Kata Asifa, aku koma selama delapan hari.
Sama seperti Endah, dia salah satu sahabat terbaik yang kumiliki. Ayahnya mengajar di salah satu pondok pesantren modern ternama di kota ini. Kini, dia pun mengajar di sana sebagai guru olahraga siswi. Ponpes tempat ayahnya bekerja memiliki sekolah swasta.
Dari informasi yang dikumpulkan Asifa, Mas Nanda yang membawaku ke rumah sakit, sekitar pukul dua pagi. Kondisiku saat itu sangat kritis dan hampir kehabisan darah. Aku menjalani beberapa kali operasi panjang. Dia menggali semua informasi ini dari dokter dan suster yang menanganiku. Dia juga mengatakan melihat Papa dan Mas Nanda terlibat perseteruan, tetapi kurang jelas mereka berseteru dalam hal apa.
Asifa dan Endah bergantian mengunjungiku. Sementara Mas Nanda melakukan perjalanan bisnis keluar kota dua hari lalu. Di saat aku masih koma.
“Ponsel aku di mana, Fa?”
“Ponsel?”
Aku mengangguk lemah.
Asifa dalam balutan gamis dan jilbab nude terlihat sangat serasi. Usianya sepantaran denganku, hanya lebih tua empat bulan. Memiliki proporsi tubuh yang bagus, tinggi ideal, dan sehat. Wajah manis dengan kulit kuning langsat. Pembawaanya penuh semangat, penuh tenaga. Dia ramah dan sangat jujur. Jika bicara selalu blak-blakan.
“Buat apa ponsel, Zi?”
“Aku mau nelpon Mas Nanda.”
“Nelpon Nanda, ngapain?”
Aku tidak tahu kenapa Endah dan Asifa selalu memanggil Mas Nanda dengan sebutan nama saja. Terdengar sedikit tidak sopan mengingat usia Mas Nanda yang lebih tua. Mereka berdua juga selalu mengobarkan api permusuhan pada suamiku. Tidak mau mendengarkan nasihatku agar bersikap ramah kepadanya.
“Zila, kamu kenapa, sih? Kamu kerasukan jin apaan coba? Sadar, Zila, sadar! Nanda tuh nggak punya hati, percuma kamu perjuangin dia. Sia-sia doang. Ayo, dong, Zi. Move on! Lupain Nanda. Dia nggak peduli sama kamu. Nggak punya hati. Dia ninggalin kamu saat koma cuma buat perjalanan bisnis.”
Asifa masih sangat cerewet seperti biasanya. Dari dulu dia memang begitu. Sekali bicara, merepet nggak berhenti-berhenti.
“Aku pinjem ponsel kamu ajah, ya. Please ….”
“Zila!”
“Aku mohon.”
Asifa menatapku tak berkedip sampai lama. Aku terus memandanginya dengan tatapan memelas. Dia akhirnya menghela napas, menggeleng lemah tak berdaya. Aku memberinya senyuman termanis saat dia akhirnya mengasurkan ponsel.
Aku hafal nomor Mas Nanda di luar kepala. Panggilan pun tersambung.
“Ha–hallo … Mas Nanda. Assalamualaikum, Mas.” Aku menyapa dengan tidak sabar saat panggilan diterima.
Hening.
Samar-samar aku mendengar helaan napas di seberang sana.