B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #17

Wening: Kisah Mata Seorang Pemendam

Depok, 1979-1982


Mata Wening menghanyutkan. Sungguh, menatapnya membuat hatiku menjadi sedikit layu. Masalahnya, perempuan itu sama seperti namanya, hatinya jernih. Bening. Namun, sayangnya, umurnya tidak panjang.

Barangkali memang begitulah rumus hidup di bumi yang tidak adil ini: semakin kau baik, semakin kau cepat mampus. Dan, sialnya, takkan ada yang tersisa setelah kau mati. Orang-orang yang mengenal dan mengenangmu pun hanya segelintir saja. Selepas nyawa mereka minggat dari badan, sejak itu pula kau lenyap dan mati untuk kedua kalinya. Kau benar-benar telah raib dan terlupakan. Untuk selamanya. Begitulah risiko menjadi orang baik.

Mungkin itu belum berlaku bagi Wening. Sebab aku masih mengingatnya. Istriku itu belum benar-benar mati. Setidaknya ia masih menempel di dinding ingatanku. 

Pernikahan kami sangat mendadak. Juga sederhana. Tak ada rencana yang begitu berarti. Apalagi proses menjalin hubungan sebagaimana kaum muda memadu asmara, sama sekali tidak. Usiaku saat kawin dengannya sekitar dua puluhan. Sementara Wening hanya selisih tiga tahun di bawahku. 

Wening adalah puteri Abah Oman, juragan rongsok yang sudah mentereng di Depok. Ia pendatang asal Jawa Timur yang menolongku sewaktu terlantar di jalanan dekat ibu kota bertahun-tahun lalu. Bapak ini aslinya baik, tapi ada rahasia kotor yang akan kuceritakan nanti—sesuatu yang membuat umurnya panjang. 

Satu hal yang baru kutahu adalah Wening ternyata bukan anak kandung Abah Oman. Ini baru kuketahui begitu sudah menjadi suaminya. Wening yang membuka fakta tersebut kepadaku. Tentu aku terhenyak. Kaget.

“Kamu nggak lagi bercanda, kan?” tanyaku. Sulit kusembunyikan raut wajahku yang masih meragukan pengakuannya.

“Nggak, lah, Mas … Buat apa aku bercanda?” balas Wening, dengan sorot mata lugu dan hangat yang tak sanggup kutatap lebih lama.

Namun, terus terang aku masih sanksi akan hal itu. Di mataku, perlakuan Abah Oman dan istrinya sangat penuh perhatian ke Wening, juga pada adiknya yang laki-laki umur tujuh tahun. Mereka tidak terlihat membeda-bedakan sikap. Bahkan, sesekali, Abah Oman dan istrinya lebih sering memanjakan puteri satu-satunya itu, melebihi kepada puteranya yang masih kecil.

Wening lantas menjelaskan lebih lanjut bahwa dirinya dulu diambil asuh dari orang tua kandungnya yang bermasalah. Bapak asli Wening seorang pemabuk uring-uringan dan suka main tangan. Bapaknya gemar berjudi, bekerja tidak jelas dan jarang sekali memberikan nafkah ke ibu kandung Wening. 

Karena itulah ibu kandungnya bekerja menjadi seorang pembantu rumah tangga. Terkadang di saat libur, ia juga menerima upah lewat mencuci pakaian dari tetangganya. Namun di setiap kali pulang, suaminya yang berengsek itu sering bertindak sewenang-wenang, merampas duitnya untuk dipakai berjudi. Mata Wening sering menyaksikan tangan bapak kandungnya sekian kali mendaratkan tangan ke muka ibunya. Tidak dengan telapak tangan yang terbuka, tetapi menggenggam. 

Pada usia Wening yang masih 6 tahun itu, ibunya wafat. Kata para tetangganya, ibu kandung Wening mati ngenes. Dan sang suami pun beralih menjadikan Wening kecil sebagai sasaran baru. Semasih kecil ia jadi rutin kena pukul, jambak, hingga terbanting ke kasur karena tidak mau disuruh ngemis. 

Perihal makan sehari-hari, Wening harus berusaha sendiri. Jika tidak ada yang bisa dimasak rebus atau goreng, ia berkunjung ke tetangga dengan mata memelas. Rasa kasihan tetangga yang sama-sama susah itu membuatnya pulang membawa sekian genggam beras dan tempe atau bahkan sekadar daun singkong.

Karena tabiat keras bapaknya itu, Wening mendapat banyak jejak-jejak lebam dan perih di tubuhnya. Ia menunjukkan padaku bekas luka di tepi alis kanan. Kemudian di dekat dagunya. Lalu, sembari menyibakkan rambut yang tipis bergelombang dan sepunggung itu di depanku, Wening membalik badan. Kulihat di bahu kiri bagian belakangnya ada sisa seperti bekas robek. Luka itu menggaris sepanjang korek api, tapi tipis dan tampak kontras sekali di atas kulit langsatnya.

Wening pun membalik badan kembali. Kini ia menatapku. Dari wajahnya tergurat senyum getir. Namun, anehnya, sorot matanya tetap teduh. Keteduhan rahasia yang tersimpan pada wajah lonjong dengan pipi sedikit nyempluk dan lugu.

Lihat selengkapnya