beasiswa yang kemarin mbak Aza ajukan?”, tanyanya pelan dengan penuh kekhawatiran. Aku tahu pasti ayahku khawatir jika ternyata beasiswanya tidak cair maka aku pasti akan merasa kecewa. Meskipun aku sendiri juga tidak yakin tapi aku berusaha menenangkan ayahku. “Harusnya sih gitu Yah, karena aku sudah sempat tanya kakak tingkat waktu SMS, ya beda kampus sih pasti mekanismenya beda, tapi katanya bisa. Di coba dulu aja Yah, dilihat nanti pas hari-H nya seperti apa”, kataku menjelaskan. Tiba-tiba ayahku menghela nafas panjang sebelum melanjutkan obroalannya denganku. “Iya, semoga bisa ya Mbak. Maafin ayah ya Mbak”, kata ayahku sangat pelan bahkan aku hampir tidak mendengarnya. Mendadak suasana kamarku menjadi sendu dan sunyi. Aku mulai berkaca-kaca namun aku mencoba untuk tidak menangis. “Maafin untuk apa Yah? Kan sekarang bukan lebaran, kenapa harus minta maaf segala”, jawabku sambil merubah posisi untuk berbaring memunggungi ayahku. “Maafin karena biaya yang seharusnya bisa buat kuliah mbak Aza dipakai untuk biaya operasi ayah. Nanti mungkin waktu kuliah mbak Aza juga gak bisa seperti teman-teman lain yang bisa makan enak dan serba cukup. Mungkin nanti mbak Aza harus serba terbatas tapi ayah sama ibu usahain yang terbaik. Semoga beasiswa cair ya Mbak, jadi nanti uang dari ayah sama ibu bisa buat tambahan untuk kehidupan sehari-hari mbak Aza”, ucap ayahku pelan dengan suara parau menahan tangisnya. Aku tidak menjawab karena aku sudah menangis duluan. Aku berbaring membelakangi ayahku yang duduk di kursi samping kasurku. Sebelumnya aku tidak pernah mengobrol serius seperti ini dengan ayah apalagi menangis di depan ayahku. Meskipun aku menyembunyikan wajahku dan berusaha untuk tidak bersuara tapi aku yakin ayahku tahu kalau aku menangis. Selama ini aku berusaha untuk memahami keadaan keluargaku, aku tidak pernah mengeluh karena jarang bertemu ayahku dan aku juga tidak pernah mengeluh ketika ayahku tidak pernah sekalipun mengambilkan raporku di sekolah sampai aku lulus SMA meskipun aku terkadang iri dengan teman-temanku tapi aku tahu bahwa keadaan yang memaksa seperti itu. Aku dan ayah memang jarang mengungkapkan kasih sayang kepada orangtua terutama ayah karena aku bingung cara mengutarakannya dan agak sedikit malu untuk menunjukkannya tapi sesungguhnya aku sangat menyayanginya. Ayahku tidak pernah mengeluhkan apapun selama jauh dari keluarga, tidak pernah sekalipun ayahku bilang di depanku bahwa beliau merasa capek atau sakit meskipun aku tahu pekerjaan ayah bukanlah pekerjaan yang ringan. Setiap ayahku akan kembali berangkat merantau aku selalu berusaha untuk tidak berada di rumah karena aku tahu bahwa aku akan menangis saat ayahku minta izin untuk berangkat jadi aku berusaha untuk menghindarinya. Aku tidak pernah mengeluhkan apapun karena aku tidak cukup pantas untuk mengeluh. Setelah cukup lama kami hanya saling berdiam diri di tempat kami masing-masing, ayahku membuka keheningan dan sepertinya tidak ingin membuatku semakin menangis. “Mbak Aza, ayah mau ke rumah Pakde dulu, nanti kalau ada mas Aris ayah sekalian tanya mas Aris bisa ambil cuti untuk nganterin mbak Aza apa nggak”, ucap ayahku sambil beranjak dari kursi yang sedari tadi didudukinya. Mulutku tidak bisa mengucapkan satu patah katapun, aku hanya bisa membalas “mmmmm”. Obrolan kami malam itu memang tidak panjang tapi cukup membekas untuk ku. Membuatku semakin sadar bahwa dalam keadaan sesulit apapun orangtua pasti akan mengupayakan yang terbaik untuk anaknya dan tidak pernah merasa terbebani untuk hal itu. Aku semakin merasa takut jika nanti selama kuliah aku tidak sadar akan membuat beban bagi orangtuaku tapi aku yakin bahwa Tuhan akan selalu memberikan jalan-Nya.

