B!

Katarina Retno Triwidayati
Chapter #19

Semua Mesti Pelan-pelan

Jakarta, 2010


Lelaki bermulut bau itu memandangku. Perlahan seringainya terbit. Aku tidak suka melihat seringai itu. Meski begitu, aku berlama-lama melihat matanya yang kelam. Itu jenis mata yang kusukai. 

Lelaki itu meletakkan tangannya di balik pinggang. Dia mirip penjaga yang tengah dalam sikap istirahat sempurna. Ya, istirahat, tapi sempurna. “Jadi, lu ingat semuanya, ‘kan? Mat Jambronk, Padil anak Mpok Mun, Ipan, Abdul alias Dudul, Amin, juga Indra. Heran gua kenapa lu cuman ngaku ngelakuin itu pada lima orang anak. Padahal gua yakin kalau lu ngelakuin itu ke banyak anak jalanan.”

“Keyakinan itu bukan kebenaran. Lu tahu banget soal itu, kan?” tanyaku. Aku tertawa sekilas. “Lu bisa aja yakin semua anak jalanan yang mati itu semua karena gua. Tapi lu lupa, kematian bisa saja datang tanpa alasan yang jelas. Lagi pula, lu mesti cari bukti yang jelas, yang nggak terbantahkan, kalau mau nuduh gua pelakunya. Kalo lu nggak dapat, lu sama aja fitnah gua.”

“Bakal gua buktiin ….”

“Pelan-pelan aja. Lu masih punya banyak waktu buat itu,” kataku kalem. 

Kulihat rahang lelaki itu menegang. Membentuk tonjolan gemetar di kedua pipi belakang. Matanya menyala. Sekilas saja. Tak lama kemudian, matanya kembali kelam. Begitu misterius seperti danau yang gelap. Ia mendesis, tak jelas mengucapkan apa. 

“Udah ngobrolnya?” Seseorang membuat kami mengarahkan pandangan ke pintu. “Dia harus masuk sekarang,” kata orang itu lagi seraya menggerakkan dagunya ke arahku. Lelaki bermulut bau itu mendengus. Ia lalu menarik tanganku sedikit kasar. 

“Mati aja lu. Semoga lu dapat hukuman mati!” Dia mendorong tubuhku. 

“Gua bilang pelan-pelan aja. Lu kayak nggak tahu aja di sini nggak ada yang namanya hukuman mati. Pun misal udah diputuskan, emang gua bakal beneran dihukum mati?” 

Muka lelaki bermulut bau itu memerah. Tangannya mengepal tampak menahan sesuatu. Kurasa dia ingin menonjokku. Aku tertawa saja dan berjalan perlahan setelah memperbaiki kopiah benang putih yang biasa kukenakan. 

Ruangan yang kumasuki begitu penuh manusia. Mungkin separuh penduduk Jakarta ada di tempat ini. Mungkin mereka ingin melihat wajah manusia yang dituduh membunuh dan memutilasi banyak anak jalanan yang ramai di berita dan koran-koran. Ya, itu wajahku, maksudnya. Heuh, mereka pastinya akan kecewa karena aku tidak mengakui semua yang dituduhkan itu. Ya, buat apa aku mengakui semuanya. Kan tidak perlu semuanya diakui, bukan?

Saat aku melangkah menuju kursi yang disiapkan untukku, pandanganku bertemu dengan seorang gadis lusuh yang tampak rapuh. Badannya kurus. Rambut tipisnya berwarna oranye kemerah-merahan. Tampaknya selain karena cat rambut yang dipakai asal-asalan, rambutnya itu memang tidak terawat. 

Dia terlihat ringkih. Tapi matanya menyala-nyala. Ada dendam di sana. Aku mengerutkan kening dan ketika aku akhirnya duduk di kursi yang tersedia, aku baru ingat wajah yang serupa dengan wajah gadis itu. 

Kalau tak salah wajah yang mirip dengan wajah gadis itu dimiliki oleh Wawan. Dia pengamen di simpang pasar raya. Anak lelaki kecil itu selalu memakai gelang berwarna hitam di tangan kirinya. Dia juga suka memakai baju merah, meski sebagian baju itu pudar sebab sering dicuci. Dia memelihara kuku jempol dan kelingkingnya, baik kanan maupun kiri, menjadi cukup panjang. Mungkin dia menggunakan kuku jempolnya untuk memetik gitar, atau untuk alasan lain. Aku tidak tahu. 

“Pembunuuuuhhh!” Seseorang berteriak dan menudingku. Teriakan itu memicu teriakan lain. Ruangan pun gaduh. Suara teriakan, tangisan, dan makian saling tumpang tindih, memenuhi udara yang sudah pengap. Beberapa orang berseragam mesti menenangkan mereka dan menahan beberapa orang yang tampak ingin maju untuk memukulku. 

Aku tersenyum sinis dan menyadari ada rasa puas di dalam dadaku. Betapa menyenangkannya berada di sini, di tempat yang tidak tersentuh. Mereka bisa melihatku, memakiku, tapi tak bisa menyentuhku. Mereka ingin menghantamkan sesuatu di kepalaku, tapi itu tak pernah bisa terjadi. Menyenangkan, sungguh menyenangkan sekali.

Aku duduk saja dengan tenang di kursiku dan mengabaikan keributan di belakang. Kursi yang kududuki adalah kursi panjang yang menghadap meja besar dan kursi besar. Di depan sana ada tulisan Hakim Anggota di bagian kanan dan kiri serta Hakim Ketua di bagian tengah. 

Oh, jadi ini yang nanti akan menentukan nasibku? Sesuatu seperti menyeruak hadir di dalam dadaku, memenuhinya untuk menarik kedua bibirku kembali tersenyum sinis. Bagaimana bisa mereka yang punya hak menentukan nasibku nanti? Huh, memangnya sehebat apa mereka?

Lihat selengkapnya