B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #8

Pengecut Kecut

Kemarahan yang muncul sebab mengingat bajingan asu di masa lalu membuatku mual. Tanganku terkepal, menempel di perut, berharap dengan demikian aku dapat menekan rasa itu. Tentu saja sayang sekali jika makanan yang sudah masuk ke perutku mesti keluar lagi. Meski rasa dan nama makanan yang kumakan sudah tak kuingat, rasanya lebih baik aku tidak memuntahkannya. 

“Kenapa? Sakit perut?” Lelaki yang memegang lengan kananku bertanya. Wajahnya tidak menyiratkan kecemasan. Namun, jelas dia memperhatikan atau setidaknya menangkap gerak kecil yang kulakukan di depan perutku itu. 

“Enggak,” jawabku pelan. Entah mengapa aku juga menggeleng. Mungkin aku hanya ingin mempertegas jawabanku.

Dia melirikku dan sekilas mengangguk. Aku merasa berjalan sedikit terseret-seret dengan pengawalan ketat seperti ini. Suara sepatu mereka yang nyaring dan memantul-mantul itu membuatku makin pusing dan mual. 

Dalam kondisi seperti itu, aku merasa heran dengan pertanyaan lelaki di sebelah kananku itu. Memang apa untungnya buat dia kalau aku sakit perut? 

Apa untungnya? Heuh, memangnya semua hal di dunia ini selalu terkait dengan keuntungan?

Oh, ya, ya, aku tahu. Dunia ini memang tidak melulu soal keuntungan dan kerugian. Tapi aku tahu persis orang peduli pada orang lain kalau hal itu menguntungkan baginya, baik secara langsung atau pun tidak. Bahkan, kalau bisa, seseorang harus memeras orang lain. Untuk apa? Untuk kemakmuran dirinya, kekayaannya, dan kebahagiaannya. Meski, kalau kamu bertanya apa itu bahagia, aku juga tidak mengerti. 

“Duduk situ!” Lelaki yang di sebelah kananku tadi menunjuk bangku kayu. Ternyata aku sudah berada di sebuah ruangan. Tampaknya ini semacam ruang tunggu. Meski tetap ada jeruji, tapi tidak sampai ke bawah. Jeruji itu hanya seperti jendela saja. Ruangan kecil itu berisi beberapa bangku kayu berjajar. Tidak ada meja, apalagi kudapan di atasnya. 

“Tunggu di sini. Nanti aku ke sini lagi kalau sudah waktunya masuk ke ruang sidang,” kata lelaki itu. Dia tampak mengamatiku dengan cermat. Aku balas mengamatinya, meski sempat tertahan pada matanya yang kelam. Ah, aku suka sekali mata kelam seperti miliknya itu. “Ngapain senyum-senyum, heh?” Dia membentakku dan kemudian berbalik. 

Pintu setengah jeruji besi itu seperti dibanting keras sekali. Suara gemerincing kunci beradu dengan gembok terdengar terlalu nyaring. Begitu memekakkan telingaku. Meski begitu, aku tidak merasa terganggu. Aku suka melihat cara lelaki itu bertindak. Bagiku, semakin banyak waktu untuk sendirian, semakin baik untukku. 

Aku berdiri dan mendekat pada jendela kecil yang juga berupa jeruji besi. Dari sana aku bisa mengintip dunia luar meski dalam pandangan yang terbatas. Ada batang pohon yang kulihat. Aku tidak melihat pohon itu secara sempurna. Jadinya aku hanya bisa menebak-nebak. Kuperkirakan letak pohon itu dekat dengan ruangan ini atau justru pohon itu terlalu besar sehingga aku hanya mampu melihat ranting-ranting kecilnya saja. 

Seekor burung gereja hinggap di salah satu ranting. Ia tampak mematuk-matuk sesuatu. Tak lama kepalanya menoleh-noleh ke kanan dan kiri seolah mengamati sekitar. Atau mungkin mencoba mencari tahu sesuatu dari bunyi-bunyian. 

Burung itu kemudian terbang lagi dan entah kapan dia akan kembali. Melihat burung yang terbang itu, aku seperti diterbangkan pula ke suatu tempat di mana aku melihat seorang anak kecil menyayat bangkai burung. Jenis burung apa yang disayatnya itu masih samar. Aku hanya melihat tangan kecil itu berlumuran darah dan bulu-bulu burung yang lengket di tanah berlumpur. 

Kepala burung itu tampak terkulai. Dari sana darah menetes dan membasahi tanah yang sudah basah di bawah tubuh tak bernyawa itu. Aku menduga burung tersebut jatuh karena terkena biji yang dilontarkan dengan ketapel. Dulu, aku sering menggunakan jambu biji yang masih kecil sebagai pelurunya. 

Anak itu tampak asyik menggunakan ujung arit untuk menguliti tubuh mungil burung itu. Aku sedikit heran karena anak itu begitu repot-repot mengulitinya. Bukankah lebih baik kalau dia membelah burung itu setelah selesai membului? Dia juga bisa lekas mencucinya, membubuhkan sesuatu seperti garam (jika ada dan mau), lantas mengolahnya menjadi hidangan. 

Aku tertarik pada anak itu, anak laki-laki yang tekun menguliti burung. “Heh … mau kamu apain itu? Nggak kasihan to burung kayak gitu kamu kuliti? Ngapain sih pakai repot-repot ngulitin gitu? Mau kamu masak apa emangnya?” tanyaku pada anak laki-laki itu.

Anak laki-laki itu tampak tidak mendengarku. Dia masih asyik dengan burung kecil di tangannya. “Heh, aku tanya sama kamu. Itu mau diapain?” tanyaku lagi.

Anak itu tidak menjawab. Dia juga tidak menoleh. Bahkan, dia bersikap seolah hanya dia sendiri yang berada di bukit, memegang bangkai burung, dan asyik mengulitinya. “Budeg! Tuli kamu, ya? Ditanya kok nggak njawab!” Aku kesal sekali. Rasanya ingin kupukul kepalanya agar dia menoleh dan menjawab pertanyaanku. 

Anak laki-laki itu tampak kusam. Bajunya berwarna coklat, seperti bekas seragam pramuka, lusuh dan berlubang. Ada robek di bahunya. Aku juga bisa menemukan bekas getah di baju yang memang sudah tak bersih itu. 

Tangan anak itu begitu kurus. Seolah sejak awal memang tak pernah ada daging apalagi lemak menempel di sana. Dakinya begitu tebal dan jemari kakinya mekar seolah selama ini dijadikan rem cakram sewaktu berjalan di bukit berundak-undak yang curam dan berlumpur. 

Dengan melihatnya, aku langsung menyimpulkan anak itu hidup dalam kemelaratan yang pekat. Dia pasti tidak punya orang tua yang mampu memberinya sandang dan pangan yang memadai. Atau jangan-jangan orang tuanya memang tidak peduli apakah kebutuhan sandang dan pangan anak itu telah terpenuhi atau tidak. 

Lihat selengkapnya