B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #5

Yang Salah (Selalu) Kita

Magelang, 1967 - Empat Tahun Sebelum Nestapa Lanjutan di Jakarta 


Sepertinya sudah lama aku terbaring. Di halaman rumput ini, seragamku lusuh. Mulutku terasa asin. Mereka sama sekali tak memberiku ruang untuk melindungi wajahku.

Kulihat langit dengan mataku yang terasa sipit dan perih: ada saputan awan putih tipis-tipis di sekujur badannya. Hari ini cerah, tapi tidak dengan nasibku. Aku bangkit lalu meludah. Warnanya merah, seperti celanaku. Di hati aku menjerit, anak-anak sialan!

Lima anak keparat itu tidak cukup puas dengan hanya sekali menghajarku. Ini mungkin sudah kelima kalinya. Mungkin yang keenam. Entahlah, aku tak peduli. Kini saatnya pulang, perutku sudah tak bisa menunggu lebih lama.

Dulu, saat pertama mereka mengganggu dan menghajarku, aku menangis. Mereka memanggilku bodoh. Goblok. Miskin. Kere. Semua sebutan itu muncrat dari mulut busuk mereka. Dan sialnya, umpatan itu bersarang amat dalam di batinku.

Aku marah bukan karena mereka salah. Bukan. Namun justru karena apa yang mereka katakan itu kebenaran. Terlalu benar. Terlalu tepat menggambarkan nasibku dan keluargaku. Omongan mereka mengena langsung di lubuk dadaku. Dan itu sungguh sakit sekali. 

Saat kau sadar mukamu jelek, dan ada orang memanggilmu jelek, bukankah itu masih menyakitkan? Apalagi kalau ada yang meledekmu miskin dan kondisimu memang melarat.

Di sekolah, kadang mereka bertindak lebih jauh. Namaku dibawa-bawa, “Wooo … kere, goblok, ceking, kok punya nama Burhan. Burhanuddin. Yo kapiken!” Ejek salah satu dari mereka. Baginya, namaku terlalu bagus untuk orang dengan perawakan sepertiku.

Di saat aku tidak terima, walau hanya dengan tatapan mata dan muka jengkel, mereka lekas menantang, “Apa? Nggak terima? Ayok, gelut sini!”

Meski kudiamkan, mereka tetap saja menyorongkan badan. Mendesak bahuku. Menabrak dadaku. Memancing emosiku. 

Begitu kudorong salah satu dari mereka agar tidak menempelkan badan, tangan mereka kontan menghujaniku dengan bogem. Tinju demi tinju menumbuki kepala, wajah dan sekujur badanku.

Sesudah aku terkapar dan bajuku berdebu, tidak jarang salah satu dari mereka menendang perutku dengan lepas dan amat keras. Lalu kemudian mereka pergi begitu saja.

Merasakan semua ludah dan tinju anak-anak sialan itu, pikiranku selalu membayangkan diri bisa mencekik masing-masing mereka. Terkadang, di saat mandi sepulang sekolah, aku nyaris selalu bicara dan ngedumel sendiri. Membalas-balas makian mereka, sambil kuayunkan tinju-tinju ke hidung, mulut, dan mata mereka hingga tak mampu melihat dan bengap. Lantas kudapati mereka hanya bisa mendengar suaraku sambil meminta ampun karena telah salah pilih lawan.

Lalu teman-teman mereka datang lagi. Kuladeni bala bantuan itu. Kutepis pukulannya. Kupiting tangannya. Lantas kutendang jatuh sambil menonjok muka teman mereka yang ingin ikut membantu. Lalu tubuh mereka semua roboh. Tersisa wajahku yang nyengir. Meledek puas. Sialnya, semua itu hanya berlangsung di dalam kepalaku. 

Walau sekadar bayangan, aku merasa asyik sendiri ketika kubanting-banting batu kosok dari sungai yang biasa dipakai membersihkan daki. Kepalan tanganku cekatan meninju-ninju air di bak seolah sedang melepas jurus silat andalan ke badan mereka. Sembari bersungut-sungut dan menyeringai jumawa, kubayangkan diri membanting anak-anak berandalan itu dengan begitu enteng.

Lihat selengkapnya