B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #10

Kalajengking Kecil

Danu sudah tertinggal jauh. Mungkin dia masih duduk di tempat tadi, terbengong-bengong seraya memikirkan kata-kataku. Bisa jadi pula dia sudah pergi, kembali pada kehidupannya yang gemerlap. Aku tidak peduli.

Langkahku makin cepat. Deru kendaraan dan debu-debu berterbangan. Aku ingin lekas sampai di rumah dan merebahkan diri di kasurku yang tipis. Sebagai hadiah karena telah selesai melakukan sesuatu yang besar, aku ingin tidur seharian. Seingatku, masih ada mie instan yang kusimpan yang bisa kumasak nanti. Lagi pula, aku tidak terlalu lapar sekarang. 

Jarak rumah dan gedung tadi sebenarnya cukup jauh. Tapi aku lebih suka berjalan cepat ketimbang naik angkot atau bajaj. Anggap saja aku sedang berolahraga meski bukan di waktu yang sewajarnya. 

Setelah berjalan beberapa waktu, aku sampai di jalan kecil. Meski lepas dari jalanan yang padat, lorong gang kecil ini dipenuhi dengan rumah yang berhimpitan. Dari lorong itu, aku melangkah ke utara lalu masuk ke sebuah gang. 

Anak-anak berteriak dan berlarian di gang sempit menuju kontrakanku. Aku mesti sesekali berhenti dan menepi dulu. Ibu-ibu berdaster lusuh tampak duduk bergerombol. Mereka sibuk menggosip. Sebagian dari mereka saling memeriksa rambut, berburu kutu sembari mulutnya tak berhenti bergerak-gerak. Apa saja dibicarakan dari urusannya sendiri sampai yang bukan urusannya.

“Beh, nggak mampir?” Suara seorang perempuan terdengar sedikit melengking. Aku menoleh dan melihat perempuan sekitar dua atau mungkin mendekati tiga puluh tahunan berdiri di pintu rumahnya yang mengelupas dan catnya luntur. Dia mengenakan daster warna kuning yang tipis dengan gambar bunga matahari yang besar-besar. Rambutnya tergelung hingga aku bisa melihat lehernya yang jenjang. 

“Kok di rumah?” tanyaku. Aku berhenti di jalan depan rumahnya. Kupandangi leher jenjangnya itu dan menyadari ada beberapa bekas cupang di sana. 

“Lagi nggak enak badan. Capek juga. Ngopi?”

Aku diam. Sebenarnya aku ingin pulang dan tiduran, tapi mata perempuan itu tampak mengirim isyarat agar aku memenuhi keinginannya untuk mampir. Aku mengangguk. Perempuan itu tersenyum lalu beranjak dari pintu. 

Aku memasuki rumah yang sama kumuhnya dengan kontrakanku. Bedanya, di rumah ini ada dipan dengan kasur sedikit tebal. Kurasa itu satu-satunya barang mewah di rumah ini. 

Tidak ada perabotan lain selain dipan dan beberapa kursi plastik lengkap dengan satu meja harbot yang tampak muram tak bersemangat. Rumah ini pun hanya berupa dua ruangan yang dipisahkan dengan gorden lusuh dengan jejak lipatan yang membekas dan titik-titik jamur yang kentara. 

Aku duduk di salah satu kursi plastik yang tidak jelas berwarna hijau atau biru. Kukeluarkan sebatang rokok putih dari Danu. Aku menyalakan api saat Yekti, perempuan itu, keluar membawa gelas berisi kopi. “Putihan, Be?” tanyanya seraya meletakkan gelas kopi di meja. 

“Ambil aja kalau lu mau. Itu juga cuma dikasih,” kataku seraya meletakkan bungkus rokok di samping gelas kopi. Yekti mengambil sebatang dan kami merokok dalam diam. 

Aku mengenal Yekti beberapa waktu lalu, mungkin hampir satu tahun. Kami bertemu di terminal dekat kontrakanku. Aku melihatnya didorong turun dari sebuah mobil. Dia jatuh tersungkur tak jauh dari tempatku duduk. Entah apa yang mendorongku, aku lekas bangkit dan membantunya.

Saat itu, aku terkejut melihat lebam di dekat mata kanannya. Bibirnya merah bukan saja karena gincu berwarna terang yang dipakainya, tapi juga karena ada darah di sana. Dia mengisap-isap darah itu dan kulihat dia memegangi bahu kanannya. 

Kami duduk bersebelahan dengan canggung. Kutawarkan air mineral yang kuambil dari kotak asongan yang kubawa. Dia menghabiskan air itu dan aku sempat bimbang apakah perlu memintanya membayar atau tidak. Kurasa, aku sedikit menyesal menawarkan air minum pada Yekti saat itu. Di kemudian hari, aku benar-benar menyesal telah mengenal dan menolong Yekti malam itu. 

Aku juga tidak tahu mengapa waktu itu aku menawarinya tinggal di kontrakanku. Pertimbangannya hanya karena saat itu sudah cukup malam dan dia tampak tidak tahu mau pergi ke mana lagi. Tentu sadar diri juga aku, tidak sanggup menyewakannya kamar untuk istirahat. 

Aku ingat saat itu dia mengikutiku pulang. Pakaian Yekti yang ketat dan menampilkan lekuk tubuhnya itu tidak membuatku merasa tertarik untuk menyentuhnya. Aku juga tidak ada keinginan lain selain membantunya melepas baju dan mengompreskan selembar kain kumal yang telah direndam air panas ke bahunya yang memar.

Itu sebabnya ketika dia menyodorkan dadanya dan menarik tanganku untuk menyentuhnya, aku lebih memilih menarik tangan. Mundur. Kugumamkan maaf dan dengan suara rendah kukatakan aku baru saja memakamkan istriku. Padahal, kematian Wening sudah lama berlalu. Yekti dengan ekspresi malu dan rasa bersalah yang terlihat nyata memperbaiki pakaiannya. Kami tidur di kasur tipisku dengan saling memunggungi. 

Itu pertemuan pertama kami yang canggung. Aku lalu meminjamkan sedikit uang agar Yekti bisa mengontrak sebuah rumah tak jauh dari rumahku. Kini, aku dan beberapa anak jalanan yang tinggal bersamaku, menganggap Yekti sebagai ibu, atau apalah namanya. Anak-anak yang tinggal denganku sering ke rumahnya dan sesekali memasak mie instan yang dimiliki Yekti. 

Yekti pun tampak sukses menjajakan tubuhnya. Maksudku, mungkin dia menjalankan usaha lain yang aku tidak tahu. Aku tidak pernah bertanya. Tapi dia tidak tampak kesulitan hidup meski aku jarang melihatnya menerima pelanggan. Mungkin dia menerima pelanggan di tempat lain. Entahlah. 

Lihat selengkapnya