2010. Jakarta
Suara berisik membuatku mengedarkan pandangan. Baru kusadari mobil yang kutumpangi telah berhenti. Sejak kapan, aku tidak peduli.
Seseorang membuka pintu. “Keluar!” Tatapannya dingin seolah tidak ada jiwa di sana. Aku menyeringai melihat matanya itu. Pasti hidupnya dipenuhi kepahitan yang pekat. Dengan demikian tidak ada cahaya sedikit pun di mata itu. Aku jadi merasa bertemu dengan orang yang sama denganku.
Perlahan aku menggeser badan dan turun. Dua orang lekas memegang kedua lenganku. Sekilas kulihat ada beberapa polisi berjaga. Begitu banyak manusia di tempat ini. Aku tidak suka.
“Heh, Asu!”
Aku sedikit limbung karena sesuatu mengenai kepalaku. Tidak sakit sih, hanya membuatku kaget. Keributan terjadi dan dari sudut mata kulihat seorang laki-laki menudingku seraya berteriak-teriak. Tapi tak hanya dia yang berteriak. Semua orang berteriak. Berisik sekali.
Polisi lekas melakukan pengamanan. Aku sebenarnya ingin tetap berada di tempat itu. Aku ingin melihat dengan jelas wajah lelaki itu. Aku juga ingin tahu alasannya memanggilku asu.
A-s-u. Anjing.
Heh, aku bukan anjing. Kenapa dia mesti repot-repot berteriak begitu padaku? Aku najis? Aku hewan?
Lenganku rasanya sedikit ditarik. Aku juga merasakan dorongan di punggung. Itu membuatku sedikit terkejut. Akibatnya, kakiku seperti membelit sesuatu dan nyaris saja aku jatuh. Teriakan-teriakan terdengar makin nyaring saja.
Kuarahkan tangan ke kepala. Bukan untuk menutupi kepalaku dari kemungkinan lemparan barang, bukan pula agar wajahku tidak jelas terlihat. Aku melakukan itu agar peci benang berwarna putih di kepalaku itu tetap ada di tempatnya.
Aku juga melirik sekilas pada baju yang kukenakan. Rompi oreanye ini membuat penampilanku terlihat sedikit rapi. Tapi pakaian putih, peci putih itu adalah padanan yang pas untuk acara semacam ini. Ini jadi semacam pertanda bagi orang-orang yang melihatku bahwa aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Atau setidaknya sekadar ada pembelaan bahwa aku tidak bersalah.
Karena aku nyaris tersandung, beberapa tangan memegang lenganku. Teriakan membahana. Mungkin mereka pikir aku sengaja jatuh. Padahal aku paling benci ditopang orang lain. Aku tidak suka karena itu seperti mengejekku: aku tidak mampu melakukan sesuatu yang benar.
“Huuuu ….”
“Nggak usah ditolongin, Pak. Biar kepalanya kejedot lantai.”
“Biarin mati aja, Pak!”
“Asuuu!”