2010. Jakarta
Orang bilang aku aneh. Namun aku tidak merasa begitu. Bahkan, tidak ada yang luar biasa dariku. Kau boleh tidak percaya pernyataanku. Tapi kalau kau punya waktu untuk membaca, inilah kisahku.
Namaku Burhanuddin. Orang memanggilku Brodin. Tapi aku lebih suka dipanggil B. Be.
Aku tidak suka dipanggil Burhan, Udin, apalagi Din. Seorang sesepuh di desaku pernah bilang kalau Burhan itu bermakna bukti. Jadi, aku mestinya merupakan bukti bahwa Tuhan menunjukkan kebenaran pada hamba-Nya yang terpilih.
Masalahnya, aku tidak merasa hidupku sebaik arti namaku. Jika nantinya kau selesai membaca ceritaku ini pun, aku yakin tidak kau temukan hal baik itu dariku.
Aku juga tidak suka dipanggil Udin, apalagi Din. Jika diulang beberapa kali terasa seperti klakson mobil. Di telingaku itu seperti ejekan. Din, din, din. Sungguh kurang ajar pula jika anak-anak memanggilku demikian.
Hidupku dipenuhi dengan suara perut berontak, napas bau, dan tubuh-tubuh kurus dengan tulang menonjol dari balutan kulit. Sejak lahir, kurasa yang kuhirup pun hanya udara kemelaratan yang mengambang. Hal itu menyesakkan dadaku. Maka jangan kaget, jika kau memanggilku Din berulang-ulang, aku merasa kau tengah memburuku dengan kemewahan yang tak pernah kumiliki.
Jadi, panggil saja aku Be. Brodin. B!
Aku menyukai anak-anak. Di mataku, anak-anak merupakan hadiah terbaik. Dan aku selalu ingin mendapatkan hadiah-hadiah terbaik yang tidak pernah bisa kudapatkan.
Aku menyeringai setiap mengingat perkara hadiah terbaik. Di masa kecilku, aku tidak pernah mendapatkan apa yang kuinginkan. Jika hal sederhana saja tidak, apalagi hadiah.
Sebuah perayaan ulang tahun? Haha, apa itu?
Masalahnya, aku selalu ingat tanggal aku dilahirkan. Kadang aku mengutuk tanggal itu karena membuatku harus menjalani hidup panjang yang mengerikan. Tapi, bukankah aku juga berhak bahagia?
Jadi, setelah sedikit lebih tua dan mengerti, aku selalu merayakan ulang tahunku dengan mencari hadiah terbaik. Hadiah yang kuinginkan. Perayaan yang kulakukan dengan cara yang kukehendaki. Sesuatu yang kulakukan karena menuntaskan hasrat terdalamku: sebuah perayaan.
Perayaan ulang tahunku tahun lalu, sialnya, menjadi perayaan terakhir. Tahun ini, aku tidak bisa melakukan ritual perayaan itu lagi. Semua itu karena Indra.
Aku jadi teringat percakapanku dengan Indra menjelang ulang tahunku setahun lalu. Aku sedang duduk di kursi reot yang ada di rumah kontrakan kami yang kumuh. Aku memandangi ruangan yang khas dengan penderitaan dan kekurangan uang itu saat Indra tiba-tiba bersuara. “Beh, bentar lagi kan mau ulang taon ….” Kata-kata Indra terhenti. Kami bertatapan.
Pada saat itu, sebuah bajaj melintas. Suara knalpotnya mengganggu. Belum lagi teriakan penjual kerak telor yang berpapasan dengan bajaj itu di depan gang. "Et dah, bujug buneng. Itu mata ape tempelan daki?! Kagak liat ape jalan sempit begini main lewat-lewat di sini?"
Supir bajaj menanggapi protes penjual kerak telor dengan mengklakson. Tawanya terdengar membahana lalu akhirnya lirih disapu angin.
Kuamati badan Indra yang kurus dan kulit gelap disengat matahari itu. Aku suka matanya yang kelam. Bibirnya tipis dan sedikit kering. Jemarinya yang kasar itu menunjukkan bahwa dia melakukan berbagai pekerjaan yang tak sesuai dengan usia dan kemampuannya.