20 Agustus 2019
“Ma, Nathalia mana?” tanya papa ke mamaku.
“Tuh, Pa. Masih di kamar?” jawab mama.
“Anakmu tuh nggak mikir masa depannya apa?” tanya papa kembali.
“Maksudnya papa apa?” mama pun bertanya balik.
“Iya, loh mah. Nathalia itu bentar lagi udah mau masuk 22 tahun, dia juga sudah wisuda kemarin. Lah, masak nongkrong aja kerjanya sama teman-temannya.” ucap papa ke mamaku.
“Panggil anakmu tuh, Ma!” tegas papa ke mama untuk memanggilku di dalam kamar.
Aku pun dikejutkan di pagi ini, dengan sikap kedua orang tuaku.
“Nathalia, Nak! Bangun, Nak! Udah siang ini, papa sama mama mau ngobrol.” mamaku pun mengetuk pintu kamarku dengan lembutnya.
“Nak, ayok, bangun!” lanjut mama.
“Mmm… Dalem, Ma.” Jawabku dengan halus kepada mamaku.
“Papa sama mama tunggu kamu di meja makan yah, Nak.” instruksi mama padaku di balik pintu kamar.
“Iya, Ma.” Jawabku kembali.
Aku pun bangun lalu mencari HP-ku, ternyata jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku juga baru ingat, ternyata ada janji untuk ibadah pagi dengan sahabat baikku saat kuliah di UNS kemarin.
“Astaga, ini kan hari Minggu. Aku punya janji sama Lia untuk ke gereja hari ini.” seketika aku kaget melihat jam di HP-ku.
Dengan tergesa-tega aku lalu menelepon Lia, “Lia, sorry ya aku kayaknya ikut ibadah malam deh. Aku baru bangun ini, papa dan mamaku juga mau ngobrol. Malahan, sekarang aku udah ditungguin di atas meja makan. Nggak apa-apa, kan?” tanyaku pada Lia.
“Hmmm… Kamu toh, kebiasaan. Bangun lah, Thal (Nathalia). Ini udah jam berapa, kata orang anak cewek tuh harus bangun pagi tau! Awas loh rezekimu dipatok ayam! Mau kamu!” ucap Lia dengan tegasnya kepadaku.
Dia memang sahabat terbaikku yang selalu menegurku ketika salah. Bahkan saking baiknya Lia, setiap tugas-tugas di kampus yang bagiku susah, dia malah dengan senangnya membantuku. Kami memang satu fakultas di hukum, bedanya orang tua Lia, dua-duanya orang asli Sunda sedangkan diriku campuran dari garis keturunan Toraja-Solo.
“Hehehe… Maaf, maaf. Kamu tahu sendiri kan selama satu bulan ini aku kayak nggak nentu gitu. Abis wisuda kemarin bawaanku mager (malas gerak) terus di kamar.” jelasku pada Lia terhadap apa yang kualami sekarang.
“Yoweslah. Nanti kita ngobrol lagi, aku jemput sore yah! Kita ibadah bareng aja, aku juga belum ke gereja kok.” dengan baiknya Lia masih mau menemaniku hari ini ke gereja.
“Nah, gitu dong. Emang sahabat baik aku nih, hehehe…” aku kembali memujinya.
“Aku matiin, yah.” ucap Lia.
“Oke.” jawabku.
***
“Kemana anakmu nih, Ma?” tanya papa kembali ke mamaku.
Aku pun dengan buru-burunya menghadap mereka berdua.
“Hehehe… pagi papa, pagi mama.” aku lalu menyapa kedua orang tuaku seakan-akan tidak ada masalah.
“Pagi.” jawab papaku dengan nada datar.
“Pagi, Nak.” jawab ibu dengan halusnya.
“Sekarang udah jam berapa, Nak?” tanya papa kepadaku.
“Hehehe, jam berapa yah, Pa?” aku pura-pura tidak tahu terkait waktu sekarang. Walaupun sebelum berada di atas meja makan ini, aku sempat melihat jam yang seketika membuatku kaget karena bangun kesiangan plus ada janji yang belum aku tepati.
“Udah pagi, Pa.” jawabku sambil senyam-senyum menanggapi pertanyaan papa.
“Iya, Nak. Papa juga tahu kalau ini sudah pagi. Kamu sarapan dulu.” papa pun menyuruhku untuk sarapan pagi.
Lanjut mama, “Iya, Nak. Ini mama udah buatin nasi kuning kesukaan kamu, plus teh manis anget. Kamu pasti suka, kan?”
“Wah, ini mah kesukaan Nathalia, Ma.” jawabku dengan sangat senangnya.
Bagiku benar-benar nikmat tinggal di rumah dan tanpa ada beban lagi dengan kuliah.
“Mmm… enak, Ma.” ucapku sambil mencicipi nasi kuning buatan mama.
“Jadi, rencana kamu ke depannya apa, Nak?” Lanjut papa bertanya kepadaku.
Aku pun diam sejenak di depan kedua orang tuaku. Aku juga masih berpikir. Wajar saja, aku baru bangun tidur, masalah ini pun belum aku pikirkan.
Selang beberapa detik, papa melanjutkan pertanyaannya. “Kamu pengen nikah?”
