Jakarta, 1983
Terminal ini sedang sibuk-sibuknya ketika terik siang terasa amat membakar kulitku. Kuamati orang-orang dengan mata mengernyit. Mereka berlalu-lalang. Langkah mereka saling menyilang satu sama lain.
Ada ibu-ibu tampak kesulitan sendiri. Ia sedang berjalan sambil sesekali berhenti membenarkan tentengan kardus yang diikat tali rafia di tangannya. Barang bawaannya cukup besar.
Para pria bertopi teriak-teriak. Mereka menawarkan lokasi tujuan yang mungkin menjadi ujung arah mata para manusia itu.
Satu dua pedagang asongan menghampiriku, menawarkan dagangan. Kujawab dengan telapak tangan terangkat sambil menggeleng halus. Mereka lekas berganti target. Berpindah mendekati kerumunan yang baru keluar dari kotak besi berjalan yang amat pengap di ujung sana. Di tengah hiruk-pikuk itu, mata mereka menatap ke arah masing-masing tujuan. Semua gerak kerumunan yang seperti ombak itu tumpah di sini, di tempat paling sibuk dan riuh se-Pulogadung.
Pandanganku kini jatuh ke seorang lelaki berkulit cokelat gelap. Ia mengenakan topi, tapi kedua tangannya—dan ini yang menyedot perhatianku—memegang koran, lantas menjadikannya payung di atas kepalanya yang sudah terlindung penutup. Aneh. Namun aku paham. Hawa siang itu sungguh sialan sekali panasnya.
Kubaca raut wajahnya. Ia tampak memicing, seperti menahan panas. Tak sengaja cincin batu akik di jarinya menyita sejenak perhatianku. Ia masih menoleh ke arah papan tarif berwarna hijau dengan tulisan putih tebal. Mungkin ia ingin melihat jadwal bus antarkota beserta tujuan yang ingin ia hampiri.
Kucoba menebak-nebak. Usianya mungkin hanya sekian tahun di atasku, belum genap kepala tiga. Tangannya kurus dan urat-uratnya tampak. Kini matanya bertemu dengan mataku. Ia mengangguk, tersenyum, seperti menyapaku dengan santun. Aku reflek membalasnya, meniru gerak tubuhnya.
Di momen itulah, aku bertemu Mat Jambronk. Lelaki yang berbadan sedang, kulit cokelat terbakar matahari, mata memicing, kerutan di pelipis yang sudah tampak melebihi umurnya, dan lipatan senyum yang penuh arti, tapi terasa hangat.
Saat ia menghampiriku, baru kutahu, kakinya sedikit diseret-seret sewaktu melangkah. Seolah pincang ringan. Setelah sekian langkah, tinggi badannya semakin susut ketika ia tiba di hadapanku. Ujung kepalanya hanya sehidungku ternyata.
“Mau ke mana, Bang?” Ia membuka pertanyaan.
“Ah, enggak kok. Nggak ke mana-mana. Saya ke sini bukan buat nyari bus, Bang,” jawabku menerangkan.
“Abang sendiri mau ke mana?” Kucoba lanjut berbincang dengannya.
Ia hanya menyeringai tipis, menjawab sama sepertiku. Dan kami pun bersalaman, saling bertukar nama.
Mat Jambronk. Hmm, nama yang unik. Aku mengangguk-angguk senyum padanya. Kami pun berjalan menepi, mencari tempat berteduh dari terik yang kurang ajar siang itu.
“Mau?” Tangan Mat Jambronk menyodorkan bungkus rokok yang terbuka. Bibirnya sudah mengapit satu batang.
“Boleh?” Sedikit ragu-ragu, aku mendekatkan tangan.
Ia tertawa. Air mukanya seolah mengatakan padaku agar tidak perlu sungkan. Tangannya mendekatkan bungkus rokok itu. Kuambil satu dan tangannya cekatan menggesekkan pentul korek api ke kertas kasap cokelat di tangan yang lain. Ia sodorkan api itu ke dekat bibirku.
Di tepian trotoar yang ada pohonnya, kami berbincang dengan sesekali mengeraskan suara, menyibak deru mesin bus-bus yang berangkat dan lalu-lalang kendaraan yang lain. Terkadang, dengkuran tukang becak menjadi jeda pemecah hening di antara kami berdua. Membuat kami tertawa geli sambil saling memandang. Lalu kami menoleh ke tukang becak di jalan terminal itu. Wajah terlelapnya tak bisa kami baca karena tertutup koran.
Setelah sekian percakapan dan tahu asal kampung halaman masing-masing, tanpa berunding kami seolah bersepakat untuk sesekali menggunakan bahasa Jawa. Bajaj-bajaj mondar mandir di tengah percakapan kami. Mereka berebut penumpang dengan barisan becak di luar terminal ini. Seorang ibu berkerudung turun dari bajaj, mengemasi barang bawaannya sambil tergopoh-gopoh merogoh dompet kecilnya.
“Ayok ikut aku!” Mat Jambronk berdiri, melempar rokok ke bawah. Sendal jepitnya menginjak dan memutar.
“Ke mana?” Aku masih bingung. Kuembuskan asap terakhir dan ikut membuang puntung rokok kretek di tanganku.
“Udah ikut aja,” jawabnya ringkas.
Kami berjalan menjauhi terminal Pulogadung. Melawan arah arus kendaraan dari depan seraya sekali dua kali menyerongkan pinggang, menghindari para pedagang di pinggir jalan.
Kutatap punggung Mat Jambronk, caranya berjalan dengan celana komprang dan menyeret-nyeret itu membuatku sedikit perlu menyabarkan diri. Langkahnya lamban. Terlalu pelan. Namun sepertinya ini kecepatan maksimum dari kaki orang bertopi di depanku ini.
“Kalau boleh tahu, dulu kenapa kakimu?” Kubiarkan diriku bertanya, memecah kebisuan di perjalanan yang cukup terasa lama ini.
Mat Jambronk menoleh ke belakang. Aku mempercepat langkah, bersejajar dengannya. Ia senyum lalu berkata, “Akh, ini jatoh. Dulu di pasar. Biasaaa.”
Pendek sekali jawabannya. Namun aku mencegah diri untuk bertanya lebih lanjut.