Satu minggu kemudian…

Hari ini aku akan melakukan proses daftar ulang. Semua berkas yang dibutuhkan sudah ku siapkan sejak malam sebelumnya. Jam 2 pagi aku dibangunkan ibu untuk mandi dan siap-siap. Pagi ini dingin sekali gigiku terus mengertak sepanjang mandi. Kira-kira pukul 3 pagi aku dan mas Aris berangkat ke terminal bus yang jaraknya kurang lebih 45 menit dari rumah. Dalam hati aku berdoa semoga aku tidak mabuk perjalanan karena aku jarang sekali bepergian jauh. Sepanjang jalan aku diceritakan bagaimana pengalaman mas Aris saat dulu masih kuliah, dulu mas Aris adalah mantan ketua BEM di fakultasnya jadi banyak cerita seru yang bisa dibagi padaku. Naik bus Puspa Indah kali ini seperti menjadi ajang nostalgia bagi mas Aris karena sejak jaman masnya kuliah busnya tetap sama tidak banyak berubah, mulai dari AC alami dan suara khas krek~krek~krek yang mengiringi sepanjang perjalanan. Kami sampai di kampus sekitar pukul 09.00. Aku langsung berjalan menuju tempat daftar ulang sesuai pengumuman di website kampus. Sudah panjang sekali antrian di sana, aku segera masuk ke dalam aula dan mencari kursi untuk menunggu giliran untuk pemberkasan. Awalnya aku berpikir bahwa prosesnya dapat selesai sebelum sore tapi ternyata di luar dugaan, prosesnya cukup panjang apalagi program studiku, Ilmu Gizi, menjadi bagian dari Fakultas Kedokteran karena semua program studi yang berkaitan dengan kesehatan semua dijadikan satu fakultas. Tes kesehatan untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran memiliki rangkaian kesehatan paling kompleks, jika fakultas lain cukup dengan pengecekkan berat badan, tinggi badan dan tekanan darah saja tapi untuk mahasiswa Fakultas Kedokteran harus pemeriksaan kesehatan lengkap bahkan tesnya di lakukan di rumah sakit yang dimiliki universitas. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 tapi aku masih mengikuti rangkaian pemeriksaan kesehatan, kekhawatiran mulai mengelayuti pikiranku, jika proses daftar ulangnya tidak selesai hari ini maka akan menjadi masalah yang cukup serius karena mas Aris hanya mendapat izin cuti satu hari dan aku juga tidak membawa persiapan apapun untuk menginap, baju yang melekat pada tubuhku adalah bekalku satu-satunya. Aku tidak membawa baju ganti sama sekali apalagi peralatan untuk mandi, sama sekali tidak masuk dalam list perlengkapan yang masuk ke dalam tasku. Aku mencoba untuk berpikir positif toh sekarang juga tinggal satu tahapan terakhir yaitu pemeriksaan mata. Saat tiba giliranku mengambil nomor antrian di loket tiba-tiba ada pemberitahuan dari petugas jika pemeriksaan mata dilanjutkan besok. Apa yang aku takutkan benar saja terjadi, aku berusaha meminta tolong dan memohon untuk menambahkan satu saja namaku untuk melakukan pemeriksaan sore ini tapi tetap tidak bisa karena jadwalnya sudah ditutup, aku diminta untuk kembali ke rumah sakit besok pagi. Aku kembali ke kampus menemui mas Aris kemudian menyampaikan bahwa aku harus melanjutkan pemeriksaan kesehatan besok pagi. Mas Aris mencoba untuk menghubungi beberapa kenalannya di Malang dan akhirnya ada adik dari teman mas Aris yang masih kuliah di Malang, namanya mbak Ana. Aku dititipkan kepada Ana untuk malam ini menginap di kosannya sementara karena mas Aris harus masuk bekerja lagi besok. Mbak Ana berusaha membuka obrolan dan menanyakan banyak hal padaku, meskipun baru mengenalnya hari ini tapi aku bisa memberikan penilaian bahwa mbak Ana adalah orang yang baik. Aku cukup terharu mendengar cerita dari mbak Ana, menurut penuturannya pada awal kuliah dulu tepatnya saat semester 2 mbak Ana hampir menyerah untuk tidak melanjutkan kuliahnya karena ada beberapa kendala dalam biaya kuliah, secara tidak sengaja