B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #3

Penuh Bencana

“Ayok, cepat!” Sipir tadi kembali dan menyeru dengan tegas.

Aku berdiri. Kudengar suara kemerincing kunci-kunci di tangannya itu disusul derit pintu terali besi yang lekas terbuka. Sekarang sipir itu kembali ke tempatku. Ia bersama satu rekannya yang sedikit lebih pendek tetapi gempal. Wajahnya tidak sepucat tadi. Sepertinya ia mendapat energi tambahan dari rekannya.

“Sini, tanganmu!” Si pendek menyodorkan borgol, memasangkannya dengan sedikit paksa pada kedua tanganku. 

Aku memandangi wajah sipir muda itu. Kali ini aku benci sorot matanya. Wajah mudanya tampak puas. Aku mendengar dengus kecil. Ingin sekali kutumbuk mata dan hidungnya yang bangir itu agar ambles dan tak lagi nyolot.

Kami berjalan menyusuri sel. Tak ada suara. Hanya langkah kami yang memecah keheningan di lorong pengap berlantai ubin ini. Entah saat ini sore atau pagi, belum ada tanda-tanda yang bisa kubaca. Sepanjang di sini, aku buta akan waktu.

Aku masih berjalan, menunduk. Langkah kaki kedua sipir di belakangku susul-menyusul mengisi ruang. Kupandangi lantai ubin. Ia memantulkan bayanganku secara tak rata. Suara batuk-batuk dari seseorang terdengar datang dari jauh, menembus sela-sela jeruji hitam yang beberapa bagiannya dimakan karat. 

Sampai di belokan lorong, kedua sipir tadi menyuruhku berjalan terus. Mereka berdua masih menguntitku. Sesuatu yang kubenci, sebab selama ini aku yang selalu berada di belakang. Tetapi kini, punggungku serasa ditusuk dua pasang mata yang menatap hina. Aku yakin isi pikiran mereka penuh umpatan terhadapku sambil merasa diri paling bersih. Sialan.

“Eh, kau sempat dengar kerusuhan di makam Mbah Priok nggak?” Satu suara berlogat Batak terdengar olehku. 

“Yang bulan April lalu?” Sipir yang kubenci tadi kini membalas.

“Iya. Nah, itu kan, haduh mak ….” Kalimatnya terjeda. “Salah satu korban tewasnya itu adik iparku. Dia kerja di Satpol PP pas kerusuhan itu. Kan bentrok kan ... Mati dia. Nah, sekarang istrinya jadi tanggunganku, Bro.” Sipir yang gempal itu terdengar berkeluh. 

Mendengar kata “Bro” dari sipir gempal itu, aku tak bisa menahan kepalaku untuk tak menggeleng ke belakang. 

“Apa kau lihat-lihat?!” sergahnya dengan mata tajam. Kupalingkan muka ke depan lagi.

“Waduh, baru tahu aku.” Sipir yang kubenci tadi, membalas dengan gaya bicaranya yang medok mirip denganku, seperti mencoba bersimpati ke rekannya. 

“Ya, awalnya tentu sedih, ya, jadi pengen bantu. Tapi sekarang, lama-lama agak berat juga aku. Gaji kita kan, ya, kau tahu sendiri, lah. Mana anakku dua masih kecil-kecil lagi. Istriku tak kerja pula.” Nada bicaranya mendesah. 

“Iya, sih, Bang,” kalimatnya terhenti sejenak. Langkah kami kembali mengisi ruang. Kemudian ada suara terdengar lagi, “Aneh, ya, nggak tahu kenapa tahun-tahun belakangan ini kayak penuh bencana. Dua mertuaku meninggal juga, Bang, tapi September tahun lalu. Kena gempa gede yang di Padang.” Sipir medok yang kubenci ini ikut menyodorkan nasibnya.

“Mertuamu asli Padang? Baru tahu aku.” Sipir gempal menimpalinya.

Kudengar seperti suara gumam dari belakang. Mungkin sipir yang kubenci tadi sedang mengangguk-angguk. “Itu pas aku ke sana, Bang ... wah, itu ancur total bangunan-bangunan di sana. Istriku gimana nggak histeris, coba, ngelihat kampung halamannya hancur lebur hampir rata tanah gitu?”

Gumaman yang berbeda membalas si penutur. Suara kaki menendang lantai ubin terdengar di kupingku. “Memang aneh, ya, dua tahun ini. Tahun kemarin ada teroris ngebom hotel, siapa itu namanya … em top em top gitu lah. Terus gempa di mertuamu tadi itu, terus adik iparku mati juga gara-gara kerusuhan. Alamakjang, memang penuh bencana.”

Lihat selengkapnya