Aku tidak marah kalian tidak bisa memahami. Kalian hanya tidak merasakan seperti yang aku rasakan. Pertama, mungkin kalian beruntung karena dicintai. Kedua, kalian beruntung karena memiliki rasa cinta yang tak terlalu besar, sehingga lebih mudah untuk melepaskan.
—Azila 🍁
“Ma–Mas Nanda ….”
Aku menggeliat bangun.
Tanganku sudah di perban.
Tidak ada lagi infus atau selang apa pun yang terhubung ke tubuhku. Hanya saja aku merasa sangat lemas, seperti sudah berhari-hari tidak makan. Tangan kanan juga sakit dan tampak sedikit bengkak. Mungkin keseleo atau terkilir sewaktu jatuh tadi.
Di mana Mas Nanda?
Meraih ponsel, aku menelpon. Tidak diangkat. Rasa panik mulai menghantuiku. Endah dan Asifa enggan melihat Mas Nanda. Jadi, keduanya pulang lebih awal. Tidak ada yang bisa dimintai tolong untuk mencari keberadaan Mas Nanda. Aku harus mencarinya sendiri.
Aku menginjak lantai perlahan. Melangkah pelan-pelan. Kedua kakiku gemetar. Rasanya sesak meski baru berjalan beberapa langkah. Namun, aku mengeraskan hati. Terus menyusuri koridor dengan berpegangan pada dinding. Aku ingin bertemu Mas Nanda. Tadi, aku belum sempat menggapainya, sudah keburu pingsan.
Apa mungkin Yang Maha Kuasa dan semesta memang tak mengizinkanku untuk menyentuhnya. Tidak. Tidak mungkin. Kalau memang seperti itu, lalu kenapa rasa rindu ini begitu kuat?
“Mas Nanda ….”
Apa dia pulang ke rumah?
Bagaimana kalau tiba-tiba ada perjalanan bisnis lagi. Aku belum sempat bicaranya dengannya.
Sepi sekali. Aku menoleh kanan-kiri, sepertinya aku tersesat. Kini entah berada di bagian mana. Tadi aku ingin ke halaman untuk mengecek mobil Mas Nanda.
“Mas … Mas Nanda.”
Tubuhku merosot jatuh.
Entah kenapa kaki ini begini lemah.
Luka bekas tusukan terasa berdenyut-denyut.
Aku duduk memeluk lutut, bersandar ke dinding. Berharap ada suster atau siapa pun lewat. Aneh. Kenapa aku bisa tersesat sampai ke tempat sepi begini.
Kenapa susah sekali menemukan Mas Nanda?
Aku tidak dapat menahan diri untuk menangis. Rasanya terlalu lelah untuk mengejarnya. Namun, perasaan yang kuat memaksaku untuk terus mengejarnya. Aku merasakan bahuku mulai berguncang.
Semua ini nggak adil!
Kenapa rasa cintaku harus begini besar. Kenapa aku tidak bisa rela untuk kehilangan Mas Nanda. Kenapa aku begini terluka tak dipedulikan olehnya.
Hatiku terlonjak saat dua buah telapak tangan menyentuh bahu. Kepalu terbenan di lutut, tidak bisa melihat siapa orang di depan. Namun, aroma samar harum lavender sudah cukup untuk memberitahu. Entah kenapa, aku malah menangis semakin keras.
“Zila.”
Aku menghambur memeluk sosoknya. Menenggelamkan wajahku di dadanya, menangis sejadi-jadinya. Menangis hingga tersengal dan tak bisa bernapas.
Ringan, tubuhku terangkat.
Satu tanganku menyelinap di punggung Mas Nanda. Satu lainnya memegangi pundak depannya. Dari posisi ini, aku bisa menatap wajahnya dari begitu dekat. Membuatku melupakan kesedihan dan berhenti menangis.
Saat melewati koridor yang lebih ramai, beberapa orang tampak memperhatikan. Ada juga yang melempar senyuman. Aku menyandarkan kepalaku di dada Mas Nanda dan mengabaikan semuanya.