Di hari wisuda ini, ayah dan ibuku datang dari Makassar. Tepatnya, sehari sebelum wisuda. Inilah hari yang aku nanti-nantikan, setelah sebelumnya melewati perjuangan dan perjalanan panjang yang melelahkan di balik tembok kedinasan. Iya, pendidikan selama kurang lebih empat tahun yang aku jalani berbalut sistem semi-militer. Aku lulus SMA di tahun 2015 untuk masuk Politeknik Ahli Usaha Perikanan atau Poltek AUP Jakarta, salah satu sekolah kedinasan di bawah naungan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP-RI). Tepat di hari ini, 26 Agustus 2019 gelar sarjana itu telah resmi menjadi bagian dalam pelengkap namaku, Muhammad Azzam Rifai, S.Tr.Pi. Ucapan selamat sebagai tanda kebahagiaan datang dari berbagai pihak, diriku pun sangat mensyukuri akan hal itu. Momen perpisahan di lapangan setelah melewati pasukan pedang pora taruna yang menjadi saksi bisu setelah prosesi sakral di dalam aula. Hingga diri ini terus berpikir agar memantapkan langkah ke depannya. Pascaprosesi dalam kampus, aku pun mengantar keluargaku kembali ke penginapan.
“Nak, jadi keputusan selanjutnya bagaimana? Apakah kamu mau kerja dulu atau bagaimana?” ucap ayah dengan nada khas Makassar kepadaku terkait keputusan yang aku ambil setelah lulus dari sekolah kedinasan ini.
“Masalah itu sudah aku sampaikan kepada ibu, Yah. Bahkan dari penelitian kemarin. Setelah lulus, aku masih ingin melanjutkan studi S2-ku. Namun aku ingin mandiri, tapi aku harus kursus dulu, Yah supaya bisa dapat beasiswa. Aku ingin mengejar cita-citaku sebagai dosen dan peneliti bidang kelautan dan perikanan, Yah.” jawabku dengan nada pelan di depan ayah.
Ibu berada di sampingku. Ibu hanya menatapku dengan tatapan penuh cinta. Aku yakin, ibu sudah setuju dengan apa yang aku sampaikan pada ayah.
“Apakah itu sudah kamu pikirkan, Nak? Apakah rencanamu itu sudah matang?” tanya ayah kembali dengan volume suara yang sedikit dinaikkan.
“Iya, Yah. Sudah Azzam pikirkan dengan matang. Bahkan target untuk lokasi kursus pun sudah Azzam cari, itu di Pare, Kampung Inggris Kediri, Yah. Azzam berangkat setelah urusan Azzam selesai dengan kampus.” aku pun terus berusaha untuk meyakinkan ayah atas langkah ke depan yang akan aku ambil.
“Memangnya rencana kamu pengen daftar beasiswa apa, Nak?” ayah kembali bertanya.
“Azzam pengen daftar LPDP, Yah. Nanti Azzam masuknya di jalur afirmasi, berhubung Azzam juga kan lulusan Cum Laude di kampus, IPK 3,89. Jadi menurut Azzam, itu salah satu senjata buat daftar beasiswa, Yah. Kekurangan Azzam di bahasa. Azzam belum dapat nilai TOEFL, jadi Azzam harus kejar itu, Yah.” aku pun terus berusaha untuk meyakinkan ayahku.
Rencana ini memang sudah aku susun, bahkan saat menjelang sidang skripsi kemarin. Keinginan untuk melanjutkan pendidikan setelah lulus sarjana memang sangatlah kuat ditambah lagi dengan dorongan beberapa dosen di kampusku, termasuk dosen bimbing skripsiku. Bagi mereka, aku punya peluang besar dalam mengembangkan ilmu perikanan yang telah aku miliki. Bahkan niat ini tidak tanggung-tanggung. Aku mengincar Eropa untuk studi pendidikan selanjutnya. Lebih tepatnya Wageningen University and Research (WUR) Netherland. Tentu ada alasan kuat kenapa diriku menginginkan WUR untuk melanjutkan studi di sana. Selain memiliki bidang Aquaculture dan Marine Resource Management yang sejalan dengan konsentrasi pendidikan sebelumnya, aku pun yakin sebagai universitas terbaik nomor 1 bidang pertanian dan kehutanan di dunia pada tahun 2019 menurut Quacquarelli Symonds (QS) World University Rankings ini, bisa melatih keterampilanku dalam bidang akuakultur itu sendiri. Aku pun akan memiliki kesempatan untuk belajar banyak hal dengan cara yang lebih profesional dalam suasana internasional.
Namun kendala terbesarku ada pada bahasa. Aku belum lihai dalam bahasa Inggris. Selain bukan bahasa ibu, dalam keseharian pun aku jarang bahkan sangat jarang untuk menggunakannya. Nah, oleh karena itu, aku putuskan ke Pare untuk kursus bahasa Inggris dan sebagai target akhir dari tujuan di Pare adalah lulus LPDP 2020.
Aku pun bertanya balik kepada ayah “Jadi, bagaimana, Ayah?”
Aku sangat berharap ayah menyetujui permintaanku ini. Bagiku, diriku masih haus dengan ilmu. Pendidikan sarjana belum cukup untuk menunjang cita-citaku menjadi seorang dosen sekaligus peneliti.
Ayah pun memberikan tanggapan, sembari aku melihat ayah yang sedang memikirkan terkait apa yang disampaikan oleh anaknya ini.