Seketika membuatku kaget, benar-benar kaget. Makanan yang ada dalam mulutku hampir saja keluar di depan papa.
“Uhuk, uhuk, uhuk, kenapa, Nak? Kenapa?” Tanya mama padaku.
Aku lalu meminum teh hangat buatan ibu, “Huh… huh… Panas, Ma.”
Aku benar-benar lain hari ini, sudah ditanya papa dengan pertanyaan aneh, terus batuk lagi, dan hampir saja makanan dalam mulutku ini tumpah di depan wajah papa, ehh tehnya masih panas. Lidahku juga bergoyang dibuatnya.
“Nggak, ma. Nggak. Tehnya mamah ini loh, masih panas.” jawabku ke mama dengan sedikit manja.
“Yah, wajar toh, Nak. Itu kan masih hangat. Diamin bentar dulu.” ucap mama kepadaku.
“Gimana, Nak?” tanya papa kembali.
“Jadi, gini, Pa…”
Belum selesai aku menjawab pertanyaan papa, papa pun kembali melanjutkan ucapannya.
“Kalau kamu pengen nikah saja, nanti papa coba cariin cowok ganteng. Papa juga pernah lihat kok, cowok Jawa di perumahan sebelah. Papa sama mama biasanya ketemu kalau mau ke gereja.” lanjut papaku serius.
“Aduh apa-apaan ini? Masak papa sama mama mau jodoh-jodohin aku sih ama cowok perumahan sebelah. Kayak zaman Siti Nurbaya aja.” ucapku dalam hati. Batinku seakan-akan memberontak, akan tetapi sopan santunku tetap aku jaga di depan orang tuaku.
“Hehehe… Nathalia belum kepikiran ke sana toh, Pa. Tega papa yah, jodoh-jodohin anaknya sama cowok lain. Emangnya nanti kalau Nathalia nggak bahagia dibuatnya, terus siapa dong yang mau bertanggung jawab?” tanyaku kepada papa.
Mama pun bertanya kepadaku, “Terus kamu pengen nikah sama siapa, Nak?”
Mama juga masih dengan pertanyaan aneh ini.
Aku pun juga sadar sudah dua bulan ini aku tidak ada hubungan dengan cowok lagi. Sebelum wisuda kemarin aku sudah putus dengan Albert. Bagiku benar-benar menyakitkan, aku dikhianati di depan mataku sendiri. Dia jalan dengan cewek lain. Padahal aku sudah percaya mati-matian dengannya, bahkan hubunganku sudah mau berjalan setahun.
“Nathalia belum mau nikah, Pa, Ma.” jawabku dengan sedikit kesal karena dalam ingatanku terlintas wajah Albert. Ini karena kedua orang tuaku menanyakan terkait dengan nikah.
“Terus hubunganmu dengan Albert kemarin gimana?” tanya mama dengan polosnya.
Ini nih, yang membuatku tambah malas. Udah nanya nikah, eh malah nanya lagi tentang Albert.
“Putus, Ma.” jawabku singkat.
“Kok bisa, Nak?” tanya mama kembali.
“Biasa, Ma. Tau sendiri cowok gimana? Ada yang bening dikit aja, langsung sikat!” ucapku dengan sedikit kesal. Sambil menusuk-nusuk makanan di depanku. Aku benar-benar kesal, ditambah mama mengingatkanku kembali dengan Albert.
“Maksud kamu, Nak?” Ehh, mama malah nanya lagi.
“Udah sih, Ma. Nathalia nggak mau bahas itu lagi. Intinya hubunganku dengan Albert udah berakhir, nggak mau kan, Pa, Ma, lihat anakmu ini sakit hati lagi?” aku pun dengan sedikit kesal menjawab pertanyaan mama. Walaupun dalam hatiku menyesal telah melakukan ini. Aku selalu berusaha untuk menjaga sikapku di depan kedua orang tuaku. Bagaimanapun juga mereka adalah cinta pertamaku di dunia ini.
“Iya, Nak. Mama nggak akan nanya lagi, kok.” ucap mama.
“Gitu dong, Ma. Nathal kan bisa sedikit lebih tenang, kalau gitu.” ucapku pada mamaku.
“Namanya mantan yah tetap mantan!” kesalku dalam hati.
“Nathal masih pengen nikmatin hidup, Pa, Ma. Baru juga sebulan wisuda. Nathal itu capek kemarin pas kuliah. Udah ambil hukum, Nathal juga cewek kan.” aku pun kembali memanjakan diri di depan mereka berdua.
“Mau sampai kapan, Nak?” tanya papa.
“Yah, sampai Nathal benar-benar bisa move on, Pa dari kampus Nathal.” jawabku.
“Enggak bisa gitu dong, Nak. Kamu ini harus nentuin sikap. Nathal ini udah dewasa, umurmu juga sudah mau masuk 22 tahun, kamu juga udah sarjana, masak nggak aja tujuan yang jelas sih, Nak?” tanya papa kembali dengan mencoba memberikan pemahaman kepadaku.
Seketika aku pun berpikir dengan ucapan papa yang ada benarnya juga. “Iya, ya, Pa. Umur Nathal udah mau masuk 22.”
“Iya, Nak. 25 Desember nanti umurmu itu udah masuk 22 loh.” ucap mama kepadaku.
“Benar juga, ya.” pikirku dalam hati.