B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #6

Asap

Aku pulang dari persawahan dengan amarah yang sedikit mereda. Setiba di gubuk derita ini, kutengok kembali dapur. Tungku masih menyemburkan asap, tapi tak ada perkakas lagi di atasnya. Begitu juga dengan Ibuku. Ia tak ada.

Kulihat seisi rumah, tak ada siapa-siapa. Mungkin Ibuku sedang ngemong adikku ke luar. Atau ia malah sedang mencariku? Ah, mustahil. Orang tua miskin mana yang masih sempat khawatir pada bocah uring-uringan satu ini. Di kepala mereka pasti lebih banyak hal lain yang mereka pikirkan, melebihi anak-anak mereka sendiri.

Aku menghela napas. Masuk ke rumah sebentar, lalu mengambil karung dan arit, bersiap pergi merumput untuk kambing-kambing juragan bapak, seperti biasa. Sama seperti hari-hari yang seolah tak pernah terjadi apa-apa, seakan tidak pernah ada bibir perih, badan lebam, dan hati yang menjerit tertahan.

Terpikir olehku, kalau cekcok antara aku dan Ibuku, juga perkelahian sepihak dari anak-anak berandal, serta luka-luka dari bapakku sendiri, semua itu hanya ibarat asap di dapur: terbang lepas dan lekas lenyap. Cukup sudah, kini waktunya bersiap-siap mencari rumput untuk kambing.

Aku beranjak menuju ke depan rumah gubuk. Kuletakkan karung bagor dan arit di atas lincak. Aku duduk di sebelahnya. Sembari mengayunkan kaki, kuamati tanaman di depanku. Pohon tomat itu tampak loyo, kayu lanjaran sebagai penyangganya jatuh. Tubuhnya sedikit kering. “Mungkin sebentar lagi mati,” benakku. 

Kini pandanganku tengadah ke langit, membiarkan isi kepalaku berpikir tanpa arah. Tak ada angin berembus. Kuputuskan saja untuk berangkat.

Aku sampai di tempat biasa mencari rumput. Segera kubabat rumput itu dan mengumpulkannya di tempat yang sama. Setelah menjadi bukit kecil, aku berpindah masih dengan cara berjongkok.

Fokus menyabit rumput ternyata bisa membuatku sedikit lupa pada sakit yang kurasakan di sekujur tubuhku. Aku juga lupa pada pertengkaran dengan Ibu. Bahkan aroma masakan Ibu telah hilang berganti dengan aroma rumput segar yang terkena aritku. 

Dua karung rumput sudah terkumpul. Aku mengusap kening yang basah di bawah sinar mentari sore yang masih muda. Kini saatnya harus balik ke kandang, menaruh rumput, dan memberikan sebagiannya ke wadah pakan berbahan bambu itu. 

Akhirnya, rampung sudah. Kututup pintu kandang di pojok tegalan ini. Kukaitkan tali tambang ukuran sedang pada karet sisa ban dalam, kini ia kusimpul di paku besar yang ditekuk lengkung sebagai gagang pintu. 

Aku duduk sejenak di depan kandang, mengambil air di kendi, menenggaknya tergesa. Ada suara kemresek datang dari belakang kandang, seperti langkah kaki orang menginjak-injak damen sisa padi. Kutengok ke kiri, belum nongol sosok itu. Dari sebelah kanan, mendadak ada tangan meraih pundakku. 

Hwahh! Pekiknya lepas, mengejutkanku. Sialan, badanku berjingkat, kaget. Ternyata Misnan, satu-satunya teman sekolah dasar yang tidak menghajar dan mengabaikanku. Di dunia sekolah yang laknat itu, hanya ada dua golongan: pertama, yang menghajarku; kedua, yang mengabaikanku sama sekali. Dan Misnan adalah pengecualian.

“Yok, nih!” Tangan Misnan menyodorkan sesuatu. 

“Sekarang?” Mataku mengernyit, memastikan apakah ia yakin dengan ajakannya.

Lihat selengkapnya