“M–mas Nanda ….”
Mas Nanda akhirnya pulang.
Sepertinya semalaman aku ketiduran di lantai. Mungkin lebih tepatnya pingsan lalu ketiduran. Kemudian terbangun karena terbentur pintu. Faktanya, pintu rumah ini memang tidak menggunakan selot. Hanya ada lubang kunci dan Mas Nanda memiliki kuncinya. Jadi, aku tidak perlu menunggu untuk membuka pintu. Meski begitu, aku tetap menunggunya.
Samar, aku melihat cahaya terang dari celah gorden.
Apa mungkin sudah pagi?
Samar-samar, aku juga melihat ekspresi terkejut Mas Nanda di sisi pintu. Dia berjongkok, mengelus area antara hidung dan bibirku. Jari-jarinya terasa hangat.
Aku ingin menyapa dan menyambutnya. Namun, lidahku terasa kelu. Bibir merapat ketat. Seluruh tubuh kaku tidak bisa digerakkan.
Mas Nanda akhirnya memangku tubuhku ke kamar. Dia mengecek suhu badanku dengan termometer. Ekspresi wajahnya terlihat suram saat menatap angka di termometer.
Pelan-pelan, Mas Nanda menarik tubuhku menjadi setengah duduk. Dia memelukku. Tubuhku sangat dingin seperti sebongkah es. Pelukan Mas Nanda mengantarkan rasa hangat yang lembut. Dia seperti api unggun ajaib yang menyala di tengah gurun es. Memberiku rasa hangat yang nyaman.
Mas Nanda menutupi punggungku dengan selimut tebal. Tangannya secara terampil mengecek suhu tubuhku secara berkala. Setelah beberapa kali mengecek, dia melemparkan termoter begitu saja, lalu membungkus tubuhku dengan selimut. Membawaku keluar.
Aku tidak tahu mau di bawa ke mana. Namun, saat di dalam mobil, Mas Nanda berkali-kali melirikku. Dia terlihat cemas. Dalam empat tahun terakhir, belum pernah aku melihatnya secemas ini.
Aku ingin menghiburnya supaya jangan terlalu khawatir. Namun, aku sangat mengantuk.
Akhirnya aku tertidur.
…
Saat aku kembali bangun, cahaya kuning keemasan memancar dari kaca. Hatiku melonjak. Bingung antara pagi atau sore. Sesaat kemudian, aku menyadari sedang berada di rumah sakit. Aroma alkohol dan disinfektan tercium jelas. Aku sedikit sensitif dengan bau-bauan.
Di mana Mas Nanda?
Aku duduk dengan cepat. Ternyata gerakan itu menimbulkan efek yang luar biasa. Kepalaku luar biasa pusing. Aku mencari-cari ponsel, tetapi tidak berhasil menemukannya. Ada selang infus yang terhubung ke tangan, aku tidak berani mencabut jarumnya.
Tapi aku ingin mencari Mas Nanda.
Tombol nurse call, aku segera menekannya.
Tak berselang lama, dokter diikuti dua suster segara datang.
Aku segera melayangkan pertanyaan. “Dokter, di mana suami saya?”
“Pak Nanda, tadi beliau mengatakan ada pekerjaan mendesak dan harus diselesaikan. Katanya dia akan kembali pukul tujuh malam. Dia meminta Ibu Azila agar dirawat dengan baik.”