Aku tidur dengan gelisah sepanjang malam. Mas Nanda tidak kembali setelah mengunjungi Salsabila. Paginya juga tidak berkunjung menjengukku. Mungkin setelah mengunjungi Salsabila dia langsung pulang. Paginya, langsung berangkat ke kantor. Aku menyesalkan kenapa Mas Nanda tidak mampir dulu ke rumah sakit sebelum ke kantor. Namun, aku juga memakluminya. Mungkin saja Mas Nanda bangun kesiangan karena tidak ada yang membangunkan. Lagipula, pasti merepotkan kalau harus mampir-mampir dulu. Jadi, ya, tidak apa-apa.
Menebalkan muka, aku meminjam ponsel salah satu suster yang mengantar sarapan. Bukan suster yang kemarin. Mas Nanda menjawab panggilan setelah enam kali menolak panggilan sebelumnya. Aku mengingatkannya untuk sarapan; jangan terlalu banyak minum kopi; jangan lupa makan siang; juga harus menjengkku pulang kerja. Mas Nanda menjawab semuanya dengan satu dehaman. Kemudian sambungan diputuskan.
Aku sangat berterima kasih pada suster yang baik hati. Setelah mendengar suara Mas Nanda, meski hanya untuk menjawab salam, hatiku sudah lebih tenang.
Pukul sembilan, Endah dan Asifa berkunjung. Wajah keduanya terlihat suram.
Endah menjelaskan kalau dia menelponku, tetapi tidak diangkat. Chat juga enggak dibalas. Dia menghubungi Asifa dan datang ke rumah. Namun, aku enggak ada di sana. Keduanya bingung, lalu berinisiatif mencariku di rumah sakit tempatku dirawat sebelumnya. Resepsoinis menemukan dataku sebagai salah satu pasien rumah sakit.
Asifa juga mengatakan, sebelum ke sini, mereka lebih dulu menemui dokter yang menanganiku. Jadi, mereka tahu alasan kenapa aku bisa dirawat lagi. Selain itu, mereka juga tahu aku sempat mengalami masa kritis dan kehilangan detak jantung.
Keduanya terus mendesakku agar memberitahu kenapa bisa nggak minum obat. Mereka sangat keras kepala. Jadi aku terpaksa bicara. Reaksinya, keduanya menjadi sangat meradang.
“Astaga, Zila! Gila ajah, lo! Lo lagi sakit tapi suami lo malah jenguk anak mantan. Udah gitu semalaman ngga pulang. Dan lo, lo nerima gitu ajah! Astaga! Astaga! Ubun-ubun gue mau meledak tolong!” Endah mengusap kasar dahinya.
Asifa menguncang bahuku agak keras. “Zi, kamu sebenarnya kena pelet apa gimana, sih?”
Aku kehilangan kata-kata menghadapi kemarahan mereka berdua. Mereka hanya kurang memahami situasinya. Aku bisa memakluminya. Jadi aku biarkan saja keduanya mengomel sampai puas.
“Zi, berarti kamu mengalami kritis malam kemarin?” Asifa menatapku dengan serius.
“Kemarinnya lagi, malam kemarin aku udah baikan.”
Asifa mengeluarkan ponsel, dia mengusap layarnya beberapa kali. “Coba kamu lihat!” Dia menyerahkan ponsel padaku. “Tanggalnya cocok, kamu down tiba-tiba sekitar isya. Nah, Sabrina nge-posting di Instagram jam segitu. LAGI PIKNIK DI RUMAH SAKIT!”
Aku mengerjap beberapa kali, menatap layar ponsel. Di sana tampak Sabrina sedang duduk di sisi brankar. Mas Nanda di sisi lainnya. Salsabila di tengah, menyandar ke tumpukan bantal. Ada banyak makanan di overbed table. Ada juga boneka beruang besar warna merah muda di ujung brankar. Ketiganya tersenyum dan tampak bahagia.
Caption: Cepat sembuh, Sayang. Kan udah dibeliin boneka dan buah-buahan sama super hero-nya kita.
“Ayo, dong, Zi! Buka mata kamu!”
Endah merebut ponsel, dia menganga.
Pikiranku kosong untuk sesaat. Seluruh tubuh seperti mati rasa. Senyuman bahagia Mas Nanda, entah kenapa terasa sangat mengganggu.
Aku membuka mulut, ingin membuat pembelaan. Namun, tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat. Jadi, hanya bisa mengatupkannya lagi.
Aku benar-benar merasa gelisah.
Kosong!
…