Ekspresi Sabrina terlihat membeku.
Sebaliknya, ekspresi Mas Nanda tetap datar. Dia tidak terlihat kaget ataupun gugup melihatku. Selama ini dia memang tidak pernah menyembunyikan perhatiannya pada Sabrina. Bahkan, terang-terangan meminta empat persen dari gajinya dipakai untuk menyantuni Sabrina dan putrinya.
Mereka berdua saling mencintai. Namun, tidak bisa bersama karena aku.
‘Kamu egois, Zila.’
Tiga tahun lalu, Sabrina menikah. Kupikir pernikahan itu akan menjadi jalan bagiku untuk bisa melunakan hati Mas Nanda. Nyatanya, aku keliru besar. Cinta Mas Nanda untuk Sabrina terlalu kuat—dan mungkin sebaliknya juga.
Pernikahan Sabrina hanya bertahan delapan belas bulan. Pernikahan itu menghasilkan seorang anak perempuan. Usianya kini dua tahunan, tinggal bersama ibunya Sabrina yang single parent.
Seakan semesta pun mendukung. Sabrina yang sempat cuti diterima kembali di perusahaan tempatnya dulu bekerja. Satu kantor dengan Mas Nanda.
Aku merapatkan kursi. Duduk sembari menggandeng lengan Mas Nanda.
“Mas Nanda malam ini lembur, jadi aku ….” Aku ingin mengatarkan makanan, tetapi Mas Nanda sudah makan berdua bareng Sabrina. Aku menelan ludah yang terasa kecut dan pahit. “Aku bawa kue salad.”
Terima kasih, Allah.
Untunglah, selain membawa bekal, aku juga membawa kue salad. Aku segera mengeluarkannya dari totebag. Namun, entah karena gugup, bekal makan berisi nasi malah jatuh menggelusur ke lantai. Buru-buru aku mengambil dan memasukannya kembali ke totebag. Meski aku yakin, Mas Nanda telanjur melihatnya.
“Aku buatkan Mas Nanda kue salad. Nanti kalau jenuh sama kerjaan, bisa dimakan.” Aku meletakkan kotak tupperware berisi kue salad di atas meja.
Mas Nanda hanya melirik sekilas. Dia lalu menerima panggilan telepon. Ekspresinya berubah serius. Lalu tanpa mengatakan apa pun meninggalkan kafe. Dia tidak membawa kue salad yang kubawa. Tidak juga pamitan padaku. Seolah-olah aku memang tidak pernah datang ke sini.
Allah.
Jika Mas Nanda tidak bisa jatuh cinta pada hamba, kenapa Engkau membuat hamba begitu mencintainya.
Aku mengusap mata.
Sabrina menatapku. Wajahnya terlihat bulat dalam balutan jilbab yang dimasukan ke kemeja formal. Jas resmi longgar membuatnya terlihat sangat elegan. Dia berusia dua tahun lebih tua dariku. Sabrina menatapku. Tidak dengan tatapan sinis, tetapi mengemis.
“Kami saling mencintai, tapi kami tidak bisa bersama. Azila … kenapa kamu tidak mepelaskan Mas Nanda. Kenapa kamu membuat Mas Nanda hidup dalam kekosongan. Keegoisan kamu menyakiti kita semua.”
“Aku masih ingin mencoba ….”
“Sampai kapan? Sudah empat tahun, Zila. Empat tahun. Mau sampai kapan kamu mengurung Mas Nanda dalam keegoisan kamu? Mau sampai kapan kamu mencoba? Sampai mati!”
Mungkin saja!
Di dunia ini, mungkin hanya kematian yang bisa mengubur perasaanku untuk Mas Nanda.
“Dua kali, Zila. Dua kali kamu kehilangan bayi kamu, apa itu nggak cukup sebagai peringatan. Allah ataupun semesta tak mengizinkan kamu dan Mas Nanda memiliki keturunan. Hubungan kalian atas dasar keterpaksaan. Yang Maha Kuasa pun tak meridoinya.”
“Kenapa kamu bilang seperti itu? Kalau semesta nggak meridoinya, kenapa malah mempertemukan aku dan Mas Nanda. Kenapa perasaan aku begitu dalam buat Mas Nanda? Kenapa?”
Sabrina terdiam.
Dia menatapku untuk beberapa lama, kemudian beranjak.
“Kamu egois, Zila! Egois ….”
…