B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #16

Anomali Itu Bernama Fadil

Setelah menghabiskan sebatang rokok, aku perlahan meninggalkan pinggiran sungai itu. Aku tidak peduli apa yang terjadi pada sampah, bau, dan tubuh yang tersisa itu. Nanti juga akan ada menemukannya. 

Entah hari ini, atau besok. Mungkin juga lusa, tulat, tubin …. Tapi pasti akan ada yang menemukannya dan membuat kehebohan seperti yang dilakukan pemuda di warung kopi tadi. 

Aku berjalan perlahan dan kembali ke jalan raya. Di tempat itu aku menjajakan barang daganganku. Matahari yang kali ini bersinar terik memberikan rasa panas menyengat. Aku melepas kopiah putih yang mulai tampak kotor. Ada sedikit bekas lumpur di sana dan aku mencoba membersihkannya. 

“Ah, sialan. Ini pasti gara-gara Fadil,” dengusku kesal. Lumpur itu menempel dan meninggalkan bekas yang kentara. Aku tidak suka. Nanti sepulang berjualan, aku akan mencucinya. 

Aku mencoba mengingat-ingat apakah aku masih memiliki kopiah lain. Rasa-rasanya Wening pernah membelikanku kopiah. Jadi, mestinya aku punya lebih dari satu kopiah. 

Kopiah kain putih itu seingatku lepas dari kepala saat Fadil memberikan perlawanan. Lebih tepatnya dia mencoba mendorong tubuhku tanpa penjelasan seolah dia tengah melawan sesuatu. “Jangan, Be. Jangan ….” Mukanya ketakutan. Tangannya terangkat perlahan seolah hendak menutupi wajahnya. Memangnya dia takut aku melakukan sesuatu pada wajahnya kah?

Aku ingat saat itu aku makin kesal padanya. Ya, tentu saja karena caranya membela diri. Eh, bukan, aku kesal karena dia bersikap seperti itu. Memangnya aku mau melakukan apa padanya kok sampai dia berlaku seperti itu? Memangnya aku ini monster yang menakutkan?

“Diem dulu, ini gua tu mau ….”

“Jangan, Be.” Anak lelaki itu memutus kalimatku dengan suara lemah kemudian menangis. Aku jadi makin marah. Jadi kutarik tangannya dengan sedikit paksa. Ternyata tarikan itu membuat tubuhnya seperti terdorong kuat ke arahku. 

Aku mengelak. Aku tidak mau tubuhnya mengenaiku dan membuatku jatuh ditimpa tubuh Fadil. Oleh sebab itu, aku mengibaskan tangan. Ketika akhirnya pegangan tanganku terlepas, tubuhnya melaju melaluiku. Tubuh itu berhenti ketika kepalanya membentur pohon di pinggir jembatan. 

Saat itu dini hari yang terlalu sepi. Aku bahkan berpikir tak ada mahluk yang sungguh hidup di waktu itu kecuali kami berdua. Tangan Fadil mencengkram batang pohon yang kokoh, lalu perlahan dia berbalik. Cahaya dari lampu di jembatan membuatku tahu ada jejak darah di tempat kepala Fadil terbentur tadi.

Suara benturan kepala Fadil dan batang pohon itu terdengar begitu keras, meski aku tak bisa mengatakan menggelegar. Fadil terduduk dengan gaya yang begitu dramatis. Pelipis kirinya terluka dan mengeluarkan darah.

Aku berdecak. Aku paling tidak suka ada hal tidak sempurna seperti ini. 

“Lu ribut banget. Orang bakal datang dan ngira gua mau ngapa-ngapain lu. Berengsek!” Aku mendekat dan menyepak kakinya. Fadil diam saja dan aku tidak suka kalau dia sampai mati hanya gara-gara wajahnya terbentur batang pohon yang keras. 

Fadil mengedipkan matanya pelan tanda bahwa dia masih hidup. Mulutnya bergerak, tapi tidak ada suara yang keluar dari sana. Aku mendekati dan berjongkok di depannya. “Gua tuh mau ngasih tahu lu tentang dagangan koran dan …. Ck! Lu bikin gua kesel. Kenapa mesti teriak-teriak gitu tadi, hah? Lu pikir gua mau jahatin lu?”

Mata Fadil kembali berkedip. Bibirnya bergetar. Ada sebulir air mengalir dari mata kanannya. “Ck, pakek nangis segala,” kataku. Aku tak menyembunyikan rasa kesalku. Tanganku terulur ke wajahnya hendak menyingkirkan rambut yang sedikit mengenai alis kirinya. Tapi Fadil menoleh sehingga aku merasa dia ingin menolak sentuhanku.

Tanganku terlanjur terulur. Gerak Fadil itu jelas penolakan. Ya, dia jelas menolakku. Jadi kutonyor kepalanya. 

“Sok banget lu. Gua tahu lu sering diajak main sama Mat Jambronk dulu. Nggak tahu lu suka duluan atau dipaksa. Atau akhirnya lu yang ketagihan. Nggak paham gua. Jadi, jangan sok suci ke gua. Ngerti nggak lu?”

Fadil terisak. Suaranya sedikit menyayat hati. Darah dari luka di pelipis kirinya meleleh dan hampir mengenai matanya. Darah itu seolah berjalan perlahan lalu seperti mampir di ujung bibirnya yang sedikit tebal.

Aku tidak suka hal kotor seperti ini. Mengganggu pemandangan saja. Ya, aku benci mukanya yang berdarah, juga jejak darah di batang pohon tadi.

“Gua udah bilang wilayah operasi kita tuh udah diatur. Beda-beda. Lu nggak bisa masuk ke wilayah orang lain gitu aja. Lu nggak bisa sembarangan dagang di tempat ini atau itu. Semua ada aturannya, bocah! Ngerti kagak, lu? Kalau lu nekat jualan di sembarang tempat, lu bakal dipukuli orang. Lu mau mati gitu aja?” 

Bibir Fadil bergetar. Aku tidak tahu apakah itu karena dia ketakutan, kesakitan, atau karena dia ingin mengatakan sesuatu. Namun, sudah kutunggu pun dia tak mengucapkan apa-apa. 

Aku melirik pada tumpukan koran yang dibawa Fadil tadi. Koran-koran itu tergeletak dan sedikit berhamburan di dekat kakiku. Beberapa sudah basah terkena tanah berlumpur di dekat pohon di sisi jembatan ini. 

Kulihat berita di halaman pertama begitu beragam. Namun ada hal yang sama yaitu berita tentang kenaikan harga bahan pokok menjelang Ramadhan. Aku mendengus kesal. 

Orang-orang di negeri ini tampaknya ditakdirkan untuk menjadi miskin. Melarat adalah kutukan yang harus mereka tempuh. Dan orang-orang di dunia ini tak henti-henti berseteru satu sama lain. Apa yang terbaru, hmmm, Israel dan Lebanon? Negara di mana itu?

Lihat selengkapnya