Azula

NuBy
Chapter #9

9 - Sebut Namaku

“Ini dia!” Runa berseru lega saat menemukan sebuah kotak berwarna cokelat yang dia cari berjam-jam di gudang rumahnya. Pemuda itu membersihkan debu yang menempel hampir di seluruh permukaan kotak itu, sedetik kemudian dia bersin, entah untuk yang ke berapa kali sejak dia memasuki gudang rumahnya itu. Sepertinya Runa harus membersihkan gudang dalam waktu dekat ini sebelum debunya tambah banyak.

Buru-buru Runa keluar dari gudang dan menuju ke kamarnya. Dengan hati-hati Runa membuka kotak yang sudah hampir dia lupakan keberadaanya itu. Runa menahan nafas saat isi dari kotak itu terlihat masih sama seperti terakhir dia menyimpannya di gudang, aroma kayu yang sudah lama menguar, membuat bulu kuduknya meremang. Tangannya agak bergetar ketika mengambil sebuah foto berpigura kayu. Rasa rindu yang sudah tidak ada penawarnya itu semakin meluap dari hati Runa.

Runa tersenyum pahit melihat foto lama itu, foto ketika dirinya masih berusia sekitar dua tahun. Keluarganya masih lengkap, masih ada ayah dan ibu, kakak dan adik perempuannya yang terlihat menggemaskan di foto itu.

Runa terisak begitu saja, perasaan yang sudah lama dia pendam membuncah tanpa bisa dicegah, menusuk-nusuk hati Runa. Runa merasakan sedih dan kecewa yang sangat dalam terhadap keluarganya, terutama terhadap kedua orang tuanya yang Runa anggap tidak bisa menjaga keutuhan keluarga mereka. Runa pikir dia sudah bisa mengatasi rasa kecewanya karena kejadian hancurnya keluarganya sudah terjadi sangat lama, tapi dia salah. Rasa sakit itu masih tetap sama. Salahkah kalau Runa selalu berharap semua bisa kembali seperti semula seperti keadaan di foto ini?

Sejak menolong Azula di rooftop tadi, entah kenapa Runa bisa melihat dirinya dalam diri Azula. Gadis itu memang terlihat ceria dan judes, sikapnya menunjukkan kalau hidupnya baik-baik saja tapi sebenarnya Azula itu sangat rapuh, tatapan matanya menyimpan kepedihan yang hanya bisa dilihat oleh orang yang punya kepedihan yang sama. Karena itu tiba-tiba emosi Runa dari masa lalunya keluar begitu saja terpancing Azula. Gadis itu menderita, sama sepertinya.

***

Bagi Azula sekolah terasa lebih menyenangkan berkali-kali lipat saat Pekan Olahraga Sekolah sudah dekat. Pelajaran hanya berlangsung sebentar lalu siswa-siswi diizinkan untuk berlatih. Azula sangat bersemangat hari ini. Dia mendaftar hampir di semua lomba yang diadakan saat POS nanti. Sebenarnya Azula ingin mengikuti semua lombanya, tapi Alin menggagalkannya.

“Jangan berlebihan please!” omel Alin waktu itu dengan wajah judes saat mengetahui ada banyak nama Azula di daftar peserta lomba. Kalau sudah begitu mau tidak mau Azula menurut. Walaupun Alin bertubuh kecil tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kekuatan dan kekuasannya sebagai ketua kelas. Bahkan cowok-cowok kelas 2-7 yang kebanyakan usil dan susah diatur itu tidak bisa membantah perintah Alin.

Setengah berlari Azula menuju lapangan khusus untuk kegiatan outdoor klub archery  yang bersebelahan dengan gedung olahraga. Dia baru saja selesai latihan maraton, tapi tenaganya masih full untuk latihan memanah. Begitu sampai di tempat latihan, Reno sudah menunggunya.

“Jangan lupa pemanasan, kalau tangan kamu kram aku enggak tanggung jawab.” Ucap Reno sambil menyerahkan peralatan memanah pada Azula. Kebetulan mereka mewakili kelas 2-7 untuk lomba panahan. Sebagai teman sekelas dan sesama anggota Klub Archery Reno sudah hafal kelakuan Azula. Gadis itu kalau sedang terlalu bersemangat seperti ini sering lupa pemanasan.

“Aku udah pemanasan tadi waktu latihan lari maraton.” Jawab Azula sambil memakai sarung tangannya, bersiap untuk berlatih.

Reno hanya menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban Azula. Kalau dalam kartun Avatar, Azula adalah pengendali api dan petir, sedangkan Azula kelas 2-7 adalah pengendali kalori. Gadis itu seperti tidak punya rasa capek kalau menyangkut kegiatan outdoor seperti ini.

Azula sudah siap, dia mulai menarik tali busur, mengarahkan anak panahnya pada target face yang berjarak tiga puluh meter darinya dengan fokus penuh. Azula menyukai olahraga panahan lebih dari olahraga lain. Baginya saat memanah waktu seakan berhenti berputar untuknya saja, Azula merasa tenang, karena tak ada waktu untuk hati dan pikirannya kembali ke masa lalunya. Tepat sebelum Azula melepas anak panahnya, seseorang menepuk bahunya, membuat konsentrasi Azula pecah. Anak panah itu melesat jauh bukan ke target face tapi ke semak-semak. Azula melotot marah lalu menoleh untuk melihat siapa yang mengganggunya.

“YAA! Siapa-“ Azula seketika kicep ketika melihat Runa tersenyum tanpa dosa sambil melambaikan tanngannya pada Azula. Sebenarnya Azula ingin mencakar wajah Runa yang sudah tanpa perban di mata kirinya itu, tapi mengingat Runa sudah menolongnya kemarin, dia jadi menahan diri.

“Ikut aku bentar.” Kata Runa lalu berbalik dan mulai melangkah menjauh.

Azula berdecak. Mau tidak mau mengikuti Runa. Latihannya jadi terganggu karena pemuda yang menurutnya tengil tapi baik itu. Runa menghentikan langkahnya ketika mereka berdua sampai di taman samping rumah kaca. Azula mengerutkan alisnya, tidak paham kenapa Runa membawanya kesini. Taman ini sebenarnya adalah spot favorit cowok-cowok SDHS kalau mau nembak karena suasana di taman ini sangat indah dengan puluhan bunga hortensia yang tumbuh dengan lebat seperti sekarang ini. Azula mendadak gugup. Jangan bilang kalau Runa mau...

“Kamu sehat kan?” tanya Runa.

“Hah?” Azula tampak tidak mengerti dengan pertanyaan basa-basi Runa.

“Kayaknya emang sehat, mukamu judes enggak pucet kayak kemarin.” Ucap Runa menyinggung kejadian di rooftop. Azula menatap Runa datar. Apa-apaan tadi dirinya memikirkan yang tidak-tidak.

“Terima kasih udah nolong aku waktu itu.” Ucap Azula dengan tulus.

Runa menggangguk, “Aku juga berterima kasih karena kamu juga sudah menolongku. Kalau waktu itu kamu enggak nolong aku mungkin hari ini aku nggak bisa di sini karena patah tulang.”

Lihat selengkapnya