mbak Ana bertemu dengan seorang ibu-ibu yang merupakan seorang pensiunan. Singkat cerita mbak Ana menjadi dekat dengan ibu tersebut dan akhirnya biaya kuliah mbak Ana ditanggung oleh si ibu. Ada satu kalimat yang selalu terngiang di kepalaku “Kamu tahu dek, Tuhan selalu mempunyai kasih sayang dan kebaikan yang tidak terbatas untuk kita jadi tugas kita hanyalah menjadi orang baik bukan untuk dipuji sama Tuhan tapi setidaknya sebagai bentuk tahu diri dari kita saja”. Ketika mendengar kata-kata itu hatiku terasa sangat hangat sekali. Malam itu, yang awalnya ku pikir akan kuhabiskan dengan meratapi nasib tapi ternyata Tuhan punya hadiah indah yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Alarm ku berdering tepat jam 4 pagi, awalnya aku sedikit bingung ketika mataku terbuka, atap tempat tidurku terlihat berbeda dari malam kemarin, oh iya benar, hari ini aku tidur di kamar kos mbak Ana. Setelah nyawaku sudah cukup terkumpul aku menuju kamar mandi. Aku tidak mau terlalu merepotkan mbak Ana dan sebenarnya lebih karena malu. Aku memutuskan untuk langsung ke kamar mandi hanya dengan bermodal sabun cuci muka. Aku berharap ada salah satu anak kos yang menaruh sabun mandinya di dalam kamar mandi jadi aku bisa minta sedikit saja setelah itu aku akan minta maaf sama Tuhan karena sudah mengambil barang orang lain tanpa izin. Celakanya tidak ada satupun yang menaruh sabun mandinya di dalam kamar, semua menaruh alat mandinya di depan kamar mandi. Aku tidak berani untuk mengambil tanpa izin karena takut tidak sengaja dipergoki dengan pemiliknya, biasanya hal-hal dengan niatan buruk selalu ditangkap basah oleh orang lain. Awalnya aku berniat untuk mandi dengan sabun cuci mukaku, tapi setelah ku pikir-pikir rasanya sayang sekali harus menggunakan sabun cuci muka untuk mandi, aku bisa tekor mendadak. Kebetulan ada satu sachet shampoo yang sudah dipakai separo oleh pemiliknya, karena badanku sudah sangat lengket akhirnya aku putuskan untuk mandi menggunakan campuran shampoo dan sabun cuci mukaku, seumur hidup aku akan mengingat kejadian ini sebagai salah satu sejarah kelam dalam hidupku. Berhubung aku tidak membawa baju ganti jadi aku tetap memakai baju yang kemarin, aku bersyukur setidaknya aku membawa outer yang tidak mudah lecek jadi setidaknya penampilanku tidak terlalu kucel sekali. Awalnya mbak Ana menawarkanku untuk mengantar tapi aku tolak karena aku lihat tugas mbak Ana lagi menumpuk bahkan kemarin malam saat aku terbangun sekitar jam 1, aku melihat mbak Ana masih sibuk memainkan jari-jarinya di atas keyboard laptop. Aku memutuskan untuk naik angkot saja karena kebetulan gang depan kos mbak Ana dilewati oleh angkot arah kampus. Setelah menunggu sekitar 10 menit tidak ada angkot yang lewat akhirnya aku mencoba untuk sementara jalan kaki saja karena kebetulan jarak kosan ke kampus tidak terlalu jauh. Sekitar 8-10 menit jika berjalan kaki. Di tengah perjalanan tiba-tiba ada seorang bapak-bapak yang menyapaku lalu menepikan motornya tepat satu langkah di depanku. “Nak, kamu mau ke mana? Kok jalan kaki. Mahasiswa baru ya?”, tanya Si Bapak kepadaku. Aku menghentikan langkah kakiku dan menepi ke sisi kiri jalan raya. “Mau kek kampus Pak. Tadi sudah nungguin angkot lama tapi tidak ada satupun yang lewat jadi saya jalan kaki”, jawabku. Si Bapak menawarkan aku tumpangan karena kebetulan beliau mau bekerja dan jalan yang dilewati searah dengan kampusku. Aku berusaha menolaknya karena aku tidak mengenal beliau. Lagipula jarak antara tempatku berdiri sekarang dengan kampus sudah cukup dekat. Si bapak terus memaksaku hingga menarin perhatian orang-orang yang lewat. Akhirnya aku mengiyakan nita baik beliau. Aku membonceng sepeda motor si bapak