1996. Sidang Putusan Mat Jambronk
Mat Jambronk menatapku. Terasa ada sesuatu yang ganjil. Namun aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk mencari tahu keganjilan yang kurasa.
Kami masih terus bertatapan. Perlahan kulihat ujung kanan bibir hitam itu naik sedikit. Tapi itu bukan senyum. Jelas pula bukan tawa. Dan aku tak bisa mengabaikan bahwa ada gerakan kecil di sudut bibir yang sekian lama terpapar tembakau itu. Apakah ini yang membuatku merasa ganjil tadi?
Lelaki itu tampak ringkih. Aku bisa bilang tubuhnya kecil dan rapuh seperti ranting kering dengan daun-daun kecoklatan yang meranggas. Aku tidak tahu mana yang lebih menyedihkan dari ranting itu. Apakah ranting yang ringkih, atau justru daun-daun yang masih menempel?
Matanya kuning. Mungkin dia kena penyakit kuning atau kesurupan setan kuning. Ah, aku jadi penasaran dengan isi tubuhnya dan bagian mana yang bisa membuat matanya kuning. Atau, bisa jadi, matanya itu menunjukkan efek tubuhnya terhadap obat-obatan warung yang dimakan selama hidupnya. Bukankah dia sama miskinnya denganku hingga tak mampu pergi ke dokter bila merasakan sakit?
Aku mengalihkan pandangan. Pura-pura melihat orang-orang yang berbicara. Kuamati juga orang-orang yang menuding Mat Jambronk lalu berbisik dengan mata menyala-nyala.
Setelah merasa tidak ada yang perlu kulihat lagi, aku menunduk. Kemejaku kumal. Warnanya semula putih dengan garis-garis biru yang mulai pudar. Bahkan warna bajuku tak lagi putih, sudah kekuningan. Ada bekas bara api di ujung dekat kancing paling bawah. Mungkin aku pernah tak sengaja menjentikkan abu rokok, tapi ternyata yang menempel di bajuku itu masih berupa bara api kecil.
Menyadari itu, mulutku terasa pahit. Entah sudah berapa lama aku berada di ruangan ini dan tidak mengisap rokok. Seperti ada empedu pecah di sana. Aku menjilat bibirku yang juga kering dan terasa kasar sekali di lidah.
Pada saat itulah aku menyadari Mat Jambronk masih mengamatiku. Dia menirukan gerakan kecil yang kulakukan. Lidahnya keluar sedikit. Lalu lidah itu perlahan menyapu permukaan bibirnya yang hitam dan tebal.
Aku terkesiap saat melihat lidahnya yang kurasa bercabang seperti lidah ular. Tanganku mengusap telinga sebelah kiri. Aku ingin memastikan memang tak mendengar desis ular saat melihat lidah Mat Jambronk itu.
Mat Jambronk mengakhiri gerakan di bibirnya dengan memasukkan kedua bibirnya ke dalam. Dia menahannya beberapa saat, seolah giginya menahan bibirnya kembali ke bentuk semula. Setelah itu, bibirnya kembali. Dan aku melihat lagi senyum itu.
Tengkukku terasa dingin. Seperti ada balok es batu yang diletakkan di sana. Berat. Dingin. Sakit.
Perutku seperti ditinju. Sakit sekali. Aku mati-matian menahan agar tidak muntah.
Kemarahan menjalar dari hati menyebar ke seluruh tubuhku. Aku tak suka ekspresi Mat Jambronk itu. Apalagi saat kulihat dia tertawa kecil seraya terus menatapku lekat-lekat. Entah tawanya bersuara atau tidak, aku kini tidak peduli.
Pun aku tak peduli pada sorak sorai ketika hakim membacakan putusan. Aku tidak peduli apa-apa selain Mat Jambronk. Lelaki itu pun tampak tak peduli pada apa saja selain terus menatapku.
Makin lama tatapan Mat Jambronk itu membuatku tidak bisa bernapas. Sesak sekali. Sepertinya tangannya terulur ke leherku. Sekilas kurasa tangan itu memegang seutas tali berwarna merah.