“Kamu terlalu memaksakan diri.” Komentar Afkar saat melihat Azula sudah rapi mengenakan seragam dan sarapan dengan wajah yang masih mengantuk. Yang dikomentari hanya memajukan bibirnya malas. Jelas saja, semalaman Azula tidak bisa tidur karena setiap memejamkan mata dan tertidur dia selalu didatangi mimpi buruk. Mimpi buruk yang selalu sama setiap dia mencoba membuka pintu. Sebenarnya itu bukan mimpi buruk tapi kenangan buruk yang terulang di mimpi Azula. Begitu nyata, suasananya, perihnya luka di tangannya yang terkena kaca sama persis dengan yang dialami Azula bertahun-tahun lalu. Azula menghela nafas, bagaimana dia bisa sembuh dari fobianya kalau mimpinya saja seperti itu.
“Azula nggak mau istirahat di rumah aja?” tanya Bunda yang wajahnya sama mengantuknya dengan Azula. Semalaman Bunda menemani Azula, menenangkan Azula yang berkali-kali terbangun sambil berteriak dan menangis. Dan jangan lupakan Ayah dan Afkar yang ikut panik, semalaman terjaga, keluar masuk kamar Azula sampai akhirnya tertidur di lantai kamar Azula. Azula baru tertidur dengan tenang pukul 4 pagi dan terbangun saat adzan subuh terdengar. Begitu pula dengan Ayah, Bunda dan Afkar yang ikut terbangun. Tapi karena sudah terbiasa, semuanya bangun kembali pada pukul 6 pagi dan melanjutkan aktivitas seperti tidak terjadi apa-apa semalam.
“Enggak Bunda, hari ini Azula ada ulangan matematika. Azula enggak mau ikut ulangan susulan.” Jawab Azula lalu memasukkan sesendok nasi ke mulutnya.
“Kenapa memangnya?” tanya Ayah mengerutkan keningnya penasaran.
Azula menelan nasi sesaat sebelum menjawab, “Soalnya beda ayah. Jadi lebih sulit. Mengerjakan ulangan sendirian di kantor guru juga enggak nyaman dan enggak bisa konsentrasi.”
Azula ingat saat Nana teman sekelasnya yang selalu punya nilai sempurna saat ulangan matematika itu pernah menangis di kelas karena nilai ulangan matematika susulannya mendapat 75. Ternyata setelah ditelusuri, soal ulangan matematika biasa dan susulan sangat berbeda tingkat kesulitannya. Sejak saat itu tidak ada yang pernah melewatkan ulangan matematika.
“Dan enggak bisa nyontek temen.” Sahut Afkar lalu disambut acungan jempol Azula yang akhirnya keduanya mendapat jitakan pelan dari Bunda.
“Kakak jangan ngajarin gitu dong sama adiknya!” Gerutu Bunda kesal. Ayah yang melihatnya hanya tertawa.
“Bercanda aja Bunda hehe.” Kata Afkar cengengesan.
Bunda tidak menanggapinya tapi beralih menatap Azula dengan tatapan jangan-ikutan-kakakmu. Azula cepat-cepat mengangguk. Bunda serem kalau menatapnya seperti itu.
“Azula berangkat ya Bunda, Ayah, Kakak.” Ucap Azula setelah menyelesaikan sarapannya, lalu mencium tangan Bunda, Ayah dan Kakaknya bergantian.
“Nanti habis ulangan matematika izin aja tidur di UKS sebentar, kamu kurang tidur soalnya.” Kata Ayah sambil mengacak pelan rambut Azula lalu tersenyum dengan sorot mata teduh, masih khawatir dengan kondisi anak gadis satu-satunya itu. Ayah tahu betul saat ini Azula sebenarnya masih belum stabil hatinya, masih ada ketakutan dari sorot mata Azula.
“Rencana Azula juga gitu, Ayah hehe.” Sahut Azula berusaha terlihat ceria dan baik-baik saja, tidak mau membuat Ayahnya khawatir.
“Kalau nggak enak badan mending langsung pulang aja nanti bunda jemput, oke? Semangat ulangan matematikanya!” berbeda dengan Ayah yang melow, Bunda menepuk bahu Azula dengan semangat.
“Iya Bunda, terima kasih.” Jawab Azula lalu mencium pipi Bunda. “Maaf ya Azula ngerepotin semalem. Jadi enggak tidur semua gara-gara nemenin Azula.”
“Enggak apa-apa sayang, itulah gunanya anggota keluarga. Saling menjaga dan menguatkan.” Bunda tersenyum hangat, begitu pula dengan Ayah dan Kakaknya. Azula ikut tersenyum, beban di hatinya meringan begitu saja. Azula sangat bersyukur mempunyai keluarga yang utuh dan rukun seperti ini.
“Ya udah yuk berangkat, Kakak anterin.” Kata Afkar bangkit dari duduknya dan meraih kunci mobil di atas kulkas.
Azula menatap kakaknya ragu-ragu, niatnya hari ini dia akan berangkat naik bus saja karena kakaknya itu kalau keadaan ngantuk jadi ngawur nyetir mobilnya.
“Jangan takut, Kakak udah minum kopi. Aman.” Kata Afkar seperti bisa membaca pikiran Adiknya itu.
“Awas aja kalau Kakak ngantuk. Azula bakal langsung turun.” Ancam Azula.
“Iyaaaa. Nggak percaya banget sih sama kakaknya sendiri.” Gerutu Afkar sebal.
“Hati-hati ya, terutama kamu Afkar.” Kata ayah sebelum kedua anaknya meninggalkan ruang makan.
“Iya Ayah... separah itu kah Afkar kalau nyetir?” tanya Afkar sedih.