tanpa berpikiran yang negatif sama sekali karena di tempat tinggalku semua orang terbiasa untuk membantu salah satunya saat ada yang berjalan kaki selalu ditawarkan untuk diantar ke tempat tujuan. Ternyata di kota besar masih cukup banyak orang baik. Sesampainya di depan gerbang kampus si bapak memintaku untuk berhenti sejenak, katanya bapaknya mau memberi nasehat padaku. Si bapak menepikan sepeda motornya, kemudian kami duduk sebentar di halte depan kampus. Awalnya Si Bapak menasehatiku agar rajin belajar dan tidak bolos-bolos kuliah karena biaya kuliah kan mahal, sayang kalau tidak dimanfaatkan dengan baik. Lalu si Bapak menawarkan untuk membaca garis tanganku. Sebenarnya aku sudah mulai merasa ada yang aneh saat si Bapak menawarkan untuk membaca garis tangan tapi karena aku menghargai beliau yang sudah baik hati menawarkan tumpangan padaku, aku mengiyakan saja meskipun pada dasarnya aku tidak terlalu menyukai hal-hal seperti ini. Si Bapak mulai melihat telapak tanganku dan mulai menyampaikan ramalan-ramalannya. Menurut si Bapak ada cowok kemungkinan besar mantan pacarku yang sakit hari shingga mengirim ilmu hitam keluargaku yang menyebabkan keluargaku tidak harmonis dan aku akan dipersulit mendapatkan jodoh. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Gimana ceritanya mantan dendam, orang aku pacaran aja baru juga sekali sama si Putra, dan hubungan kami baik-baik saja. Perasaanku mulai tidak enak, aku teringat beberapa modus penjahat untuk menghipnotis korbannya salah satunya dengan mengajaknya ngobrol terlebih dahulu. Aku langsung buru-buru mencari cara untuk kabur. Aku pura-pura melihat jam dan mengangkat telfon meskipun sebenarnya tidak ada panggilan masuk. Aku meminta izin untuk pergi sekarang karena sudah ditunggu oleh teman-teman dan tak lupa aku mengucapkan terimakasih atas tumpangan yang sudah diberikan si Bapak kepadaku. Si Bapak mempersilahkan aku untuk segera menyusul teman-temanku. Sekilas ku lirik si Bapak sebelum beranjak pergi, muka si Bapak terlihat sedikit bingung. Aku langsung buru-buru masuk ke dalam kampus, entahlah apa yang akan terjadi hari ini masih pagi saja sudah ada hal-hal di luar nalar yang terjadi. Awalnya aku membayangkan proses daftar ulangku akan berjalan sangat manis seperti adegan-adegan di FTV yang tayang di SCTV. Waktu masuk kampus pertama kali bertemu cowok ganteng terus gak sengaja tabrakan terus tatap-tatapan dan akhirnya saling suka atau setidaknya melihat pemandangan makhluk-makluk surgawi yang menyegarkan mata tapi kenyataannya justru berbanding terbalik 1800. Setelah hari ini aku akan memutuskan untuk tidak akan lagi menonton FTV karena semua sangat tidak bisa diterima nalar. Sesampainya di halaman kampus aku menunggu antrian untuk ke rumah sakit, kebetulan jarak kampus dan rumah sakit sekitar 5 menit perjalanan dan kita diberikan fasilitas dari kampus untuk diantar jemput dengan mobil kampus. Aku masuk dalam kloter pertama, syukurlah di rumah sakit masih sepi jadi nanti siang aku bisa segera pulang ke rumah. Sebelum tes pemeriksaan mata ternyata ada pemeriksaan tambahan yaitu cek darah lengkap. Sebenarnya aku sedikit kaget dan takut juga karena pada dasarnya aku takut berhubungan dengan suntik. