B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #4

Bulgur, Helikopter dan Tahun Merah

1965-1967. Magelang


Terus terang, sulit kulupa. Masa kecilku penuh dengan orang-orang lapar. Dan orang-orang lapar itu memenuhi bumi desaku.

Aku tinggal di sebuah desa di kaki bukit dengan terasiring hijau yang tampak subur. Namun, di masa itu kesuburannya seakan mandek. Desa ini seperti pak tua yang tidak lagi sanggup berjalan. Orang-orang seperti merangkak-rangkak dengan pipi tirus dan sorot mata yang tak lagi punya semangat hidup.

Di desaku, hari-hari adalah milik para petani. Dan orang tuaku adalah buruh mereka. Saat tahun-tahun yang sulit kulupa itu, sawah-sawah tidak menghasilkan apa pun kecuali wajah lesu. Ada yang gagal panen, ada yang gagal menjual hasilnya yang memang amat sedikit. Apalagi untuk kalangan rendah, pekerja upahan seperti bapak dan ibuku, kondisinya jauh lebih terpuruk. Samar-samar aku teringat perbincangan bapak dan ibuku. 

“Tinggal berapa sisa beras kita?” tanya bapakku.

Ibu hanya diam sesaat. Wajahnya tampak lemas. Kedua telapak tangannya kemudian menangkup. Bapak seketika paham.

“Lha iya, kondisi begini ini sampai kapan, yo, Pak? Orang-orang pada melarat. Tambah kere.” Kini suara ibu lepas dari mulutnya.  

Belum mendapat balasan dari suaminya, ibuku lanjut bertutur, “Tapi anehnya, Pak, itu bakul-bakul pada nggak kere, lho … malah tambah sugih. Tengkulak apalagi. Begitu kok ya nggak mbantu tetangga blas?! Malah bangun rumah gedong moblong-moblong.”

Nada kebenciannya sulit hilang dari kepalaku. Terutama di saat itu aku pun sedang lelah sehabis membantu bapak merumput untuk kambing juragan.

Kami tinggal di rumah gedhek berukuran sempit. Mungkin hanya dua kali sel tahanankuyang pengap itu. Bedanya lantai rumahku tak berubin. Masih tanah lempung yang sebelah sana sini tampak bergunduk-gunduk kecil dan tidak rata.

Aku ingat ketika stok makanan rumah kami nyaris amblas. Secara misterius, aneh sekali di tanah ini beras menjadi langka. Kata orang-orang waktu itu, “Pasokan menipis, lama-lama kita bisa mati konyol. Tikus mati di lumbung padi.” 

Apalagi keluargaku, yang tidak punya sawah sendiri, kontan menjadi golongan paling terdampak. 

“Kakangmu nggak pulang-pulang, gimana sekarang nasibnya, ya? Apa di Jogja dia masih bisa makan?” Ibu memecah lamunanku di lincak bambu depan rumah.

Aku hanya mengangkat bahu. Merasa malas menimpali pertanyaan tentang orang yang aku kutuk saban hari. Anak pertama sialan itu pamit bekerja beberapa tahun sebelumnya. Ah, aku yakin sejak awal dia memang berencana minggat, bukan bekerja. Dia ingin melimpahkan kesialan keluarga miskin ini kepadaku, anak lelaki satu-satunya setelah dia.

Kami empat bersaudara. Aku anak ketiga. Mbakku sudah lama meninggal, sedari aku belum lahir. Kata ibuku, ia meninggal karena penyakit yang bersarang di lehernya, berbentuk tonjolan. Kebiasaan mengantarkan ke rumah sakit atau puskesmas pun tidak ada di desaku. Sementara membayar jasa mantri pun tak sanggup. Maka ibuku merawatnya sendiri dengan ramuan obat yang didapatnya setelah bertanya ke banyak orang, dari mulut ke mulut. Tidak sampai umur 4 tahun, kakak perempuanku dikebumikan.

Kini tersisa adik perempuanku yang masih kecil. Aku sendiri tak ingat persis berapa usiaku waktu itu. Mungkin kurang lebih tujuh atau delapan tahun. Yang pasti aku sudah masuk sekolah dasar ketika keluargaku dan orang-orang desa seperti kelompok pesakitan yang sekarat. 

Kami rutin makan bulgur sebagai ganti beras yang sulit didapat dan mahal. Bulgur harganya terjangkau dan sesekali keluarga kami mendapat jatah bantuan gratis dari perkumpulan tani. Saat pertama kali memakannya, aku muak. Tekstur dan rasanya aneh. Tidak cocok dengan lidahku.

“Panganan apa ini, Mak? Kayak bahan buat ngombor sapi,” protesku ke Ibu sambil melepeh sebagian bulgur dari mulut. 

Lihat selengkapnya