B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #13

Rasa Tidak Pas

Mengingat pertemuanku dengan Mat Jambronk membuatku tak bisa tidur. Aku memutar tubuhku berkali-kali, tapi tetap saja tidak menemukan posisi yang pas. Akhirnya aku mengambil sebatang rokok, dan duduk di kursi bambu di teras hingga subuh datang. 

Kelebatan ingatan tentang pertemuan pertama dengan Mat Jambronk dan hari-hari yang kami lalui bersama membuatku senang sekaligus sedih. Kurasa, di Jakarta, Mat Jambronk adalah satu-satunya orang yang bisa kuanggap sebagai keluarga. 

Nanti, akan kuceritakan kembali padamu tentang kebaikan Mat Jambronk kepadaku. Ah, bukan kebaikan saja yang kusampaikan padamu. Jelas akan kuceritakan juga keganjilan-keganjilannya yang lain. 


Jakarta. Akhir September 1996


Nasib Mat Jambronk sudah ditetapkan melalui pengadilan. Putusan hukuman mati Mat Jambronk terjadi sekitar bulan Mei lalu. Kadang, aku merasa masih ada rasa tak pas, tapi sekaligus itu sudah sesuai. Sudah klop. 

Dalam kondisi sedikit linglung begitu, aku menyambut ulang tahunku di tahun ini dengan sedikit sedih. Biasanya aku sengaja mengajak Mat Jambronk makan sesuatu yang sedikit istimewa dari menu keseharian kami. Misalnya, dan ini yang sering jadi pilihan kami, nasi rendang dengan kuah gulai berlimpah. Mat Jambronk sering bilang kami seperti sedang berlebaran ketika hari makan menu istimewa di awal September itu terjadi.

Ulang tahunku di 1996 bukan hanya tidak dirayakan dengan makanan istimewa bersama Mat Jambronk. Namun juga dengan kehilangan satu anak jalanan yang kukenal. 

Nama panggilannya Ipan. Aku tidak tahu nama lengkapnya, asalnya, dan tidak peduli siapa ibu bapaknya. Aku hanya tahu Ipan sering mangkal di perempatan, tak jauh dari tempatku selalu mangkal untuk berjualan. Sesekali kulihat dia membawa tumpukan koran, kadang membawa kotak asongan yang mirip dengan kotak yang kupunya. 

Sudah beberapa waktu, Ipan tak terlihat lagi di perempatan itu. Tampaknya tidak ada yang peduli anak lelaki itu hilang. Emm, maksudku, tidak ada yang menyadari bahwa Ipan tidak pernah mangkal lagi di sana. 

Tapi aku jadi bertanya-tanya. Itu karena aku pernah bercakap-cakap dengan Ipan dan sangat tahu bahwa anak laki-laki itu sering mangkal di perempatan tersebut. Jadi, ketika Ipan tidak terlihat selama hampir seminggu, aku mulai mencari informasi. 

“Lu kenal Ipan?” tanyaku pada Bagas, salah satu anak yang tinggal di kontrakanku. Bagas termasuk anak yang supel. Dia mengenal banyak anak jalanan. 

“Yang di perempatan dekat warung nasi padang itu, Be?”

“Nah iya. Kenal?”

Anak kecil berambut keriting itu menggeleng. “Kenal banget sih enggak, Be. Cuma tahu aja namanya Ipan dan sering mangkal di sana. Rumahnya di dekat-dekat situ juga kalau nggak salah. Kenapa, Be? Dia ngutang sama Babe?”

“Kagaaak. Cuman kayaknya tu anak jarang kelihatan lagi,” kataku. Aku lalu menata-nata permen dan tisu di kotak asonganku. 

“Hmm, iya juga ya, Be. Kayaknya udah beberapa hari aku juga nggak lihat dia. Atau dia pindah kali, Be. Mungkin abis penertiban kemarin itu dia kena angkut. Terus pindah. Biasanya kan gitu,” kata Bagas. 

Beberapa waktu lalu memang ada penertiban. Beberapa gelandangan dan pengemis diangkut. Banyak pula pedagang asongan yang mesti lari terbirit-birit menghindari penangkapan yang biasanya berujung dengan tidak kembalinya barang-barang yang biasa kami jual. Untungnya anak-anak yang tinggal bersamaku selamat dari penertiban itu.

“Lu mau ke mana?” tanyaku pada Bagas yang tampak bersiap untuk pergi. Barang daganganku sudah siap di kotak. Aku juga bersiap pergi sebenarnya. 

“Mau lihat ke depan, Be. Kalau aman, mau balik jualan lagi.” Anak itu lalu beranjak pergi setelah mengucapkan pamit padaku. Aku melambai saja dan mengamatinya pergi. 

Selepas kepergian Bagas, aku memilih duduk di kursi panjang dari bambu yang ada di teras. Pada saat itulah aku melihat Yekti. “Nggak pergi, Be?” tanyanya. Ia berjalan mendekat dan berhenti di pagar depan. 

“Belom. Nanti aja, bentaran lagi. Lu sendiri mau ke mana?”

“Ada urusan bentar, Be.”

“Sama Broto? Tuh, dijemput, tuh,” kataku seraya menunjuk Broto yang masih berjalan di kejauhan. “Kencan, lu?”

“Bawel, ih,” kata Yekti genit. Dia mesem-mesem tidak jelas. Tangannya memainkan rambutnya. 

Aku terkekeh. “Kencan kok siang-siang,” kataku menyindir. “Awas lu kena grebek kalau nyewa kamar jam segini. Mendingan main di kontrakan lu kayak biasanya dah,” kataku lagi.

Lihat selengkapnya