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa aku selalu menolak untuk ikut donor darah. Dulu ada kejadian salah satu temanku ikut donor darah dan ketika diminta menekuk lengannya untuk membantu pembekuan bekas suntikan jarum, malah dibuat mainan yang akhirnya darahnya mengucur banyak sekali, aku menjadi sedikit trauma sejak saat itu. Apalagi hari ini aku belum sarapan, akan sedikit tidak lucu jika aku pingsan setelah pengambilan sampel darah. Ternyata bukan hanya aku saja yang takut untuk pengambilan sampel darah, beberapa teman disebelahku juga merasakan yang sama dan pada akhirnya kami saling menyemangati untuk mengurangi kegugupan. Tiba giliranku untuk pengambilan darah, meskipun aku berusaha untuk serileks mungkin, dengan memasang senyum di wajah, tapi ternyata tanganku tidak singkron dengan keiginan hatiku, tanganku justru tiba-tiba semakin kaku saat diminta oleh petugas untuk merilekskan. Petugas pengambil sampel berusaha untuk menenangkan dan membuat beberapa lelucon untuk mencairkan suasana. Akhirnya selesai juga, aku bersyukur aku bisa melewatinya, sepertinya aku bisa mulai bersahat dengan jarum-jarum itu ke depannya. Untung saja aku tidak merasa pusing ataupun pingsan. Ada beberapa anak di sebelahku yang mengeluh pusing bahkan ada yang sampai nangis-nangis dan hampir pingsan, sedrama itu memang pagi ini. Selanjutnya aku menunggu giliran untuk tes mata. Kebetulan dokternya baru datang jam 08.30 dan sekarang baru jam 08.00 artinya kami semua harus menunggu sekitar 30 menit lagi. Tiba-tiba ada segerombolan cowok datang dan lanjut mengantri untuk pengambilan sampel darah. Awalnya aku tidak tertarik untuk menengok mereka, aku sibuk mengobrol dengan beberapa teman baru yang baru aku kenal pagi ini. Sampai pada akhirnya ada obrolan dari salah satu petugas yang menarik minatku untuk menengok ke arah mereka. “Kamu cowok lho masa sama jarum yang kecilnya segini aja mau nangis. Gak usah tegang gitu, tangannya hayo diluruskan, lemes aja, lemes. Kamu kan ambil jurusan kedokteran masa takut sama jarum”, kata Petugas itu dengan suara keras yang membuat semua orang yang sedang mengantri di depan ruang pemeriksaan mata menengok ke arah mereka semua. Si cowok tadi hanya merespon dengan nyengir dan senyum yang sedikit dipaksakan sepertinya dia malu karena menjadi pusat perhatian banyak orang. Sebenarnya setelah ku tengok, si cowok ini gak nangis cuma memalingkan wajah saja dan tangannya memang kaku karena tegang tapi lucunya dia terlihat sangat imut hahaha. Jujur si cowok ini memang imut sekali, wajahnya masih terlihap seperti anak SMP, baby face parah, apalagi ditambah dengan kulit putihnya dan kacamata di wajahnya. Setelah selesai pengambilan sampel, teman di sebelahku tiba-tiba memangil si cowok tadi ternyata mereka teman satu SMA dan saling kenal. “Hei, sini. Baru datang? Tadi kesini naik motor atau mobil kampus?”, sapa teman cewek di sebelahku sambil melambaikan tangannya ke arah si cowok tadi. Cowok tadi berjalan menuju ke arah kami. “Hei. Iya baru datang, janjian sama anak-anak buat berangkat bareng tadi. Motoran, soalnya males harus ke kampus dulu jadi bawa motor aja, kan dekat juga dari rumah. Nanti abis ini ada rencana mau main juga sama anak-anak”, jawabnya sambil mengajukan tos dengan teman cewek di sebelahku. Aku hanya terdiam, menatap lurus ke arah pintu ruang pemeriksaan kesehatan mata tapi telingaku merekam semua percakapan mereka dengan baik. Si cowok tadi mengambil kursi lalu duduk di sebelah kiriku untuk menunggu antrian dipanggil masuk ke ruangan. Kami tidak berkenalan, kami fokus dengan kesibukan kami masing-masing. Aku asik mengobrol dengan teman-teman cewek di sebelah kanan kursiku dan dia asik mengobrol dengan teman-temannya membahas hal-hal random mulai dari games dan banyak hal random yang benar-benar khas obrolan anak cowok. Entah mengapa dalam hatiku merasa senang mendengar obrolan mereka, dan meskipun aku tidak berkenalan tapi setidaknya kami satu fakultas jadi pasti akan ada kesempatan untuk kami berkenalandalam empat tahun ke depan. Karena aku tidak tahu namanya aku hanya memberinya sebutan “adik kecil”. Semoga nanti kita bertemu lagi adik kecil.

Lihat selengkapnya