Tatapan Abah Oman terasa mencekik. Tampaknya kematian puteri kesayangannya itu telah membangunkan iblis dalam jiwanya. “Buat apa kau datang ke sini? Wening mati karenamu. Pembunuh sepertimu tidak patut ada di dekat-dekat Wening!” Dia menunjuk wajahku dengan jemari gemetar.
Sialan. Tentu saja aku tidak mau disalahkan. Mereka berdualah yang membunuh Wening. “Aku nggak bunuh dia, justru kalian yang ….”
“Bajingan!” Abah Oman serupa banteng yang mengamuk. Mukanya memerah dan kurasa matanya pun membara. Terdengar suara jeritan. Orang-orang tampak berusaha menahannya. Beberapa lagi memberi kode menyuruhku pergi, atau sekadar memegangi lenganku.
“Udah, Be, pergi aja dulu,” kata seseorang yang memegangi lengan kananku. Aku diam saja. Meski aku mengikuti sarannya untuk meninggalkan tempat terkutuk itu.
Kasih sayang yang berlebihan dapat membunuhmu. Dan itu terjadi pada Wening. Jiwanya terkekang. Terpasung dalam kebisuan yang tak pernah diberikan kesempatan untuk menunjukkan perasaan dan keinginannya sendiri.
Wening bukan dicekik oleh tali sarung sebagaimana kesaksian seorang warga yang menemukannya tergantung di dalam gudang penyimpan rongsok. Ia dililit oleh keinginan orang lain untuk dirinya. Dia dibelit harapan-harapan penuh jerat dari orang tua asuhnya. Demikian juga ia terhantui rasa kerdil sedari masa kecil yang kenyang tamparan dan gebukan.
Wening dibunuh oleh masyarakatnya. Ya, aku yakin itu. Wening memang tidak secara terang-terangan mengatakan itu, namun aku bisa meyakini pendapatku. Sebab, seperti kau tahu, aku memiliki masa lalu yang hampir sama dengannya.
Aku masih tak terima melihat sekian pasang mata di rumah keluarga itu menusuk-nusuk wajahku dengan tatapan yang menghinakan. Aku memang pergi, tapi tidak benar-benar meninggalkan tempat itu. Aku sedikit kecewa karena tak sempat melepas jasad istriku sendiri, istri yang telah kutinggalkan tanpa secara resmi bercerai.
Banyak orang-orang saling berbisik saat aku sedang menuju rumahnya waktu itu. Suara bisik-bisik itu pun tetap terdengar saat aku pergi dari sana. Kudengar jasadnya menggantung lama dan sudah berbau menyengat. Matanya mendelik, lidah melet dan tergigit oleh giginya sendiri dengan busa di tepi bibir. Cairan tubuhnya keluar, air kencingnya, juga kotorannya.
Duh, Wening, seputus asa itukah dirimu? Padahal di dunia ini begitu banyak orang yang lebih layak mati ketimbang dirimu. Kenapa kau tidak memilih untuk menghabisi mereka saja, orang-orang yang lebih layak mati? Hidupmu sungguh penuh kesia-siaan.
Di sepanjang jalan, kepalaku masih berdesingan suara-suara. Semestinya Wening tak harus mati. Ia bisa saja minggat. Kabur dari keluarga rakus yang segala keinginannya ingin selalu terpenuhi dan gemar mengatur orang lain dengan jari telunjuknya. Lagi-lagi dadaku gemuruh. Tanganku gemetar, mengingat wajah Abah Oman yang seolah tak pernah merasa salah dalam hidupnya. Tatapan matanya sungguh membikin muak. Sepertinya, inilah saatnya kubocorkan rahasia kotornya padamu.
Orang seperti Abah Oman ini adalah tipikal manusia yang orang satu kampung pasti akan jijik terhadapnya. Ia hanya dihargai di muka, tetapi digunjingkan dan dibusuk-busukkan di belakang. Terutama di mulut orang-orang.
Pria tambun yang bau minyak angin itu mendapat kehormatan hanya karena ia kaya. Itu pun hanya kehormatan palsu. Olesan gincu belaka. Berbekal posisi ekonominya yang mapan itu ia sering kali mangkir saat kerja bakti. Dan para warga memaklumi itu.
Masyarakat sudah bisa disogok dengan sodoran uang atau sekadar diberi konsumsi. Dengan cara itulah Abah Oman membeli keakraban dengan warga—sekalipun palsu. Dari taktik itulah banyak masyarakat yang lugu menempelkan citra dermawan pada dirinya. Padahal kenyataannya berkata lain sama sekali.
Pria tambun itu seperti para pesohor lain yang menyimpan borok besar di pantat. Jenis orang munafik yang manis di mata publik, tapi busuk di bilik pribadi. Sepanjang bekerja dengannya, banyak kesaksian para pemulung yang mengeluh dengan cara Abah Oman ketika akad jual-beli terjadi. Ia gemar mengakali timbangan. Abah Oman sering mengemplang hasil rongsokan yang telah dengan susah payah dikumpulkan para pemulung.
Salah seorang pemulung pernah menggerutu, “Lebih terhormat Kusni Kasdut, Be, ketimbang Abah Oman. Kusni, walaupun ngerampok, tapi dia membagikan hasil rampokannya ke orang-orang miskin, orang kecil macam kita ini. Nah, kalo si Oman, dia malah demennya meres orang-orang kecil. Dia jadi kaya karena ngakalin orang-orang macam gua,” ujarnya kesal. Anehnya, meski ia berkeluh, tapi masih tetap menyetor hasil pulungannya ke orang yang dihujatnya itu.
Tapi diam-diam aku setuju dengannya. Ah, pemulung tua ringkih ini malah menyebut Kusni Kasdut. Di tahun-tahun tersebut, orang-orang di warung kopi seantero Jabodetabek sering membincangkannya. Apalagi pada tahun 1980, Kusni Kasdut dieksekusi mati. Mungkin sebagian darimu belum tahu, Kusni Kasdut seorang mantan pejuang kemerdekaan. Pernah aku nimbrung di warung kopi dan orang-orang memujanya sembari merasa getir akan nasibnya yang malang.