Jakarta, September 2006
“Sejak kapan Fadil nggak pulang, Mun?” Aku sibuk menata buku yang baru datang ketika mendengar pertanyaan Mang Asep itu. Karena buku di hadapanku masih cukup banyak, aku tidak ingin nimbrung.
“Udeh dari kemarin kagak pulang, Mang,” jawab perempuan yang dipanggil Mun oleh Mang Asep itu.
“Udah tanya ke temen-temennya? Dia nginep di tempat temannya kali.”
Aku mengerutkan kening karena merasa ada kepedulian dalam nada suara Mang Asep. Apakah Mang Asep mencemaskan Fadil? Atau jangan-jangan dia mencemaskan Mun?
“Udeh, Mang. Si Padil kagak pamit buat nginep. Temen-temennya juga kagak ada yang tahu kemane die. Nggak biasanya Padil pergi kagak ngabarin gini,” kata ibu itu lesu.
Aku menoleh kali ini karena ibu itu melafalkan /p/ untuk /f/ di kata Fadil, nama anaknya. Rasanya aku ingin mengeluarkan lidahnya. Lalu kujepit dengan sesuatu agar lidahnya lurus. Semoga setelah lidahnya lurus, dia bisa melafalkan /f/ dengan benar.
Ibu itu terduduk seolah tidak bertenaga di depan lapak buku Mang Asep. Siang yang panas membuat keringat lengket. Bajunya basah kuyup. Kipas angin kecil yang berputar di atas lapak buku Mang Asep tidak memberi dampak apa pun, baik padaku apalagi pada perempuan yang tengah berbincang dengan Mang Asep itu.
Ibu itu mengusap peluh dan memandang Mang Asep dengan tatapan putus asa. Mang Asep duduk dan kaki kanannya mengangguk-anggukkan tumitnya ke lantai. Itu tandanya Mang Asep gelisah. Mengapa dia mesti gelisah? Apakah kepeduliannya akan nasib Fadil membuatnya merasakan hal itu?
Aku mengenal ibu itu sebagai penjual nasi uduk yang lapaknya berdekatan dengan lapak Mang Asep. Usianya mungkin sekitar 30 atau mendekati 40 tahun. Wajahnya manis, tubuhnya sedikit kurus. Dia selalu memakai kaos yang terlihat terlalu besar untuk tubuhnya.
“Jadi terakhir ketemu Fadil kemarin?”
“Iye, Mang. Kemarin pagi. Die biasanya kan memang ambil nasi. Trus pamit ke sekolah. Katanya mau mampir ambil koran di sini juga.”
“Ah iya, kemarin Fadil ke sini ambil koran. Cuma kupikir dia setornya hari ini sekalian ambil koran baru,” kata Mang Asep seperti baru teringat sesuatu. “Kemarin Fadil kayak biasanya, kok. Nggak ada yang aneh.” Laki-laki itu tampak mengerutkan kening. Mungkin dia mencoba mencari sesuatu yang aneh dari perilaku Fadil saat bertemu dengannya kemarin.
Sikap Mang Asep itu kembali mengusikku. Aku tidak suka seseorang tampak begitu peduli pada orang lain yang bahkan tidak ada hubungan dengannya. Ya, setahuku, Mang Asep bukanlah bapak si Fadil itu.
“Kenapa, Mang?” tanyaku. Aku meninggalkan tumpukan buku dan mendekat.
“Ituh, si Fadil, anaknya Mun, nggak balik dari kemarin,” jawab Mang Asep. “Kamu kenal kan? Anaknya kira-kira segini, rambutnya agak ikal,” kata Mang Asep seraya memberi kode perkiraan tinggi badan Fadil.
Aku tahu rupa dan bentuk tubuh Fadil. Anak lelaki itu punya pipi sedikit gembul. Badannya pun sedikit berisi. Bibirnya agak tebal. Tapi dari keseluruhan Fadil, aku suka matanya. Mata Fadil kelam seperti danau yang tenang tanpa gelombang.
Fadil berusia sekitar sepuluh atau 12 tahun. Dia sekolah di sebuah SD negeri sekitar setengah kilometer dari terminal. Setiap pagi, setahuku, Fadil membantu ibunya membawa gorengan untuk dijual sebagai pelengkap nasi uduk. Fadil juga mengambil koran di kios Mang Asep dan menjualnya. Aku beberapa kali bertemu dengannya.
“Kayaknya sih tahu, Mang. Tapi, ya, tahu namanya aja. Jarang ngobrol sama dia, palingan cuma ngomongin koran gitu gitulah,” jawabku. Aku memandang ibu Fadil yang sekali lagi mengusap peluh di keningnya. Rambutnya ikal dan ditali dengan karet yang biasa ada di bungkus nasi uduk yang dijualnya.