“Baiklah, Nak. Ayah serahkan sepenuhnya hal itu kepadamu. Ayah yakin, kamu sudah dewasa. Umurmu pun sudah 22 tahun, kan? Bukan anak kecil lagi yang harus ayah gendong kemana-mana. Tapi, ingat! Saat di Pare nanti kamu harus belajar sungguh-sungguh, jaga nama baik keluarga, dan jangan tinggalkan salat!” ucap ayahku.
Syukurlah ayah mengizinkanku untuk berangkat ke Pare. Ini jawaban yang kunanti-nanti. Walau ada sedikit penekanan di belakang ucapan ayah namun bagiku itu dalam bentuk nasihat sebagai orang tua yang bertanggung jawab.
Ayah pun melanjutkannya, “Terus, bagaimana menurut ibu?”
Ayah pun bertanya kepada ibu yang berada di sampingku. Sambil memelukku, ibu pun menjawab pertanyaan ayah.
“Kalau ayah udah setuju, ibu juga setuju. Bagaimanapun juga ini untuk masa depan Azzam kan, Yah? Ibu sangat yakin Azzam sudah bisa bertanggung jawab dengan dirinya sendiri. Intinya jaga diri Azzam baik-baik yah, kalau sudah di sana!” ucap ibuku.
Nah, sangat bijak pernyataan ibu terhadap diriku. Jawaban ini juga yang aku tunggu-tunggu.
Bagiku, jika restu kedua orang tua telah aku dapatkan, maka aku yakin, jalan yang aku tempuh akan terasa lebih mudah. Layaknya saat kuliah kemarin. Hehehe…
“Terus untuk tanggalnya, kapan kamu ke sana, Nak?” ibu pun kembali bertanya.
“Aku rencananya berangkat sebelum tanggal 25 bulan depan, Bu. Soalnya berkas-berkas di kampus aku mau tuntasin dulu termasuk ijazah.” jawabku sambil menatap wajah ibu.
“Baiklah, Nak. Intinya sebelum berangkat ke sana kabari ayah atau ibumu, yah. Jangan lupa!” ucap ibuku.
“Baik, Bu. Pasti Azzam akan kabari ayah dan ibu kalau Azzam sudah mau berangkat ke Pare.” Jawabku.
Aku pun lalu memeluk ayah dan ibu, saking senangnya mendengar jawaban dari mereka berdua. Bagiku, benar-benar berkah dan nikmat yang besar memiliki orang tua seperti mereka berdua.
***
Sehari setelah pelaksanaan wisudaku ayah dan ibu pun kembali ke Makassar. Aku pun mengantar ayah dan ibu ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Teriknya matahari menghiasi perjalanan kami dari daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan menuju bandara di Tangerang, Banten. Kami berangkat setelah makan siang. Keberangkatan ayah dan ibu ke Makassar sekitar jam lima sore. Aku pun sudah memperkirakan bahwa ayah dan ibuku akan sampai di sana sekitar jam delapan malam waktu Makassar. Jadi, aku pun membelikan ayah dan ibu makanan di jalan supaya bisa dimakan di atas pesawat.
Senja di Tangerang mengakhiri kisahku bersama dengan keluarga di hari ini. Aku pun melepas mereka dengan penuh kebahagiaan sekaligus kesedihan. Senangnya, aku sudah sarjana dan wisudaku dihadiri oleh mereka plus dengan prestasi yang membanggakan. Sedihnya karena aku harus melepas dan berpisah kembali dengan mereka. Kami hanya bersama di Jakarta sekitar tiga hari saja. Benar-benar dalam waktu yang sangat singkat. Tapi, tak mengapa. Intinya pesan dan petuah dari orang tua yang tetap berada dalam sanubariku agar tidak terlukis kecewa di kemudian hari.
Aku pun kembali ke penginapan. Di perjalanan pun aku terus mengingat momen-momen kemarin, khususnya saat meminta restu orang tua untuk kursus di Pare. Sembari dengan itu, aku terus bertanya-tanya dalam hati terkait dengan Pare. Selama ini, aku hanya melihat Pare sebatas di media sosial saja atau mendapatkan informasi dari orang-orang yang pernah ke sana. Hematku, aku akan bisa berbicara menggunakan bahasa Inggris dalam waktu cepat jika sudah berada di tempat itu.
Aku pun tidak ingin bermalas-malasan lagi. Tanggung jawab besar selanjutnya telah menanti. Hingga kurang dalam waktu sebulan pascawisuda semua urusan di kampusku pun selesai. Aku sudah bisa lebih tenang untuk melanjutkan belajar di sana. Bahkan sepekan sebelum berangkat ke Pare aku sudah mendapatkan lembaga kursus yang bisa aku tempati belajar dan itu berawal dari materi-materi dasar. Syukurnya lagi ada diskon 50% yang dikeluarkan oleh pihak lembaga kursus, sehingga aku bisa lebih hemat lagi. Aku sangat sadar bahwa diriku tidak mendapatkan pendidikan gratis lagi plus fasilitas gratis termasuk makan dari negara, kondisiku sekarang sudah menjadi alumni kedinasan.
Di malam keberangkatanku, teman sekamar waktu di asrama kemarin menelepon. Namanya Reza, bahkan Reza ini sudah paham betul dengan diriku saat menjadi taruna di asrama.
“Azzam, kamu jadi ke Pare?” tanya Reza.
“Iya, Za. Rencananya besok sore aku berangkat. Emangnya kenapa?” aku pun bertanya balik padanya.
“Ada teman ke stasiun nggak?” Reza pun kembali bertanya.