B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #14

Ingatan yang Berlompatan

Kelegaan mengetahui kabar Ipan membuatku ingin makan sesuatu yang enak. Aku jadi terkenang pada nasi rendang dengan kuah gulai melimpah yang biasanya kumakan di awal September. Sepertinya, aku belum makan itu untuk September tahun ini. Ah, ya, aku memang belum makan menu istimewa itu. 

Ingatanku melompat pada kali pertama aku merayakan awal September dengan menu itu. Makan daging bukanlah hal yang biasa kudapatkan. Tentu kalian masih ingat kalau di masa laluku, aku bahkan makan dengan bulgur? Tak perlu kudeskripsikan lagi bagaimana bentuk dan rasa makanan sialan itu, bukan?

Nasi, daging, dan kuah gulai yang gurih adalah hal yang tidak pernah kudapatkan di masa kecilku. Dan masalahnya lagi aku terlalu membenci hari lahirku hingga aku malah tidak bisa melupakannya. Aneh sekali. Semakin aku membenci kenyataan bahwa aku terpaksa lahir dan besar dalam kondisi susah terus menerus begini, aku malah jadi terus ingat pada tanggal sialan itu. 

Jadi, untuk membuat perasaanku lebih baik, aku mencoba mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikiran. Kuupayakan beragam cara untuk meredam berisik yang menyebalkan itu. Dan makanan adalah hal yang kupilih sebagai pelampiasan. 

Mat Jambronk pernah hampir memenangkan prokas dan kami jadi punya sedikit uang. Saat itu tanganku gemetar, perut terasa perih. Napasku sedikit terburu, badan gontai dan pandangan mata serasa kabur. Emosi pun terasa sulit sekali kukendalikan. Ah, perutku lapar sekali. Dan Mat Jambronk mengajakku ke sebuah warung yang menawarkan menu masakan Padang. Sungguh surga sedang jatuh dan bocor ke arahku. 

Namun, sejujurnya aku tidak begitu suka menu itu. Walau begitu, tanganku yang sudah gemetar, juga niatku untuk menghargai kebaikan Mat Jambronk, menepis jauh-jauh perihal kesukaan. Persetan selera!

Itulah yang mendorongku untuk ikut saja masuk ke dalam rumah makan sederhana di pinggir jalan ini. Dari sekian banyak makanan yang ada, aku menunjuk: nasi, rendang, dan kuah gulai yang melimpah. 

“Pilih yang enak, pilih yang kau suka. Hari ini kita kaya,” kata Mat Jambronk saat itu. Dia mengangguk-angguk dan tersenyum ganjil saat melihat kombinasi menu yang kupilih. “Makan, makan enak kita,” katanya lagi seraya terus mengangguk. 

Aku tertawa kecil. Saat nasi yang terkena kuah gulai itu masuk ke dalam mulutku, sesuatu seperti memukul kepalaku. Aku seperti dibawa pada kenyataan buruk di masa kecil di mana aku nyaris tak bisa menelan bulgur yang disajikan ibu. 

Saat daging rendang kecil itu masuk ke dalam mulut, ingatanku melompat kembali pada hari ulang tahunku. Hari ketika ibuku memberikan buntil daun talas yang akhirnya kubuang dan kuinjak hingga bercampur lempung padat di lantai dapur.

Aku terkenang pada asap tungku ibu dan tangannya yang terkena jelaga. Asap-asap yang membumbung itu tidaklah seperti dugaanku: bahwa seperti penderitaan, luka, dan pukulan anak-anak sialan di sekolah, mereka hanya akan lekas lenyap dan menguap di udara.

Ternyata sangkaanku sama sekali keliru. Asap-asap dari tungku itu membumbung tinggi, tidak untuk lenyap, tetapi justru meninggalkan jejak di langit-langit dapur, menjelma jelaga pekat. Menggelapi seluruh ruang atas dan dinding anyaman bambu di belakang tungku. Dan bayangan tersebut membuat sekerat daging kecil yang kutelan tadi nyaris nyangkut di kerongkongan. 

Aku tersedak-sedak saat itu. Mat Jambronk tertawa-tawa kecil dan mengangguk-angguk. “Minum. Lalu makan lagi,” perintahnya seraya menggerak-gerakkan tangan ke arahku. “Gimana, kau suka tidak?”

Aku mengangguk. “Iya, suka. Ini enak sekali.”

“Kita harus makan begini, seperti ini, di setiap kita merasa kaya. Kita harus makan enak tiap kita punya sesuatu yang bisa dirayakan. Gimana?” kata Mat Jambronk di sela-sela kunyahannya. 

Aku mengangguk-angguk. Sejak itulah, aku merayakan awal September dengan makan nasi rendang dengan kuah gulai melimpah. Dulu, aku melakukannya bersama Mat Jambronk. Ya, itu dulu, sebelum dia dijatuhi hukuman dan berakhir di bui.

Membayangkan menu tersebut dan menyadari bahwa aku belum makan hidangan istimewa di September itu, aku pun berpamitan dengan Mang Asep. Lalu kususuri jalan menuju warung nasi Padang. Di warung inilah aku bertemu pertama kali dengan Ipan. Kami ngobrol dan beberapa kali ketemu setelahnya. 

Ingatan yang berlompatan membawaku pada waktu itu. Aku baru saja selesai makan saat Ipan masuk. Ia memesan nasi dengan tahu dan telur dadar Padang. Dia juga minta nasinya disiram kuah gulai yang banyak. Itu termasuk menu yang cukup mewah. 

Aku memperhatikannya. Dia tampak acuh tak acuh pada sekitarnya. Makan dengan lahap seolah itu adalah hari terakhirnya. Aku merasa tersentuh, dan merasa “akhirnya anak ini bisa makan sesuatu yang enak.” Aku tersenyum senang melihatnya begitu. Maksudku, saat dirimu miskin dan masih bisa makan, mestinya kau memperlakukan itu sebagai makanan terlezat yang pernah ada. Dan begitulah yang dilakukan Ipan. 

Aku sengaja menunggunya selesai makan. Lalu berpura-pura tak sengaja bertabrakan dengannya saat kami sama-sama keluar dari warung itu. “Maaf, Be,” katanya. 

Lihat selengkapnya