Azila

Nona Li
Chapter #2

2. Aroma Lavender

Kata pepatah, taraf tertinggi dari mencintai adalah melepaskan. Melepaskannya agar dia bahagia meski bersama orang lain. 

Tapi aku tidak bisa.

Aku tidak sanggup melepaskan Mas Nanda.

‘Kamu egois Azila.’

~

Pagi ini, seperti biasanya aku menyiapkan sarapan untuk Mas Nanda. Sebelum menikah, jangankan memasak, menginjak dapur saja aku enggan. Namun sekarang, setiap hari aku berkutat dengan dapur.

Aku tidak pernah merasa keberatan.

Aku senang Mas Nanda mau memakan masakanku.

Saat aku membuka pintu kamar untuk memberitahu sarapan sudah siap, Mas Nanda tengah berpakaian. Gegas, aku menghampiri. Membantunya mengancingkan kemeja satu demi satu. Mas Nanda memiliki otot perut dan dada yang bagus juga sehat. Aku sangat menyukainya.

Aroma harum lavender menguar dari kemeja. Aku sengaja membeli pengharum pakaian dengan aroma yang disukai Mas Nanda. Sebenarnya aku memiliki hidung yang sangat sentitif terhadap bebauan. Di antara banyak bau, reaksiku paling keras terhadap aroma lavender

Dulu, aku sangat tidak menyukai aroma lavender karena terasa menyengat dan membakar hidung. Aku akan mual-mual kalau mencium aroma lavender. Namun, itu dulu. Sekarang, sudah empat tahun aku berteman baik dengan aroma lavender. Bahkan, seluruh rumah ini memiliki aroma lavender

“Selesai.”

Aku mengelus pelan dasi yang sudah rapi.

Mas Nanda mengambil jas yang telah kusiapkan. Lantas beranjak keluar tanpa sepatah kata pun. 

Dia bukan pri jahat. 

Tak pernah memukul.

Tak pernah membentak.

Mencukupi kebutuhan lahir dan batinku dengan sangat baik. Satu-satunya yang tidak dia berikan adalah cinta. Dia tidak mencintaiku sama sekali.

Aku memandangi Mas Nanda saat menyantap masakan yang kubuat. Dia tampan sekali. Rambut, hidung, alis, mata, bibir, semuanya tercetak menawan. Memberikan kesan mendalam. 

 Aku menyukai semua bagian tubuhnya. Aku menyukai apa pun yang berhubungan dengannya. Aku tak pernah bosan memandangi wajahnya. Lagi dan lagi. Meski wajah itu begitu datar tanpa ekspresi tanpa emosi. Dan tentu saja, tanpa cinta. Bahkan hanya melihat Mas Nanda mengelap mulut dengan tisu, aku merasa cintaku telah semakin dan semakin dalam. 

“Jangan lupa untuk makan siang.” Aku mengingatkan. Memasukan kotak bekal makan siang ke tas kerja Mas Nanda.

“Enn.”

Mas Nanda hanya berdeham sebagai jawaban.

Lihat selengkapnya