Ada satu tempat di sekolah yang akan dikunjungi Emily kalau dia sedang sedih. Belakang gedung auditorium. Tempat itu sangat sepi karena merupakan ujung dari SDHS dan berhadapan dengan lahan yang ditumbuhi banyak pohon. Tidak ada yang mau berlama-lama di belakang gedung auditorium karena suasananya yang agak seram. Tapi tidak bagi Emily, baginya tempat ini sangat nyaman untuk mencurahkan seluruh emosinya.
Emily duduk memeluk lutut, bahunya bergetar karena menangis. Dia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, padahal tadi pagi semua baik-baik saja. Runa bahkan baru saja menyelesaikan rencana kegiatan festival ulang tahun sekolah bulan depan. Ini semua memang karena keegoisannya.
“Kamu lagi donor darah ke nyamuk Ly?” tahu-tahu Runa sudah berjalan mendekati Emily. Tidak sulit bagi Runa menemukan di mana Emily karena dia sudah hafal kebiasaan sahabatnya itu.
Emily menatap Runa kaget lalu langsung memalingkan wajahnya, dia tidak sanggup menatap Runa. Aroma parfum yang selalu Runa gunakan tercium saat pemuda itu ikut duduk di sampingnya yang sontak membuat Emily berdebar-debar. Gadis itu mendegus pelan, dia heran di saat keadaannya tidak baik seperti ini dia masih berdebar-debar karena Runa.
“Maaf, aku mendadak keluar dari OSIS tanpa ngasih tahu kamu lebih dulu.” Kata Runa merasa bersalah kepada Emily.
Emily menggelengkan kepala lemah, “Enggak, aku yang minta maaf.”
“Kamu enggak salah kenapa minta maaf?” tanya Runa sambil menatap Emily heran.
Emily mengambil nafas panjang lalu memberanikan diri membalas tatapan Runa, “Sebenarnya aku yang melaporkanmu dan Azula ke Pak Haris.” Emily mengakui kesalahannya, gadis itu menggigit bibir ketika dilihatnya Runa terkejut dan menatapnya tidak percaya. Sepertinya setelah ini Runa akan sangat membencinya.
“Kenapa kamu melakukannya?” tanya Runa tanpa melepas tatapannya dari Emily.
Emily memalingkan wajahnya lalu menatap daun pepohonan yang jatuh tertiup angin. “Bukannya sudah jelas tanpa kamu tanya lagi jawabannya padaku?” Sahutnya lalu kembali menatap Runa. “Apa kamu masih mau punya adik sejahat aku, Runa?” sindir Emily.
Runa tersentak dengan pertanyaan Emily, untuk sesaat Runa tidak bisa berkata apa-apa. “Kamu... dengar pembicaraanku dengan Dirga?” tanya Runa akhirnya.
“Iya.” Jawab Emily singkat, “Aku kesal mendengarnya.” Lanjutnya tanpa ragu mengeluarkan unek-uneknya. “Aku iri dengan Azula yang hanya dalam hitungan hari saja sudah mencuri semua perhatianmu. Sedangkan aku yang bersamamu selama lebih dari empat tahun hanya kamu anggap sebagai adik.” Emily menertawakan dirinya sendiri, “For your information ya, Runa, aku nggak mau punya kakak kayak kamu!”
Runa menghela nafas, bingung harus menanggapi dengan bagaimana kata-kata Emily. Dia juga merasa bersalah pada gadis yang selalu bersamanya selama empat tahun ini. “Aku mi-“
“Jangan minta maaf, kamu membuatku semakin terlihat mengenaskan.” Potong Emily cepat.
“Kamu adalah sahabat terpenting dalam hidupku Emily, tidak ada yang bisa menggantikan posisimu. Aku sangat bersyukur mempunyai sahabat sepertimu. Terima kasih sudah pindah ke Indonesia dan menemaniku sampai saat ini.” Ucap Runa dengan tulus.
Emily tersenyum kecil mendegarnya, perlahan-lahan tangisnya pecah lagi karena merasa bersalah kepada Runa, “Maaf.” Ucapnya di sela-sela isakan tangisnya.
“Udah, jangan dipikirkan lagi.” Runa menepuk-nepuk pelan kepala Emily dan tetap menemani Emily mengeluarkan emosinya.